oleh Alfathri Adlin *
(Berhubung
di FB ini ada banyak kenalan saya yang lebih otoritatif dalam hal
filsafat, maka harap maklum kalau tulisan ini dbuat oleh seorang
amatiran saja :-)
Sejarah filsafat yang merentang selama
lebih dari dua ribu tahun memperlihatkan pergeseran makna, rumusan,
orientasi dan fakultas diri yang dipergunakan untuk berfilsafat. Begitu
pula dengan konsepsi manusia. Dari rentang waktu tersebut, untuk
kepentingan tulisan ini, secara garis besar dibedakan dua kutub filsafat
yang banyak berseberangan. Kutub pertama direpresentasikan melalui
pemikiran Plato tentang philosophia beserta konsepsi
manusianya, sementara kutub kedua direpresentasikan melalui kompilasi
pemikiran beberapa filsuf tentang filsafat dan konsepsi manusianya,
antara lain Gilles Deleuze dan Pierre-Félix Guattari, Martin Heidegger,
Jacques Lacan serta akan diimbuhi dengan pembahasan tentang
hermeneutika.
1. Filsafat dan Konsepsi Manusia Pada Awalnya(1)
Dalam
filsafat Yunani, pengenalan diri menempati posisi sentral.(2) Salah
satunya terlihat dalam pengajaran Socrates. Selain sebagai guru,
Socrates adalah tokoh utama dalam berbagai karya Plato. Melalui
ajarannya, Socrates menelanjangi ketidaktahuan warga Athena ihwal diri
mereka sendiri. Namun, seruannya itu juga memunculkan kebencian yang
mengantarkan Socrates pada hukuman mati. Pengadilan Athena menjatuhkan
dua tuduhan utama, yaitu, kekafiran dan merusak akhlak para pemuda
Athena, maka Socrates pun dibunuh oleh demokrasi.
Berbagai
lontaran pertanyaannya menggelisahkan warga Athena karena mengguncang
asumsi kemapanan tujuan hidup serta kenaifan pengetahuan mereka.
Socrates menyatakan dirinya mengemban misi besar, yaitu membantu
menemukan pengetahuan diri yang terpendam. Dia mengumpamakan
karakteristik ilmunya seperti ilmu bidan, yaitu, membantu kelahiran
pengetahuan sejati yang diperoleh melalui pengenalan diri sendiri, dan
dia berperan sebagai bidan pengetahuan (maleutikos).
1. 1. Philosophia
Di atas pintu masuk kuil di Delphi Yunani terpampang tulisan “Gnothi Se Authon”,
artinya “Kenali Dirimu Sendiri”. Konon itu merupakan perkataan Apollo,
yang dikemukakan pula oleh Thales, dan menjadi basis ajaran Socrates.
Dalam Protagoras, Plato menyatakan bahwa kata-kata ringkas semacam itu merupakan bentuk khas filsafat. Philosophia(3) (filsafat) dalam Phaedo
dirumuskan sebagai pembelajaran pengisi hidup yang membantu manusia
percaya diri saat akan mati, dan menyimpan berbagai harapan baik untuk
mendapatkan karunia paling mulia setelah kematian. Philosophia semata-mata untuk melatih manusia mati setiap waktu. Kematian yang dimaksud adalah pemisahan psyché(4) (jiwa) dari soma (tubuh). Filsuf tidaklah menghasrati kesenangan badani, bahkan memandangnya rendah, karena pemikirannya tidaklah pada soma, tapi pada psyché, dan sebisa mungkin membebaskan psyché dari hubungan dengan soma. Karena tidak menikmati dan tidak ambil bagian dalam kesenangan semacam itu, mereka tak ubahnya mendekati kematian.
Tidak
seperti mereka yang rela mati agar bisa bersama kembali dengan yang
dicintainya, filsuf itu benar-benar mencintai kebijaksanaan dan berteguh
pada harapan mendapatkan kebijaksanaan dalam kematian serta bersuka
cita menyambutnya. Jika seseorang malah senewen menghadapi kematian,
jelas dia bukan filsuf sejati, melainkan philosoma—bukan
pecinta kebijaksanaan, tapi pecinta tubuh. Tak mengherankan jika orang
semacam itu adalah pecinta uang dan atau pecinta kemasyhuran. Dua hasrat
materi dan imateri tersebut bisa dilampaui dengan kesederhanaan, yaitu,
tidak terhasut oleh hasrat. Dengan kesederhanaan, filsuf bisa
mengendalikan hasrat secara mudah dan mulia, sebab kesederhanaan hanya
menjadi milik mereka yang sedikit sekali tergantung pada soma dan hidup dalam alam philosophia.
Untuk mencapai kebijaksanaan, soma tidaklah diutamakan, karena setiap kali psyché berusaha menguji sesuatu disertai soma, psyché selalu terpedaya olehnya. Ketika psyché benar-benar terpisah dari soma, dan sejauh mungkin tidak ada hubungan dengannya, barulah psyché bisa mencapai kesejatian. Dengan philosophia, akan didapati psyché itu terpenjara dan terpateri dalam soma, berkubang dalam kedunguan dikarenakan hasrat. Lama kelamaan psyché malah menjadi pembantu utama dalam pemenjaraan dirinya. Ajaran philosophia secara lembut dan halus menyemangati serta berupaya membebaskan psyché sembari memperlihatkan bahwa indera itu menipu. Ajaran philosophia membujuk psyché
untuk berlepas dari penggunaan berbagai indera kecuali seperlunya saja,
mendesaknya untuk berdiri sendiri, terpisah, tak mempercayai apa pun
kecuali dirinya sendiri, serta memahami realitas diri. Apa pun yang
mempengaruhi psyché dalam mempelajari kebijaksanaan harus disingkirkan.
Psyché filsuf sejati tak akan menolak pemisahan dari soma
beserta hasrat, kesenangan, kesedihan, rasa takut, karena kesemuanya
itu akan membuatnya menanggung derita tekanan ganda. Pada saat psyché
merasakan kesenangan atau kesedihan, saat itu juga dia terdorong untuk
meyakini bahwa yang dirasakannya nyata dan benar, padahal tidak. Tiap
kesenangan atau kesedihan memiliki alat yang dipakai untuk memaku psyché pada soma, melekatkannya serta membuatnya memiliki sifat-sifat badani. Akibatnya, psyché membenarkan apa pun yang dikatakan benar oleh soma, berpendapat sama, menyukai berbagai hal yang juga disukai oleh soma, bertindak sesuai soma, memakan makanan yang sama. Psyché pun terkotori oleh soma dan tak bisa kembali ke Hades dalam keadaan suci.
Selama masih menempeli soma dalam mencari kesejatian, selama psyché masih dikotori hasrat, tak akan pernah tercapai kebijaksaan. Soma
bisa mendatangkan beribu-ribu gangguan berupa perasaan susah dan senang
serta membuat manusia benar-benar tak bisa berpikir, sehingga tak
sempat mempelajari philosophia.
Padahal untuk mengetahui yang sejati hanya bisa diraih dengan kematian non-biologis, yaitu, psyché yang terlepas dari soma.
Apabila tidak, maka kebijaksanaan hanya akan diperoleh setelah manusia
mengalami kematian biologis, karena hanya pada saat itulah psyché bisa terpisah sama sekali dari soma.
Kebenaran hanya bisa dipegang oleh mereka yang suci, dan kesucian
sempurna hanya bisa diraih dengan kematian. Itulah kemurnian. Karenanya,
membebaskan psyché dari soma merupakan usaha utama
yang dilakukan oleh mereka yang mencintai kebijaksanaan, dan hanya oleh
mereka saja. Perhatian serta latihan yang dilakukan oleh para filsuf tak
lain untuk memisahkan psyché dari soma.
Bentuk kebijakan dikemukakan Plato dalam Politeia (atau Republic) melalui alegori gua (akan dibahas dalam bagian berikutnya). Dalam alegori tersebut, psyché
telah mencapai ketinggian serta senantiasa merasakan dorongan ke atas
dan kerinduan akan tempat persinggahan di atas sana karena telah melihat
realitas sesungguhnya, juga terbebas dari belenggu soma dan dunia. Dalam Phaedo dinyatakan bahwa ketika psyché dimasukkan ke dalam soma, psyché belajar menggunakan fakultas indera soma dan diarahkan olehnya ke sesuatu yang selalu berubah. Akibatnya psyché menjadi tersesat dan kacau, seperti orang mabuk. Karenanya, psyché
harus mempelajari segala sesuatu sendiri agar menuju sesuatu yang murni
dan abadi, tidak mati serta tidak berubah, dan menetap bersama semua
kebaikan tersebut. Dengan begitu, pada akhirnya psyché bisa beristirahat dari kembaranya, berada di antara semua kebijaksanaan yang tidak berubah.
Psyché
dan soma merupakan dua entitas berbeda, tidak menyatu sebagaimana,
misalnya, dipahami oleh fenomenologi Maurice Merleau-Ponty. Ketika
seseorang mati, maka soma-nya—yang berada di dunia yang tampak
serta bisa diceraiberaikan dan hilang—tidak akan langsung tercerai atau
hilang. Butuh waktu lama untuk menguraikannya hingga tulang belulang.
Sementara psyché—bagian tak tampak dalam diri—akan pergi ke tempat lain yang terhormat, murni dan tak tampak, yaitu Hades, persemayaman theos(5) yang baik, bijaksana dan tenang. Dengan terlepas dari soma, maka psyché termurnikan, menjauhi keinginan badani. Seperti itu pulalah psyché yang sedang melatih diri dengan philosophia, yang cinta kebijaksanaan sejati, serta selalu berlatih mati dalam kehidupan.
Kematian itu ada dua bentuk, yaitu, secara biologis dan non-biologis (lepasnya pengaruh soma terhadap psyché). Kuburan pun ada yang berupa tanah pemakaman untuk menguburkan soma yang telah mati dan kuburan bagi psyché di dunia, yaitu soma, yang telah ‘membunuhnya’ melalui berbagai hasrat duniawi. Ditegaskan pula bahwa psyché telah ada jauh sebelum soma, dan akan terus ada walaupun soma
telah mati dan hancur. Segala sesuatu terjadi dari kebalikannya. Bahwa
bangun itu mulainya tidur dan tidur itu mulainya bangun dan akibat yang
ditimbulkannya adalah tertidur dan terbangun. Begitu juga kematian dan
kehidupan, bahwa kematian lahir dari kehidupan, dan kehidupan melahirkan
kematian. Ajaran tentang philosophia ini menggemakan ajaran Phytagoras tentang penyucian psyché dan tubuh sebagai kuburan bagi psyché (soma sema).
Setelah psyché dimasukkan ke dalam soma, semestinya terjadi proses anamnesis, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari pengingatan kembali bentuk-bentuk sempurna yang secara batini dimiliki psyché sebagai pengetahuan a priori, atau telah dialami dalam eksistensi sebelum penubuhannya. Psyché sudah ada jauh sebelum mengisi soma,
dan telah memiliki kebijaksanaan terpendam di dalamnya. Tapi, dalam
proses penubuhan itu, manusia menjadi lupa akan pengetahuan primordial
tersebut, kehilangan karena kealpaannya. Penyebab utamanya adalah
ketertarikan mencari pengetahuan dengan hanya bersandar pada indera
serta tarikan berbagai hasrat soma.
Dalam Phaedrus dikemukakan bahwa apabila psyché
itu sempurna dan bersayap lengkap, ia terbang membumbung tinggi ke
angkasa, dan menata semesta dunia. Apabila tak sempurna, ia kehilangan
sayapnya dan terkulai jatuh dalam pelayangannya ke tanah nan padat. Di
sana, psyché menemukan sebuah rumah, mendapatkan kerangka
kebumian yang tampak bergerak sendiri, namun sesungguhnya benar-benar
digerakkan atas kuasanya sendiri. Persusunan antara psyché dan soma inilah yang disebut makhluk insaniah yang hidup. Mengapa psyché kehilangan sayap-sayapnya?
Sayap
merupakan unsur jasadiah paling dekat dengan perkara ilahiah, dan
secara alamiah berkecenderungan untuk senantiasa membumbung tinggi ke
angkasa, mengangkat apa-apa yang berkecenderungan jatuh ke arah bawah
agar terangkat ke wilayah tinggi di atas, tempat tinggal makhluk
malakut. Perkara ilahiah adalah keindahan, kebijaksanaan, kebajikan, dan
yang serupanya. Dengan semua itulah sayap psyché dirawat dan
tumbuh dengan amat cepatnya. Namun saat diberi makan atas kejahatan,
kesalahan serta lawan kebaikan, ia menjadi jatuh terkulai dan musnah.
Terakhir, setelah uraian kaitan philosophia dengan psyché dan soma, dibedakan pula dua tingkatan pengetahuan: pertama, pengetahuan yang secara abadi sempurna, tak dapat berubah, tak kasat mata (archetype, esensi); dan kedua, pengetahuan tentang objek-objek yang dapat dilihat, terukur (terinderai). Tujuan philosophia
adalah untuk memperoleh pemahaman tentang dunia bentuk yang nyata, dan
hal ini dicapai melalui rasional murni. Seperti dikemukakan di atas,
pemikiran filsuf itu ada di psyché, yang mengisyaratkan bahwa akal pun ada dua, yaitu akal psyché dan akal soma (otak). Akal psyché itulah yang dirujuk sebagai rasionalitas. Pengetahuan sejati yang dicerap akal psyché disebut sebagai epistemé.
Episteme—atau gnosis—adalah
pengetahuan murni, dan lengkap, pemahaman objektif dari kebenaran
ultima yang berkaitan dengan permasalahan wujud murni. Episteme ini terbagi menjadi dua, pertama, noesis, yaitu, inteligensia, kemampuan untuk memahami dialektika. Kedua, dianoia,
yaitu, nalar, terutama yang sering dikaitkan dengan geometri. Sedang
diseberangnya adalah pengetahuan awam, yang terkait dengan pemahaman
atas dunia inderawi melalui persepsi, pengalaman, observasi partikular,
dan disebut sebagai doxa. Doxa berarti opini atau waham yang berdasarkan deduksi pemahaman awam, dan karenanya tidak dapat diandalkan. Episteme dan unsur-unsur pokoknya mengatur wilayah akal (to noeton), sedangkan doxa merujuk kepada wilayah yang dapat dilihat oleh indera (to horaton).(6)
1. 2. Konsepsi Manusia
Sebelumnya telah dibahas tentang philosophia yang terus menerus dikaitkan dengan kematian, yaitu lepasnya psyché dari soma. Konsepsi psyché
yang diutarakan Plato tidaklah sama dengan pengertian yang berlaku
dalam disiplin psikologi saat ini. Bahkan entitas yang membentuk
kesatuan diri manusia bukan hanya soma dan psyché. Pemaparan konsepsi manusia beserta kondisi keterpenjaraannya dipaparkan secara detail melalui alegori gua dalam Politeia.
Alegori
ini menggambarkan sekumpulan orang yang berdiam di dalam gua bawah
tanah dengan jalan masuk yang panjang terbuka membentangi cahaya pada
seluruh lebarnya. Mereka mendapati kaki dan lehernya terbelenggu
semenjak masa kecil, selalu di tempat yang sama, hanya bisa memandang ke
depan karena terhalang oleh belenggu untuk membalikkan kepalanya. Di
belakang mereka ada seberkas cahaya dari api yang membakar membumbung.
Antara api dengan para tawanan tadi dan di atasnya ada jalan yang di
sepanjangnya berdiri dinding rendah, sebagaimana para penonton
pertunjukan wayang memiliki hijab pembatas di antara para pemain dengan
diri mereka sendiri yang diatasnya dipertunjukkan wayang. Kemudian, ada
orang-orang yang mengangkut sesuatu melewati dinding tadi sehingga
memaujudkan segala bentuk pada dinding beserta berbagai bayangan citra
manusia, juga bentuk-bentuk hewan, yang tertempa pada batu dan kayu dan
bahan-bahan lainnya. Beberapa dari para pengangkut ini berbicara,
sementara yang lainnya membisu.
Sepanjang hidupnya, para
tawanan tersebut tak pernah melihat apa pun pada diri mereka sendiri
atau satu sama lain selain berbagai bayangan yang terpancar dari api ke
dinding gua yang ada di hadapannya. Sekalipun mereka bisa berbicara satu
sama lain, mereka mengira bahwa dengan menamai berbagai bayangan
tersebut mereka menamai benda-benda yang sebenarnya. Jika pun mereka
mendapatkan gema dari dinding di hadapannya, mereka mengira bahwa
bayangan itulah yang mengeluarkan suara, bukan orang-orang yang berlalu
lalang di belakang mereka. Bagi mereka, berbagai bayangan itu adalah
realitas sebenarnya.
Namun, salah seorang dari mereka
terbebaskan dari belenggu, dipaksa berdiri dengan tiba-tiba, memalingkan
kepalanya berkeliling, berjalan, mengangkat matanya ke arah cahaya,
serta merasakan kesakitan karena silau dan gemerlapnya cahaya, tak kuasa
membedakan benda dengan bayang-bayangnya. Sadarlah dia bahwa semua
bayangan itu hanyalah tipuan dan ilusi. Silau yang menyakitkan itu
membuatnya ingin berpaling lagi ke bayangan di dinding gua. Namun, dia
ditarik paksa menuju ke atas pendakian naik yang kasar dan terjal, dan
tidak dilepaskan sebelum keluar menuju cahaya matahari. Dia merasakan
kesakitan diseret sedemikian, dan terluka atas perlakuan seperti itu.
Sesampainya
di luar gua, matanya terpenuhi pancaran sinar, sehingga tak bisa
melihat apa pun. Diperlukan pembiasaan untuk bisa melihat kembali. Pada
mulanya paling mudah ia membedakan bayangan-bayangan dan, setelah itu,
keserupaan atau pantulan pada permukaan air dari manusia dan benda-benda
lainnya, kemudian benda-benda itu sendiri, dan merenungkan berbagai
penampakkan di lelangit—lebih mudah dilakukan pada malam hari, memandang
pada cahaya bintang gemintang dan rembulan—daripada di siang hari
kepada matahari dan cahayanya. Pada akhirnya, ia bisa memandang matahari
itu sendiri dan melihat keadaannya sebenarnya, tidak melalui pantulan
pada air ataupun khayalan, namun di dalam dan dengan dirinya sendiri
serta pada tempatnya sendiri. Ia pun menyimpulkan itulah yang
mengakibatkan pergantian musim, rangkaian tahun, penyebab segala sesuatu
yang pernah dilihatnya. Dia merasa berbahagia atas berbagai perubahan
itu dan mengasihani para tawanan lainnya.
Seandainya dia
harus turun ke bawah lagi dan mengambil tempat lamanya, ia akan
mendapati kedua matanya dipenuhi kegelapan, sehingga dengan segera ia
keluar lagi menuju cahaya matahari. Namun, apabila ia diwajibkan untuk
menghadapi para tawanan abadi ini dalam menguji bayangan-bayangan itu,
sementara pandangannya masih tetap redup dan sebelum matanya terbiasa
dengan kegelapan, maka dia ditertawakan. Bukan hanya itu, para tawanan
tersebut ingin membunuh siapa pun yang berupaya membebaskan dan
membimbing mereka ke atas.
Alegori ini harus diterapkan
sebagai keseluruhan, mentautkan daerah yang terungkap melalui
penglihatan hingga tempat berdiam para tawanan, serta cahaya api di
dalamnya hingga kuasa matahari. Kenaikan dan perenungan atas segala yang
di atas merupakan kenaikan psyché menuju wilayah yang
tercahayai akal. Hal paling akhir dilihat dan sukar terlihat adalah Idea
tentang apa yang benar sejati. Bahwa mereka yang telah mencapai
ketinggian ini tidak bersedia untuk menyibukkan dirinya dengan berbagai
urusan manusia, namun psyché mereka senantiasa merasakan dorongan ke atas dan kerinduan akan tempat persinggahan di atas sana.
Ilustrasi Alegori Gua
Alegori
tersebut telah mendeskripsikan banyak hal dengan sendirinya. Selain
menggambarkan kehidupan manusia di dunia, alegori itu juga melambangkan
konsepsi manusia. Bayang-bayang dan belenggu melambangkan realitas fisik
yang menipu manusia dan membuatnya menganggap tak ada hal lain yang
lebih nyata daripada bayang-bayang tersebut. Sedang para pengangkut di
belakang para tawanan yang bayang-bayangnya terpantul di dinding gua
merupakan realitas sebenarnya, alam yang lebih nyata dan lebih tinggi
derajatnya dari bayang-bayang tersebut. Inilah alam psyché,
namun sejalan dengan semakin besarnya keterpikatan manusia pada
bayang-bayang malah membuatnya melupakan realitas sebenarnya ini.
Kemudian api di mulut gua merupakan “tiruan kecil” matahari. Sedangkan
matahari yang menyilaukan adalah Sang Pencipta, sebagai Sumber dari
segala sumber Cahaya.
Alegori gua ini serupa dengan
penggambaran dalam wayang kulit di tradisi Jawa. Bayangan di layar
pementasan wayang kulit melambangkan tubuh. Wayang kulit yang dihias
indah berwarna-warni—namun hanya terlihat bayangannya dan, sesekali,
warna aslinya—adalah jiwa. Api yang menimbulkan bayangan wayang pada
layar adalah ruh. Adapun dalang yang memainkan wayang merupakan simbol
dari Tuhan. Ibn ’Arabi juga pernah mengemukakan alegori serupa:
Barang
siapa ingin tahu arti sejati, bahwa Tuhanlah yang berkarya di balik
layar alam ciptaan, hendaknya ia memandang pertunjukan bayangan (khayal) dan bayangan-bayangan (suwar) yang ditampilkan (sitara)
pada layar, lalu memperhatikan siapakah yang berbicara dalam
bayangan-bayangan itu menurut hemat anak-anak kecil yang duduk agak jauh
dari layar yang dibentangkan antara mereka dan para boneka. Demikian
juga bentuk-bentuk dunia ini; kebanyakan orang masih seperti anak-anak.
Di sini kita dapat belajar, dari mana asalnya peristiwa-peristiwa yang
dibeberkan (di layar). Anak-anak kecil tertawa dan merasa gembira,
orang-orang dungu memandang hal-hal itu sebagai banyolan dan senda
gurau, tetapi orang-orang bijak berpikir dan mengetahui, bahwa itu semua
oleh Tuhan hanya diatur sebagai suatu perumpamaan, agar manusia tahu,
bahwa hubungan antara dunia ini dan Tuhannya seperti antara boneka dan
dalangnya, lagipula bahwa layar itu merupakan tirai al-kadar (takdir) yang tak dapat disingkirkan oleh siapa pun.(7)
Dalam karya Plato teridentifikasi tiga entitas kedirian manusia (sejati), yaitu, soma, psyché dan daimón. Dari paparan tentang philosophia terlihat bahwa soma merupakan aspek fisikal manusia, komposit korporeal (material), yang memiliki hasrat kebertubuhan (carnal) seperti kecintaan terhadap materi, sensualitas, seksualitas. Hasrat material ini bisa merembes dan mempengaruhi psyché menjadi bertabiat dan berhasrat seperti soma. Selain itu, soma itu tidak abadi, ada terkemudian setelah psyché. Dalam alegori gua, soma hanyalah bayang-bayang di dinding gua.
Sedang psyché adalah entitas hidup yang bisa mengada secara independen lepas dari soma. Dalam uraian di atas terlihat bahwa psyché merupakan diri manusia sejati, abadi, ada jauh sebelum soma dan akan tetap ada ketika soma mati. Psyché seharusnya menjadi sumber semua yang terbaik dan semua kebaikan. Psyché bukanlah komposit dan inkorporeal (imaterial) namun ia ditanamkan dalam (terkurung oleh atau terikat pada) soma
dan harus berjuang keras untuk melawan pengaruh dari aktivitas berbagai
entitas sekunder dalam diri manusia yang semakin lama semakin
membelenggu dirinya.
Dalam Phaedrus dipaparkan sifat psyché
melalui alegori sepasang kuda bersayap dan seorang penunggang kereta
perang. Kuda yang satu mulia dan dari keturunan mulia, sedangkan yang
lainnya hina dan dari keturunan hina, sehingga memayahkan kala
mengendalikannya. Seharusnya kereta kuda itu berada dalam sikap
setimbang sempurna, sejalan dengan tali kekang, meluncur cepat. Namun,
penunggang kereta kepayahan karena kuda yang liar bergerak dengan
lembam, membebani turun sang penunggang kereta ke bumi ketika kudanya
belum sepenuhnya terlatih. Inilah saat kesengsaraan dan pertempuran
paling dahsyat bagi psyché.
Kereta kuda itu
seharusnya terbang ke langit di atas segala lelangitan, tempat berbagai
perkara sejati yang menjadi pusat perhatian pengetahuan hakiki: tak
berwarna, tak berbentuk, esensi yang tak teraba, hanya terlihat oleh
akal, pemandu psyché. Kepandaian ilahiah yang dirawat dan ditumbuhkan pada pikiran dan pengetahuan, serta kecerdasan setiap psyché yang bisa menerima makanan yang sesuai baginya, akan bergembira memandang realitas tinggi tersebut. Sekali lagi psyché
menatap kebenaran, terlengkapi dan terbahagiakan, hingga perputaran
dunia membawanya kembali ke tempat yang sama. Dalam perputaran tersebut psyché
melihat keadilan, kesahajaan, dan pengetahuan mutlak, tidak dalam
bentuk pembuatan atau hubungan, yang disebut sebagai keberadaan, namun
pengetahuan mutlak dalam kehadiran mutlak. Ketika melewati bagian dalam
langit, sang penunggang memandang berbagai kehadiran lain dengan cara
serupa dan kembali pulang. Disanalah sang penunggang kereta menempatkan
kuda-kudanya di istal, memberinya makan ambrosia dan minum nektar.
Alegori tersebut memperlihatkan pembagian psyché
menjadi tiga: dua ekor kuda dan seorang penunggang kereta. Kuda di
sebelah kanan tegap, bersih, memiliki leher kekar, hidung seperti paruh
rajawali, berwarna putih, dan mata gelap. Ia adalah pencinta kehormatan,
kesederhanaan, kesahajaan, dan pengikut kemenangan sejati. Ia tidak
membutuhkan sentuhan cambuk, cukup dipandu hanya dengan kata dan
nasihat. Yang lainnya adalah hewan yang bergerak lamban dan
berkelok-kelok, namun tetap disandingkan bersama. Ia memiliki leher
pendek dan tembam, bermuka datar, berwarna gelap, mata keabuan dan corak
kulit yang merah darah; pasangan kehinaan dan keangkaraan, bertelinga
rawing dan tuli, cambuk dan pukulan tak ada manfaatnya. Ketika sang
penunggang kereta memandang pandangan cinta, dan mendapatkan seluruh psyché-nya
terhangatkan melalui indera, serta penuh dengan tusukan dan godaan
syahwat, kuda yang patuh dan selalu memiliki rasa malu, tertahan dari
melompat ke arah yang dicintainya. Namun, kuda lainnya tak menghiraukan
pukulan dan ayunan cambuk, menjerumuskan dan berlari, memayahkan kuda
sejawatnya dan sang penunggang, yang ia paksa untuk mendekati apa yang
dicintainya dan mengingat kesenangan cinta. Awalnya karena jengkel, sang
penunggang melawannya dan tidak tergoda untuk melakukan tindakan buruk
dan jahat. Namun, akhirnya, karena kuda hitam itu bersikukuh, mereka
setuju untuk melakukan apa yang ditawarkannya.
Setelah itu
mereka berada pada suatu titik dan memandang kilasan keindahan akan
yang dicintai. Ketika sang pengendara kereta melihatnya, ingatannya
dibawa menuju keindahan sejati, yang ia pandang dalam kebersamaan dengan
kesahajaan, laksana citra yang diletakkan di lapik suci. Ia melihatnya,
namun merasa ketakutan dan jatuh ke belakang sehingga ia terpaksa
menarik tali kekang dengan sedemikian keras sehingga mengembalikan kedua
kuda tersebut. Yang satu bersedia dan tidak menahannya, sementara yang
liar sangat tidak bersedia. Ketika mereka mundur sedikit, yang satu
dikuasai oleh rasa malu dan takjub, dan seluruh tubuhnya bermandikan
keringat. Sementara yang lain, ketika rasa sakit karena tali kekang
mereda, mengalami kesulitan untuk mengambil nafas, dipenuhi kemurkaan
dan cacian yang ia timpakan pada sang penunggang dan sesama pasangannya,
karena dialihkan dari apa yang diinginkannya. Keduanya tetap menolak,
sekalipun ia memaksa, sehingga ia menanti lain waktu. Ketika saat yang
ditentukan tiba, mereka seperti lupa dan ia menarik mereka lagi,
memerangi, meringkik, menyeret mereka ke keinginannya. Sang kuda hitam
membungkukkan kepalanya, menegakkan ekornya, mengambil gurdi di giginya
dan menariknya tanpa ampun. Sang penunggang kuda lebih marah dari
biasanya. Ia mundur ke belakang seperti seorang pemacu menghadapi
rintangan, dan dengan putaran yang kejam ia menarik kekang ke luar dari
gigi kuda liar hingga memenuhi lidah kasar dan rahangnya dengan darah,
memaksa kaki dan pinggangnya ke tanah, menghukumnya dengan kejam.
Demikian terjadi berulang kali hingga kuda hitam itu menjadi jinak,
rendah hati, dan mengikuti keinginan sang pengendara kuda. Hingga,
ketika melihat sang keindahan ia telah siap mati oleh rasa takut. Sejak
saat itu, psyché pencinta mengikuti sang kekasih dalam kesahajaan nan suci.
Ketiga bagian psyché dalam alegori tersebut adalah to logistikon (bagian rasional) yang dikaitkan dengan keutamaan kebijakan (phronesis atau sophia), to thymoeides (bagian keberanian) yang memiliki keutamaan kegagahan (andreia) dan to epithymetikon (bagian keinginan) yang mempunyai pengendalian (sophrosyne) sebagai keutamaan khusus. Untuk menjamin keseimbangan di antara ketiga fungsi psyché tersebut diperlukan keadilan (dikaiosyne), yaitu, hanya mengerjakan ergon (amal) yang memang diperuntukkan bagi dirinya, dan tidak pernah mencoba-coba untuk mengerjakan ergon
orang lain bagi dirinya. Jika ketiga fakultas ini selaras dengan ide
dan pengetahuan tentang yang baik, maka manusia akan memiliki psyché yang damai. Sedang jika fakultas itu terpecah, dia akan berada dalam keadaan kacau dan konflik terus menerus.
Perumpamaan
seperti itu ditemukan pula dalam tradisi agama, seperti Arjuna beserta
Krisna yang mengendarai kereta kuda di perang Bharatayudha; Dewa Wishnu
yang menunggangi Lembu Andini; penunggang, kuda serta anjing pemburu
dalam tradisi tashawwuf, dan sebagainya. Penggambaran sais kereta dan kudanya sebagai penggambaran posisi psyché terhadap soma juga tersirat dalam Phaedo. Ketika psyché dan soma menjadi satu, alam menetapkan bahwa soma adalah budak yang harus diatur, serta psyché menjadi tuan dan pengatur.
Dalam Timaios
disebutkan bahwa “fungsi rasional” ditempatkan di dalam kepala, “fungsi
keberanian” ditempatkan dalam dada, sedangkan “fungsi keinginan” di
tempatkan di bawah sekat rongga dada. Namun, hanya “fungsi rasional“
saja yang bersifat baka, sedangkan bagian lain akan mati bersama soma. Timaios pun membandingkan jagat raya sebagai makrokosmos dan manusia sebagai mikrokosmos.
Selain psyché dan soma, ada satu lagi entitas kedirian manusia yang sering luput dari perhatian, yaitu daimón. Dalam Apologia, daimón atau daimonion—seringkali ditransliterasi sebagai daemon atau demon—merujuk pada petunjuk atau suara batin berupa ruh yang membisik di telinga Socrates. Daimón kadang digunakan secara bergantian dengan theos, makhluk malakut. Namun, secara umum ia dipahami sebagai ketuhanan atau kuasa ilahi yang karakteristiknya berada di antara theos dengan manusia, bukan makhluk insaniah ataupun malakut, utusan antara manusia dan Tuhan. Dalam Symposium, dijelaskan bahwa daimón menerjemahkan antara theos
dan manusia, menyampaikan dan menyeberangkan kepada Tuhan permohonan
dan pengorbanan manusia, dan kepada manusia berbagai perintah dan
jawaban dari Tuhan. Daimón adalah perantara yang terbentang
jurang terdalam memisahkan mereka, dan oleh karena itu dalam dirinyalah
seluruhnya terjilid bersama, dan melaluinya kekaryaan para nabi dan
ulama, pengorbanan, misteri, dan kejaiban mereka, dan seluruhnya,
nubuwah dan doa, menemukan jalannya. Kearifan yang memahami inilah yang
ruhaniah, sementara kebijaksanaan lainnya, seperti karya seni dan
pertukangan, itu hina dan kasar. Socrates menyebutnya daimónion ti, sesuatu “menyerupai” Tuhan yang membimbing misi hidupnya. Daimón adalah sang utusan Tuhan dalam diri.
Dalam Apologia,
Socrates menjelaskan alasan mengapa ia berkeliling memberi nasihat
secara pribadi dan bersibuk diri dengan kepentingan orang lain. Itu
semua disebabkan adanya orakel atau tanda yang datang kepadanya, yaitu daimón. Hal itu dicemooh oleh Meletos dalam surat tuduhannya. Pertanda (semeion)(8)
ini—yang menjelma semacam suara—untuk pertama kalinya menghampiri
Socrates semasa masih anak-anak. Suara itu selalu memberitakan larangan
dan tak pernah bersifat perintah untuk berbuat sesuatu yang hendak
dilakukannya. Daimón itulah yang menyebabkan Socrates
menghindarkan diri menjadi negarawan. Seandainya Socrates tetap
bersikukuh menjadi negarawan, atau ergon lain yang dilarang oleh daimón-nya,
niscaya telah lama dia binasa, tanpa bisa berbuat baik bagi warga
Athena maupun untuk dirinya sendiri. Hal itu mengisyaratkan bahwa
Socrates telah menemukan dan menjalankan misi hidupnya atas dasar
perintah Tuhan melalui perantaraan daimón-nya.
Dalam Apologia,
Socrates menuturkan bahwa Tuhan menitahkannya untuk melaksanakan tugas
sebagai seorang filsuf, yaitu melakukan penyelidikan diri sendiri serta
terhadap orang lain. Dalam Phaedo juga diungkap bahwa hanya sedikit manusia yang bisa mencapai misi hidup personalnya. “Banyak orang dipanggil, tapi sedikit dipilih”,
menurut Socrates, yang sedikit itu tidak lain dari orang-orang yang
mencintai kebijaksanaan dengan cara yang benar. Seumur hidupnya Socrates
berusaha untuk menjadi salah satu dari yang sedikit itu, serta tidak
meninggalkan sesuatu yang tak selesai sepanjang kemampuannya. Kehidupan
serta tindakan Socrates itu senantiasa berdasarkan petunjuk Tuhan berupa
daimónion sémeion.
Apabila Socrates berbuat sesuatu kekhilafan atau kesesatan, maka daimón selalu menimbulkan tentangan dalam batinnya, sekalipun tentang perkara remeh. Namun, daimónion sémeion
itu tiada menunjukkan tanda-tanda menentang ketika Socrates menjalankan
misi hidupnya sebagai filsuf, juga ketika memaparkan pembelaan—seperti
tertuang dalam Apologia—padahal sering terjadi ia dihentikan oleh daimón dalam menguraikan sesuatu. Karenanya, kematian karena menjalankan misi hidupnya sebagai filsuf itu pun merupakan kebaikan.
Socrates
bahkan memaparkan bahwa dirinya adalah karunia Tuhan bagi warga Athena.
Kalau mereka membunuhnya, tak akan mudah bagi mereka untuk mendapatkan
penggantinya, karena ia ibarat seekor langau kuda yang dianugerahkan
Tuhan kepada Athena yang menyerupai kuda besar yang kurang lincah
gerak-geriknya, lamban dan berat, dan setiap kali perlu dirangsang untuk
menggugahnya. Namun, Socrates mengisyaratkan bahwa bilamana Tuhan
memperhatikan keadaan warga Athena, maka Dia akan mengirim lagi seekor
langau lain (bisa jadi Plato). Socrates lebih banyak menghabiskan
hidupnya untuk kepentingan orang banyak dan menyelamatkan mereka dari
kaum Sofis, para filsuf gadungan, dan tidak pernah sekalipun Socrates
meminta upah untuk ajaran kebijaksaannya tersebut.(9)
Pernah
suatu ketika, Chairephon, sahabat Socrates sejak muda, pergi ke Delphi
dan di sana terang-terangan ia bertanya kepada Oracle apakah ada orang
yang lebih bijaksana daripada Socrates. Oracle Delphi menjawab tidak
ada. Socrates menjelaskan bahwa dia dikatakan sebagai yang paling
bijaksana karena mereka yang mendengarkan berbagai pernyataannya selalu
mendapat kesan bahwa dia memiliki kebijaksanaan yang tidak dapat
ditemukan pada orang lain. Namun, sebenarnya Tuhanlah satu-satunya yang
bijaksana, bahwa kebijaksanaan manusiawi itu sedikit atau sama sekali
tak ada harganya. Tuhan bukanlah berbicara tentang Socrates, namanya
sekadar dipergunakan sebagai kiasan. Maksud-Nya adalah: Hai manusia,
yang sebijaksana-bijaksananya di antaramu adalah dia yang—seperti
Socrates—tahu bahwa kebijaksanaan itu bukanlah segala-galanya. Maka
karena taat kepada Tuhan, Socrates mengembara kian kemari, mencari serta
menyelidiki kebijakan setiap orang, baik anak negeri ini maupun yang
asing, yang tampaknya bijaksana. Sedemikian sibuknya sampai tak ada
kesempatan lagi baginya untuk memikirkan kepentingannya sendiri. Dalam
baktinya terhadap Tuhan, Socrates senantiasa hidup serba miskin.
Konsepsi daimón
ini memiliki beberapa kesimetrian dengan kisah pewayangan Bima mencari
Dewa Ruci. “Kata Ruci” merujuk pada Ruh Suci—dalam bahasa Jawa
ditransliterasi menjadi “gusti” (dengan “g” kecil)—atau Ruh al-Quds dalam Islam, atau Parakleitos dalam Kristen. Dalam khazanah Stoics dikenal istilah pneuma, yaitu ruh atau entitas sangat halus yang terkandung dalam api abadi (pyr). Segala sesuatu memiliki pneuma yang merembes sebagai agen kausalnya. (Di abad 20 nanti, cognitive science
akan memperlihatkan bahwa setiap unit dalam realitas ini adalah benda
hidup, tak ada benda mati, yang kalau dalam bahasa agama: semuanya
memiliki ruh.)
Paparan tentang daimón tersebut semakin menegaskan semboyan “Gnothi Se Authon”
dalam pemikiran Socrates. Dia memiliki pandangan teleologis bahwa
manusia itu bisa diumpamakan seperti benda buatan yang mempunyai tujuan
atau fungsi tertentu. Bahwa manusia telah diciptakan untuk suatu tujuan
dan fungsi tertentu, dan adalah tugas manusia pula untuk menemukannya
dan melaksanakannya dengan tepat. Karenanya, kehidupan yang tidak
ditafakuri adalah kehidupan yang tidak layak dijalani.
Manusia,
menurut Socrates, mempunyai “diri yang nyata” yang harus ditemukan oleh
dirinya sendiri. Kebahagiaan yang nyata terdapat dalam keberhasilan
meraih kesempurnaan akan diri yang nyata tersebut. Apabila manusia
mengenal siapa dirinya, dia akan akan mengetahui bagaimana sebaiknya
berbuat. Moralitas bukanlah sekadar mematuhi hukum, melainkan sesuatu
yang spiritual. Moralitas merupakan pengetahuan yang nyata mengenai
esensi, seperti “arete” atau “dike”, yang harus
dicapai dengan pengenalan akan diri sendiri. Begitu pengetahuan ini
diperoleh, maka mata hati bisa melihat semuanya, akan mengetahui apa
yang benar, dan tak akan pernah keliru menetapkan tindakannya. Moralitas
merupakan jalan bagi penemuan diri sendiri.
Pengenalan
diri sendiri merupakan pencarian untuk menemukan esensi yang membuat
manusia menjadi dirinya sejati, dan tahu bagaimana seharusnya
berperilaku serta bertindak sesuai dengan esensi dirinya. Aristoteles
memaparkan eudaimonia yang berarti kesejahteraan atau
kebahagiaan spiritual yang vital. Kebahagiaan ini dicapai ketika potensi
penuh seorang individu untuk kehidupan yang rasional sepenuhnya
benar-benar terealisasi, terekspresikan semua kapasitasnya yang beraneka
ragam, sesuai watak inherennya. Bahwa yang baik bagi individu adalah
segala yang sesuai menurut fitrah esensialnya. Kebaikan tidak selalu
identik dengan keinginan, karena keinginan tidak didasarkan pada watak
rasional esensial. Menyelaraskan kedua hal ini merupakan upaya keras
untuk realisasi diri agar mencapai esensi menjadi manusia.
Misi hidup yang dibawa tiap individu yang harus dicapai dengan pengenalan diri diistilahkan sebagai aretè (sering diterjemahkan sebagai virtue). Aretè berarti keluhuran, kemanfaatan, keunggulan yang seharusnya dimiliki manusia dalam kehidupannya, atau menjadi baik pada
sesuatu. Bila seseorang menjalankan fungsi unik yang dirancang
untuknya, dan melakukannya dengan sempurna, maka ia dipandang memiliki aretè. Aretè
itu bisa diumpamakan seperti sebuah alat pangkas yang berfungsi untuk
memotong dahan-dahan pohon. Ia dirancang untuk tujuan itu dan melakukan
tugas itu lebih baik daripada alat lainnya. Begitu pulalah manusia.
Aretè
mempertanyakan “Apa yang unik pada manusia? Fungsi apa yang dilakukan
seseorang tapi tak dapat dilakukan oleh orang lain dengan cara yang sama
baiknya?” Aretè seseorang akan ditemukan pada sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia. Dengan menemukan aretè berarti manusia akan menemukan ergon masing-masing, dan itulah keunggulan hidupnya di muka bumi ini. Bagi Aristoteles inilah eudaimonia. Konsepsi aretè memiliki kesimterian dengan konsepsi dharma dalam agama Hindu.
Misalnya, hanya segolongan orang saja yang harus ditugaskan untuk melakukan perang, yaitu para hylakes
(para penjaga), yang dipilih hanya berdasarkan “bakat” tanpa
mempertimbangkan asal-usul keturunan. Ini menunjukkan eksistensi
kemisian yang unik. Keunikan misi hidup ini terlihat melalui perumpamaan
keahlian negarawan dengan tukang tenun. Tugas seorang negarawan adalah
menenun, atau menciptakan keselarasan yang harmonis, di antara semua
keahlian lain di dalam negara. Karenanya, sepanjang orang itu
menjalankan aretè-nya, tak ada satupun yang dapat dianggap lebih utama dibanding yang lain. Kebaikan yang didapat dari aretè adalah agathon, yang berhubungan dengan apa yang dapat dipenuhi atau diaktualisasikan manusia dari potensi uniknya masing-masing.
Dengan menjalankan aretè,
maka manusia terbebas karena diatur dan dicerahkan oleh pengetahuan
tentang kebaikan ideal, tidak menjadi pelayan hasrat disertai kebodohan
akan diri. Pada titik inilah manusia berada dalam dikaiosyné. Secara prinsip, dikaiosyné merupakan ciri filsuf-raja yang telah mencapai pengetahuan tentang bentuk-bentuk ideal (ingat alegori gua).
Istilah dike—sering diterjemahkan sebagai keadilan atau justice—berasal dari kata sifat dikaios, yang berarti adil (just); juga berakar dari bentuk kata benda dikaiosyne, yang berarti “suatu hal dalam keadaan dikaios”. Bentuk kata kedua inilah yang paling banyak digunakan dalam Politeia. G.M.A. Guthrie mencoba membandingkan penggunaan kata tersebut dalam Odysseus:
Ketika
Penelope mengingatkan para sahaya betapa Odysseus merupakan seorang
tuan yang baik, ia berkata bahwa Odysseus tidak pernah berbuat atau
berkata apa pun yang keji atau terlalu kasar, ataupun dia memiliki
kegemaran, ‘sebagaimana halnya dike para penguasa’—yakni
perilaku yang akan dipertunjukkan mereka. Ketika Eumaeus menghibur
majikannya, ia meminta maaf atas kesederhanaan hidangannya dengan
mengatakan: ‘Apa yang aku tawarkan adalah tak seberapa, meski diberikan
dengan tulus, karena itu adalah dike hamba sahaya seperti
diriku sendiri ini, yang senantiasa berada dalam rasa khawatir.’ Yang
dimaksudkan, hal yang normal, yang dapat diharapkan. Menjelaskan suatu
penyakit, penulis karya kedokteran Hippocrates berkata, ‘Kematian tidak
mengikuti gejala-gejala ini dalam iringan dike’, maksudnya, ‘tidak secara normal mengikuti.’(10)
Pada masa itu, kata dike dipahami
sebagai cara bagaimana suatu kelas atau orang-orang tertentu biasanya
berperilaku, atau sesuatu yang sifatnya alamiah. Dalam puisi Aeschylus,
satu abad sebelum Plato, dike telah dipersonifikasikan sebagai ruh agung dari kebajikan yang duduk di singgasana sebelah Zeus. Dalam Politeia, setelah berdiskusi dan beberapa definisi ditolak, disimpulkan bahwa dikaiosyne merupakan keadaan bagaimana manusia mengikuti dike, mengerjakan misi hidupnya, mengerjakan ergon yang tepat untuk dirinya; tidak mencampuradukkan dengan ergon orang lain. Dengan demikian, kata dikaiosyne
dikembalikan kepada makna aslinya, yaitu, menempatkan sesuatu pada
tempatnya, pada fungsi dan tujuan penciptaan dirinya yang sebenarnya, aretè-nya.
Catatan Kaki:
1. Untuk pembahasan tentang Plato di bagian ini, buku yang dipakai adalah terjemahan lengkap karya Plato oleh Benjamin Jowett, The Dialogues of Plato (1952), William Benton Publisher: London.
2. Dalam buku Hermeneutics of the Self, Michel Foucault menafsirkan bahwa bukan gnothi se authon (kenali dirimu sendiri) yang menjadi dasar dari hubungan antara subjek dengan kebenaran dalam pemikiran Yunani, tapi epimeleia heatou (kepedulian akan diri). Foucault memang sangat menaruh perhatian terhadap tubuh, sementara Plato lebih menaruh perhatian pada psyché.
Sebagai filsuf kontemporer, Foucault memang tidak mengakui dan tidak
tertarik pada gagasan tentang cetak biru manusia, berseberangan dengan
para filsuf Yunani. Untuk pembahasan tentang pemikiran para filsuf
Yunani, lihat John Marshall, A Short History of Greek Philosophy, 1891, London: Percival and Co.
3. Akar katanya adalah philos (cinta) atau philia (persahabatan, kasih sayang, kesukaan atau ketertarikan pada) dan sophos (orang bijak) atau sophia (kebijakan).
4. Dalam makalah ini, istilah psyché
dalam filsafat Plato tetap dipertahankan dan tidak diganti dengan jiwa
atau psikis, agar menegaskan perbedaan entitas dan maknanya dengan
psikis yang akan dibahas berikutnya.
5. Saat mempelajari
khazanah Yunani Kuno, orang seringkali terpancing untuk bertanya apakah
bangsa Yunani itu menganut politeisme atau monoteisme. G.M.A. Grube
mencatat bahwa kata theos dalam bahasa Yunani tidak memiliki
makna yang sama dengan kata Tuhan sebagaimana dipahami hari ini.
Wilamowitz, seorang peneliti dari Jerman, mencatat mengenai asosiasi
dari suatu kata Yunani yang kita dapati dalam pikiran ketika kita
berbicara tentang theos-nya Plato, terutama yang memiliki
sebuah daya predikatif. Orang Yunani tidaklah seperti para penganut
agama hari ini yang pertama-tama menegaskan keberadaan Tuhan, untuk
kemudian menyebutkan satu persatu atributnya seperti “Tuhan itu Maha
Pemurah”, “Tuhan adalah Cinta” dan lain sebagainya. Dalam hal ini,
apabila orang Yunani terkesan atau terpesona oleh sesuatu dalam
kehidupan atau alam yang luar biasa, entah itu menyenangkan atau
menakutkan, maka mereka akan mengatakan “ini adalah theos” atau “itu adalah theos”. Apabila para penganut agama monoteis hari ini mengatakan “Tuhan adalah cinta”, maka orang Yunani mengatakan “Cinta adalah theos”. Hal ini ditegaskan pula oleh Grube bahwasanya “dengan mengatakan bahwa cinta, atau kejayaan, adalah theos,
atau untuk lebih akuratnya, suatu tuhan, pertama-tama dan terdepan
sekali dimaksudkan, bahwa hal itu lebih dari pada manusia, bukan subjek
atas kematian, keabadian…Setiap kekuasaan, setiap kekuatan yang kita
lihat bekerja di dunia, yang tidak terlahir bersama dengan kita dan akan
tetap berlangsung setelah kita pergi, oleh karena itu dapat disebut
sebagai theos, dan kebanyakan di antara mereka memang demikian.” (Grube, G.M.A., Plato’s Thought,
1935, Methuen & Co. Ltd: London, hlm. 150). Bahkan dalam puisi
Euripides dikatakan bahwa “Penghargaan di antara teman-teman adalah theos”. Para filsuf Milesian menyebutkan bahwa theos adalah sebuah substrata dari dunia fisik yang mereka cari. Bahkan Thales pun mengatakan bahwa dunia ini dipenuhi oleh theos.
Oleh karena itu, hal ini harus diperhatikan dengan cermat saat
menyimpulkan ihwal monoteisme atau politeisme pada bangsa Yunani. Di
samping itu, Socrates pun sering menyebut Tuhan dalam konotasi monoteis.
6. D. Lee dalam terjemahan The Republic yang diterbitkan oleh Penguins Books tahun 1987 membuat diagram sebagai berikut:
7. Zoetmulder, P.J., Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, 1995, Gramedia: Jakarta, cet. 3, hlm. 286.
8. Saat ini sémeion dipakai sebagai nama salah satu cabang keilmuan dalam filsafat dan bahasa, yaitu semiotika.
9.
Socrates menunjukkan bahwa misi hidupnya untuk masyarakat Athena
seperti rasul dari kaumnya. Dalam melaksanakan misi hidupnya, sikap
Socrates sangat bersesuaian dengan paparan QS Yâsîn [36]: 21: “Ikutilah
orang yang tiada meminta balasan kepadamu; dan mereka adalah muhtadun (orang yang mendapat petunjuk).
10. W.K.C.Guthrie, The Greek Philosophers: From Thales to Aristotle, 1972, Methuen: London, hlm. 6.
*Bergiat di beberpa komunitas diskusi Salman ITB
*Bergiat di beberpa komunitas diskusi Salman ITB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar