oleh Alfathri Adlin *
Penutup
Melihat
paparan Plato di bagian awal, rupanya kearifan kuno ihwal kaitan antara
pengetahuan dan pengenalan diri kini terabaikan. Pengetahuan lebih
sering dikembangkan bukan untuk mengenal diri manusia sendiri, melainkan
untuk mengetahui, atau bahkan mengeksploitasi, segala hal selain diri
manusia. Friedrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman abad XIX, juga sudah
mensinyalir hal tersebut dengan menyatakan: “Kita tak kenal, kita (yang
katanya berpengetahuan) tak kenal diri kita sendiri… niscaya kita tetap
asing bagi diri kita sendiri; kita tak paham diri kita sendiri.” Hal
tersebut juga menjadi keprihatinan Walker Percy, filsuf Amerika. Menurut
dia, kita hidup di sebuah zaman yang lebih gila dari biasanya. Karena,
kendatipun ada kemajuan besar-besaran sains dan teknologi, manusia tidak
memiliki bayangan ide tentang siapa dirinya dan apa yang dia perbuat.
Percy mempertanyakan kenapa hanya ada satu teori yang diterima secara
umum tentang penyebab dan obat radang paru-paru akibat bakteri
pneumococcus. Kenapa hanya ada satu teori tentang orbit planet, serta
gaya tarik-menarik gravitasi antara galaksi kita dan galaksi M31 di
Andromeda? Sementara itu, kenapa—sekurangnya—ada enam belas mazhab
psikoterapi dengan enam belas teori kepribadian? Kenapa selama 2.000
tahun terakhir ini kita tak tahu lebih banyak tentang psikis ketimbang
yang sudah diketahui Plato?(33)