oleh Alfathri Adlin *
Penutup
Melihat
paparan Plato di bagian awal, rupanya kearifan kuno ihwal kaitan antara
pengetahuan dan pengenalan diri kini terabaikan. Pengetahuan lebih
sering dikembangkan bukan untuk mengenal diri manusia sendiri, melainkan
untuk mengetahui, atau bahkan mengeksploitasi, segala hal selain diri
manusia. Friedrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman abad XIX, juga sudah
mensinyalir hal tersebut dengan menyatakan: “Kita tak kenal, kita (yang
katanya berpengetahuan) tak kenal diri kita sendiri… niscaya kita tetap
asing bagi diri kita sendiri; kita tak paham diri kita sendiri.” Hal
tersebut juga menjadi keprihatinan Walker Percy, filsuf Amerika. Menurut
dia, kita hidup di sebuah zaman yang lebih gila dari biasanya. Karena,
kendatipun ada kemajuan besar-besaran sains dan teknologi, manusia tidak
memiliki bayangan ide tentang siapa dirinya dan apa yang dia perbuat.
Percy mempertanyakan kenapa hanya ada satu teori yang diterima secara
umum tentang penyebab dan obat radang paru-paru akibat bakteri
pneumococcus. Kenapa hanya ada satu teori tentang orbit planet, serta
gaya tarik-menarik gravitasi antara galaksi kita dan galaksi M31 di
Andromeda? Sementara itu, kenapa—sekurangnya—ada enam belas mazhab
psikoterapi dengan enam belas teori kepribadian? Kenapa selama 2.000
tahun terakhir ini kita tak tahu lebih banyak tentang psikis ketimbang
yang sudah diketahui Plato?(33)
Selain itu juga, ada satu konsep filsafat yang
berpengaruh kuat pada dunia modern, yaitu, tabula rasa dari John Locke,
filsuf Inggris. Tabula rasa memandang pikiran manusia seperti papan
tulis kosong yang di atasnya dituliskan pengetahuan. Locke tidak percaya
intuisi atau teori pengetahuan bawaan. Meskipun konsep ini mendapat
banyak kritik, namun, di abad 20, konsepsi tersebut mengalami
radikalisasi. Kini manusia dipandang sebagai makhluk tanpa cetakan
primordial sama sekali. Manusia bisa jadi apa pun. Sigmund Freud, bapak
psikoanalisis, mengemukakan pandangan bahwa psikis manusia mempunyai
potensi untuk mengarahkan kehidupan kepribadian manusia menjadi apa pun.
Jean Paul Sartre, tokoh eksistensialisme Prancis, mengemukakan bahwa
manusia itu tidak punya tujuan apa pun dalam eksistensinya. Manusia
hidup dalam absurditas, namun dengan begitu, manusia malah akan
memperoleh kebebasannya. Kemudian Jacques Lacan, pelopor psikoanalisis
struktural, mengemukakan bahwa ego hanyalah ilusi bentukan citra cermin
yang secara keliru diklaim sebagai identitas diri oleh manusia.
Terakhir, Gilles Deleuze dan Félix Guattari mengemukakan pandangan
radikal ihwal ketiadaan cetak biru manusia dengan meramu secara kreatif
(bahkan terkadang subversif) berbagai pemikiran sebelumnya.
Bambang
Sugiharto meringkaskan kesemuanya itu sebagai berikut: “Manusia
kontemporer seperti sosok Proteus dalam mitos Yunani (yang bisa
berubah-ubah menjadi babi rusa, naga, singa, api, kayu, dan sebagainya
tanpa bisa menetap dalam satu bentuk): diri itu bisa berubah-ubah
kepribadiannya dari eksperimen/eksplorasi pribadi yang satu ke yang
lainnya, lebih seperti sosok cairan yang bentuknya berubah-ubah sambil
mengalir terus (flux), atau seperti aktor yang berganti-ganti peran. Dulu ini dianggap patologis (polymorphous perversity). Kini itu adalah kondisi umum (polymorphous versatility), sehingga yang disebut ‘normal’ mesti dirumuskan kembali. Peter L. Berger menyebutnya ‘Homeless Mind’...‘Diri’ (Self)
macam ini tak bisa lagi dimengerti sebagai ‘Substansi’ melainkan
‘relasi’. Diri adalah relasi-relasi yang terus menerus berubah secara
kontekstual. Sistem simbol sentral yang dulu merakit serpihan-serpihan
pengalamannya (koherensi) serta menjembatani ‘dunia dalam’ dan ‘dunia
luar’ (korespondensi) kini berantakan. Ia tinggal hidup di antara
imaji-imaji yang fragmentaris dan cepat berubah, komitmen yang satu ke
yang lain, dan sebagainya. Selera estetik, agama, gaya hidup, pola
berpikir, dan sebagainya selalu bisa berganti atau dimodifikasi dengan
relatif mudah dan tanpa rasa bersalah.”(34)
Pandangan
ihwal manusia tanpa cetak biru ini tumbuh subur dalam pemikiran Barat
berbarengan dengan runtuhnya pandangan tentang hierarki realitas. Alam
tidak lagi dipandang bertingkat-tingkat. Realitas sejati hanyalah
manifestasi fisik ini yang menjadi landasan penilaian untuk segala hal.
Terlebih lagi, posisi Tuhan sebagai pencipta segala sesuatu telah
dicoret dari pembicaraan filosofis; tabu untuk dibicarakan, seakan
“pornografi” dalam filsafat.
Akan tetapi, pandangan
tentang manusia tanpa cetak biru ini pun merembes ke dalam wilayah
agama. Meski sampai saat ini agama masih mengakui adanya hierarki
realitas, namun bagi kebanyakan pemeluknya, itu hanyalah sebuah konsep
yang diyakini tapi tidak pernah dialami. Dalam Islam, contoh kasus utama
tulisan ini, diyakini bahwa manusia itu diciptakan sebagai khalifah di
muka bumi. Akan tetapi, konsepsi khalifah itu tidak menyentuh tataran
bahwa manusia itu punya misi hidup khusus dan keahlian tertentu.
Sepertinya bunyi keyakinan tersebut menjadi: “manusia adalah khalifah di
muka bumi yang tidak ditentukan apa misi hidupnya dan harus menjadi
siapa?” Analoginya seperti berikut: apabila kita melihat pohon mangga,
pastilah kita yakin bahwa yang dulu ditanam di tanah tersebut adalah
benih mangga. Namun, apabila ada manusia yang menjadi nabi, itu bukanlah
karena misi kenabian tersebut telah ditentukan sejak awal
penciptaannya. Itu hanya sebuah kebetulan saja. Pandangan aneh seperti
ini di kalangan umat Islam—disadari atau tidak—lebih menyerupai bentuk
“skizofrenik” antara pandangan hierarki realitas ala agama dengan
manusia tanpa cetak biru ala filsafat Barat yang tidak mempercayai
hierarki realitas.
Permasalahannya, tradisi spiritual mempunyai sistem kepercayaan yang dilandasi gagasan dasar tentang struktur realitas yang hierarkis, terdiri dari alam-alam yang semakin tinggi, kompleks, dan lebih nyata. Inheren di dalamnya adalahhierarki epistemologis.
Peradaban Barat modern menolak sama sekali keberadaan struktur
hierarkis realitas ini. Struktur hierarkis ini digantikan konsepsi
realitas datar, tersusun dari materi belaka yang memang paling cocok
diselidiki melalui sains berbekal rasio. Maka dikukuhkanlah filsafat
resmi dalam peradaban Barat modern: materialisme saintifik. Sementara di
kalangan umat Islam—yang juga tak kebal dari modernitas
Barat—situasinya tak jauh berbeda. Secara umum di kalangan umat
Islam—meski konsepsi hierarkis ini bisa saja diterima sebagai
gagasan—realitas hierarkis ini nyaris tak terjamah, tak teralami, tak
tereksplorasi, tak teraktualisasi, bahkan dalam kehidupan aktual
‘keberagamaannya’ sehari-hari. Bukannya tidak mau menerima gagasan
adanya alam yang lebih tinggi, hanya saja kita nyaris lupa bagaimana
cara dan rasanya hidup di alam semesta hierarkis semacam itu. Yang kita
tahu, setiap hari kita hidup di alam material, alam kehidupan
sehari-hari.
Salah satu penyebab kondisi tersebut,
sebagaimana dikemukakan oleh Jane Idelman dan Yvonne Yazbeck Haddad,
adalah karena perasaan malu dan rendah diri di kalangan umat Islam
sendiri: “Semua penulis modern, dengan satu atau lain cara, mengambil
ide-ide Barat untuk mengungkapkan Islam, dan semuanya merespons dalam
bentuk tertentu untuk mengungkapkan Islam, dan semuanya merespons dalam
bentuk tertentu terhadap apa yang mereka lihat sebagai penegasan utama
pada rasionalisme yang menjadi ciri kuat mayoritas pemikiran Barat.
Tetapi respons yang muncul cukup beragam. Kenyataannya, mayoritas
penulis muslim kontemporer memilih untuk sama sekali tidak membahas
kehidupan akhirat. Mereka cukup puas dengan hanya menegaskan realitas
hari pengadilan dan akuntabilitas manusia tanpa menyajikan perincian
atau bahasan yang lebih mendetail. Ada beberapa alasan kenapa fenomena
ini mengemuka. Salah satunya adalah semacam rasa malu atas uraian
riwayat terperinci mengenai kehidupan di alam kubur dan tempat pemberian
ganjaran, yang dipersoalkan oleh para rasionalis modern.”(35)
Dalam
tradisi ilmiah, struktur hierarkis realitas—mulai dari materi, tubuh,
pikiran dan psikis, jiwa, hingga ruh—bisa sepenuhnya direduksi menjadi
struktur materi. Sementara materi—dalam otak maupun sistem/proses
material lainnya—akan menjelaskan seluruh realitas tanpa sisa. Inilah
yang terjadi dalam modernitas, yaitu runtuhnya seluruh dimensi interior
atau struktur hierarkis realitas. Maka, landasan seluruh ilmu hanyalah
rasionalitas yang memang berjasa memunculkan tradisi kritis terhadap
segala hal. Dalam wacana humaniora, tradisi kritis tersebut terus
berlanjut hingga saat ini dan telah melahirkan berbagai paradigma besar
yang menawarkan berbagai konsepsi tentang kemanusiaan. Teori A dikritisi
oleh teori B, yang pada gilirannya nanti, teori B ini pun akan
dikritisi oleh teori C, dan demikian seterusnya. Hingga sampailah pada
beberapa kesimpulan bersama. Bahwa kebenaran sejati itu tidak ada,
karena yang ada hanyalah suatu konstruksi hasil tafsiran manusia.
Tafsiran itu sendiri adalah bentukan dari berbagai pengalaman
kebertubuhannya, bahasa, dan alam pemikiran yang dipengaruhi kondisi
sosial kultural tertentu. Bahwa dengan kemampuan akalnya, manusia mampu
menjadikan yang alami sebagai budaya, sehingga seluruh kehidupan manusia
dipandang sebagai konstruksi semata.
Agama pun
diposisikan sebagai konstruksi budaya. Secara psikis, agama adalah
halusinasi bawaan masa kanak-kanak, serupa dongeng nina bobok.
Menggemaskan pada kanak-kanak, tapi mematikan pada orang dewasa. Tuhan
tak ada, karena setiap yang nyata mesti terdaftar dalam sains, dan
sejauh ini tak ada mikroskop atau teleskop yang pernah menangkap
keberadaan Tuhan. Di sinilah terlihat bahwa sekalipun rasionalitas itu
berhasil membangun kekritisan, namun dia tidak sepenuhnya kritis.
Rasionalitas bisa membuat orang curiga bahwa makna itu tidak ada. Tetapi
itu belum cukup curiga karena mereka tidak memperkenankan dirinya sendiri untuk mencurigai bahwa kebenaran boleh jadi memang ada.
Hingga
sekian abad, di samping sumbangan konkretnya yang besar untuk
peradaban, rasionalitas ternyata cenderung mengelak untuk apresiatif dan
terbuka terhadap logika lain yang berlandaskan pada (pengalaman akan)
hierarki realitas. Setelah mengangkat wacana pluralisme yang
melengserkan cita-cita universalisme di berbagai ranah kemanusiaan,
diam-diam rasionalitas seakan memosisikan diri sebagai Sang Universal
untuk segala masalah kemanusiaan. Karenanya, wacana spiritualitas pun
nyaris tidak bisa beranjak dari wilayah tubuh dan psikis untuk bergerak
ke wilayah jiwa dan ruh, sebagai habitat lain dari spiritualitas.
Sebenarnya konsep dikaiosyne dan aretè dari
Socrates perlu juga perhatikan. Amati kisah hidup Einstein. Sewaktu
kecil dia benar-benar anak yang payah. Dipandang bodoh dalam semua mata
pelajaran, kecuali matematika. Bahkan gurunya menyatakan kelak bila
Einstein besar, dia takkan menjadi apa-apa. Ternyata Einstein jadi
fisikawan terbesar di abad dua puluh. Amati juga kisah hidup Thomas Alva
Edison yang akhirnya dididik sendiri oleh ibunya setelah guru di
sekolah menolak mendidiknya. Setelah dewasa dia malah jadi seorang
penemu. Dia bahkan betah melakukan eksperimen 1000 kali untuk menemukan
lampu. Hal yang paling mencolok dari kisah kedua tokoh itu adalah energi
minimal yang sejalan dengan konsep dikaiosyne dan aretè dari
Socrates. Energi minimal itu semacam bayangan jati diri individu. Suatu
kemampuan utama yang dimiliki seseorang yang mengalir mudah ketika
mengerjakan sesuatu. Energi minimal tidak mengisyaratkan seseorang harus
mengerjakan sesuatu tanpa kerja keras. Orang malah bisa kerja keras
siang-malam, namun tidak merasa sedang bekerja susah payah. Setiap orang
memiliki energi minimal, sehingga ada yang mudah mendalami filsafat,
ekonomi, atau bahasa, dan lain sebagainya. Seseorang bisa saja bekerja
keras menggeluti suatu hal, bukan dengan energi minimalnya, tetapi lebih
kepada hasrat dan ambisi untuk meraih suatu hal. Akan tetapi, tak
setiap energi minimal tersebut dimanfaatkan oleh manusia untuk memahami
dirinya. Sering kali yang terjadi adalah: terciptanya jurang yang lebar
antara pengetahuan yang diperoleh melalui “energi minimal” dan
pengenalan diri melalui pengetahuan tersebut.[]
Catatan Kaki:
33. Lihat Walker Percy, Lost in the Cosmos: The Last Self-Help Book, New York: Picador, 1983. Untuk edisi Indonesia,The Last Self-Help Book: Sebuah Perenungan Filsafat dan Semiotika Diri dengan Gaya Humor Satir, Jalasutra: Yogyakarta, 2006.
34. Bambang Sugiharto, Manusia Kontemporer, makalah yang tidak dipubliksikan.
35. Jane Idelman Smith & Yvonne Yazbeck Haddad, Maut, Barzakh, Kiamat, Akhirat: Ragam Pandangan Islam dari Klasik Hingga Modern, 2004, Serambi: Jakarta, hlm. 155-156, diterjemahkan oleh Dedi Slamet Riyadi dari The Islamic Understanding of Death and Resurrection, 2002, Oxford University Press, Inc.
* Bergiat di beberapa komunitas diskusi Salman ITB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar