Like This, Oke !!

Bewara

Hadirilah....
DISKUSI KEBANGSAAN JILID II "Momentum Hari Pahlawan, Upaya Membangun Bandung Berdikari"
Pembicara :
1. Drs. H. Asep Dedy Ruyadi, M.Si (Wakil Ketua DPRD KOTA BANDUNG)
2. H. Dedi Supandi, S.STP, M.Si (Ketua DPD KNPI KOTA BANDUNG)
3. Ust. Iman Setiawan Latief, SH (Ketua PD PERSIS KOTA BANDUNG)
4. Ridwan Rustandi (Ketua Hima Persis Kota Bandung
Jum'at, 16 November 2012
13.00-selesai
@AULA PP PERSIS (Jl. Perintis Kemerdekaan)

Graties dan terbuka untuk umum!!

KOpi gratis, Snack Gratis, dll

Organized BY
PD HIMA PERSIS KOTA BANDUNG
CP:085721502422

Rabu, 05 Oktober 2011

APAKAH FILSAFAT ITU?: Dari Plato ke Deleuze & Guattari Beserta Beberapa Filsuf Sezamannya (3)


Penutup

Melihat paparan Plato di bagian awal, rupanya kearifan kuno ihwal kaitan antara pengetahuan dan pengenalan diri kini terabaikan. Pengetahuan lebih sering dikembangkan bukan untuk mengenal diri manusia sendiri, melainkan untuk mengetahui, atau bahkan mengeksploitasi, segala hal selain diri manusia. Friedrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman abad XIX, juga sudah mensinyalir hal tersebut dengan menyatakan: “Kita tak kenal, kita (yang katanya berpengetahuan) tak kenal diri kita sendiri… niscaya kita tetap asing bagi diri kita sendiri; kita tak paham diri kita sendiri.” Hal tersebut juga menjadi keprihatinan Walker Percy, filsuf Amerika. Menurut dia, kita hidup di sebuah zaman yang lebih gila dari biasanya. Karena, kendatipun ada kemajuan besar-besaran sains dan teknologi, manusia tidak memiliki bayangan ide tentang siapa dirinya dan apa yang dia perbuat. Percy mempertanyakan kenapa hanya ada satu teori yang diterima secara umum tentang penyebab dan obat radang paru-paru akibat bakteri pneumococcus. Kenapa hanya ada satu teori tentang orbit planet, serta gaya tarik-menarik gravitasi antara galaksi kita dan galaksi M31 di Andromeda? Sementara itu, kenapa—sekurangnya—ada enam belas mazhab psikoterapi dengan enam belas teori kepribadian? Kenapa selama 2.000 tahun terakhir ini kita tak tahu lebih banyak tentang psikis ketimbang yang sudah diketahui Plato?(33)

Hal tersebut semakin diperkabur dengan pandangan bahwa manusia itu tak ubahnya tanah liat tak berbentuk dan menantikan dibentuk menjadi apa pun. Identitas kita dipandang hanya sebagai konstruksi sosial-budaya belaka yang menjadi cetakan bagi manusia yang “terlempar” ke dalamnya. Pandangan seperti ini semakin mengarahkan manusia untuk bergerak, melihat, dan mempelajari segala sesuatu di luar dirinya, dan melupakan khazanah dirinya sendiri, seperti dikemukakan—antara lain—oleh Socrates. Dalam trend buku-buku psikologi populer, manusia malah lebih sering diarahkan untuk terobsesi menjadi orang lain yang dipandang sebagai simbol hidup paripurna. “Bagaimana menjadi seperti Michael Jordan”, misalnya. Padahal, orang yang selalu ingin menjadi seperti orang lain hanya menjadi pecundang. Belakangan ini, pandangan semacam ini semakin menguat dengan membanjirnya berbagai buku  “how to”, “do it yourself” dan “self-help”. Fenomena ini dikritik dengan pedas oleh Michael Shrage yang mengatakan “Kebanyakan manajemen pop serta buku dan video swabantu (self-help) menawarkan berlimpah ruah saran tentang bagaimana sang individu dapat menjadi manajer terbaik atau orang yang lebih baik lagi, menikmati lebih banyak keintiman atau lebih banyak lagi hubungan profesional…Anda ‘membuka potensi tersembunyi Anda’ dengan melakukan hal-hal yang belum pernah Anda lakukan sebelumnya. Anda hanya tinggal mendapatkan cangkokan emosional dan kepribadian maka segalanya akan berjalan dengan baik. Pesan paling mendasarnya memiliki kekejaman yang khas: tentunya Anda telah menjadi orang yang lebih baik jika saja Anda adalah seseorang yang lain.”

Selain itu juga, ada satu konsep filsafat yang berpengaruh kuat pada dunia modern, yaitu, tabula rasa dari John Locke, filsuf Inggris. Tabula rasa memandang pikiran manusia seperti papan tulis kosong yang di atasnya dituliskan pengetahuan. Locke tidak percaya intuisi atau teori pengetahuan bawaan. Meskipun konsep ini mendapat banyak kritik, namun, di abad 20, konsepsi tersebut mengalami radikalisasi. Kini manusia dipandang sebagai makhluk tanpa cetakan primordial sama sekali. Manusia bisa jadi apa pun. Sigmund Freud, bapak psikoanalisis, mengemukakan pandangan bahwa psikis manusia mempunyai potensi untuk mengarahkan kehidupan kepribadian manusia menjadi apa pun. Jean Paul Sartre, tokoh eksistensialisme Prancis, mengemukakan bahwa manusia itu tidak punya tujuan apa pun dalam eksistensinya. Manusia hidup dalam absurditas, namun dengan begitu, manusia malah akan memperoleh kebebasannya. Kemudian Jacques Lacan, pelopor psikoanalisis struktural, mengemukakan bahwa ego hanyalah ilusi bentukan citra cermin yang secara keliru diklaim sebagai identitas diri oleh manusia. Terakhir, Gilles Deleuze dan Félix Guattari mengemukakan pandangan radikal ihwal ketiadaan cetak biru manusia dengan meramu secara kreatif (bahkan terkadang subversif) berbagai pemikiran sebelumnya.

Bambang Sugiharto meringkaskan kesemuanya itu sebagai berikut: “Manusia kontemporer seperti sosok Proteus dalam mitos Yunani (yang bisa berubah-ubah menjadi babi rusa, naga, singa, api, kayu, dan sebagainya tanpa bisa menetap dalam satu bentuk): diri itu bisa berubah-ubah kepribadiannya dari eksperimen/eksplorasi pribadi yang satu ke yang lainnya, lebih seperti sosok cairan yang bentuknya berubah-ubah sambil mengalir terus (flux), atau seperti aktor yang berganti-ganti peran. Dulu ini dianggap patologis (polymorphous perversity). Kini itu adalah kondisi umum (polymorphous versatility), sehingga yang disebut ‘normal’ mesti dirumuskan kembali. Peter L. Berger menyebutnya ‘Homeless Mind’...‘Diri’ (Self) macam ini tak bisa lagi dimengerti sebagai ‘Substansi’ melainkan ‘relasi’. Diri adalah relasi-relasi yang terus menerus berubah secara kontekstual. Sistem simbol sentral yang dulu merakit serpihan-serpihan pengalamannya (koherensi) serta menjembatani ‘dunia dalam’ dan ‘dunia luar’ (korespondensi) kini berantakan. Ia tinggal hidup di antara imaji-imaji yang fragmentaris dan cepat berubah, komitmen yang satu ke yang lain, dan sebagainya. Selera estetik, agama, gaya hidup, pola berpikir, dan sebagainya selalu bisa berganti atau dimodifikasi dengan relatif mudah dan tanpa rasa bersalah.”(34) 

Pandangan ihwal manusia tanpa cetak biru ini tumbuh subur dalam pemikiran Barat berbarengan dengan runtuhnya pandangan tentang hierarki realitas. Alam tidak lagi dipandang bertingkat-tingkat. Realitas sejati hanyalah manifestasi fisik ini yang menjadi landasan penilaian untuk segala hal. Terlebih lagi, posisi Tuhan sebagai pencipta segala sesuatu telah dicoret dari pembicaraan filosofis; tabu untuk dibicarakan, seakan “pornografi” dalam filsafat.

Akan tetapi, pandangan tentang manusia tanpa cetak biru ini pun merembes ke dalam wilayah agama. Meski sampai saat ini agama masih mengakui adanya hierarki realitas, namun bagi kebanyakan pemeluknya, itu hanyalah sebuah konsep yang diyakini tapi tidak pernah dialami. Dalam Islam, contoh kasus utama tulisan ini, diyakini bahwa manusia itu diciptakan sebagai khalifah di muka bumi. Akan tetapi, konsepsi khalifah itu tidak menyentuh tataran bahwa manusia itu punya misi hidup khusus dan keahlian tertentu. Sepertinya bunyi keyakinan tersebut menjadi: “manusia adalah khalifah di muka bumi yang tidak ditentukan apa misi hidupnya dan harus menjadi siapa?” Analoginya seperti berikut: apabila kita melihat pohon mangga, pastilah kita yakin bahwa yang dulu ditanam di tanah tersebut adalah benih mangga. Namun, apabila ada manusia yang menjadi nabi, itu bukanlah karena misi kenabian tersebut telah ditentukan sejak awal penciptaannya. Itu hanya sebuah kebetulan saja. Pandangan aneh seperti ini di kalangan umat Islam—disadari atau tidak—lebih menyerupai bentuk “skizofrenik” antara pandangan hierarki realitas ala agama dengan manusia tanpa cetak biru ala filsafat Barat yang tidak mempercayai hierarki realitas.

Permasalahannya, tradisi spiritual mempunyai sistem kepercayaan yang dilandasi gagasan dasar tentang struktur realitas yang hierarkis, terdiri dari alam-alam yang semakin tinggi, kompleks, dan lebih nyata. Inheren di dalamnya adalahhierarki epistemologis. Peradaban Barat modern menolak sama sekali keberadaan struktur hierarkis realitas ini. Struktur hierarkis ini digantikan konsepsi realitas datar, tersusun dari materi belaka yang memang paling cocok diselidiki melalui sains berbekal rasio. Maka dikukuhkanlah filsafat resmi dalam peradaban Barat modern: materialisme saintifik. Sementara di kalangan umat Islam—yang juga tak kebal dari modernitas Barat—situasinya tak jauh berbeda. Secara umum di kalangan umat Islam—meski konsepsi hierarkis ini bisa saja diterima sebagai gagasan—realitas hierarkis ini nyaris tak terjamah, tak teralami, tak tereksplorasi, tak teraktualisasi, bahkan dalam kehidupan aktual ‘keberagamaannya’ sehari-hari. Bukannya tidak mau menerima gagasan adanya alam yang lebih tinggi, hanya saja kita nyaris lupa bagaimana cara dan rasanya hidup di alam semesta hierarkis semacam itu. Yang kita tahu, setiap hari kita hidup di alam material, alam kehidupan sehari-hari.

Salah satu penyebab kondisi tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Jane Idelman dan Yvonne Yazbeck Haddad, adalah karena perasaan malu dan rendah diri di kalangan umat Islam sendiri: “Semua penulis modern, dengan satu atau lain cara, mengambil ide-ide Barat untuk mengungkapkan Islam, dan semuanya merespons dalam bentuk tertentu untuk mengungkapkan Islam, dan semuanya merespons dalam bentuk tertentu terhadap apa yang mereka lihat sebagai penegasan utama pada rasionalisme yang menjadi ciri kuat mayoritas pemikiran Barat. Tetapi respons yang muncul cukup beragam. Kenyataannya, mayoritas penulis muslim kontemporer memilih untuk sama sekali tidak membahas kehidupan akhirat. Mereka cukup puas dengan hanya menegaskan realitas hari pengadilan dan akuntabilitas manusia tanpa menyajikan perincian atau bahasan yang lebih mendetail. Ada beberapa alasan kenapa fenomena ini mengemuka. Salah satunya adalah semacam rasa malu atas uraian riwayat terperinci mengenai kehidupan di alam kubur dan tempat pemberian ganjaran, yang dipersoalkan oleh para rasionalis modern.”(35)

Dalam tradisi ilmiah, struktur hierarkis realitas—mulai dari materi, tubuh, pikiran dan psikis, jiwa, hingga ruh—bisa sepenuhnya direduksi menjadi struktur materi. Sementara materi—dalam otak maupun sistem/proses material lainnya—akan menjelaskan seluruh realitas tanpa sisa. Inilah yang terjadi dalam modernitas, yaitu runtuhnya seluruh dimensi interior atau struktur hierarkis realitas. Maka, landasan seluruh ilmu hanyalah rasionalitas yang memang berjasa memunculkan tradisi kritis terhadap segala hal. Dalam wacana humaniora, tradisi kritis tersebut terus berlanjut hingga saat ini dan telah melahirkan berbagai paradigma besar yang menawarkan berbagai konsepsi tentang kemanusiaan. Teori A dikritisi oleh teori B, yang pada gilirannya nanti, teori B ini pun akan dikritisi oleh teori C, dan demikian seterusnya. Hingga sampailah pada beberapa kesimpulan bersama. Bahwa kebenaran sejati itu tidak ada, karena yang ada hanyalah suatu konstruksi hasil tafsiran manusia. Tafsiran itu sendiri adalah bentukan dari berbagai pengalaman kebertubuhannya, bahasa, dan alam pemikiran yang dipengaruhi kondisi sosial kultural tertentu. Bahwa dengan kemampuan akalnya, manusia mampu menjadikan yang alami sebagai budaya, sehingga seluruh kehidupan manusia dipandang sebagai konstruksi semata.

Agama pun diposisikan sebagai konstruksi budaya. Secara psikis, agama adalah halusinasi bawaan masa kanak-kanak, serupa dongeng nina bobok. Menggemaskan pada kanak-kanak, tapi mematikan pada orang dewasa. Tuhan tak ada, karena setiap yang nyata mesti terdaftar dalam sains, dan sejauh ini tak ada mikroskop atau teleskop yang pernah menangkap keberadaan Tuhan. Di sinilah terlihat bahwa sekalipun rasionalitas itu berhasil membangun kekritisan, namun dia tidak sepenuhnya kritis. Rasionalitas bisa membuat orang curiga bahwa makna itu tidak ada. Tetapi itu belum cukup curiga karena mereka tidak memperkenankan dirinya sendiri untuk mencurigai bahwa kebenaran boleh jadi memang ada.

Hingga sekian abad, di samping sumbangan konkretnya yang besar untuk peradaban, rasionalitas ternyata cenderung mengelak untuk apresiatif dan terbuka terhadap logika lain yang berlandaskan pada (pengalaman akan) hierarki realitas. Setelah mengangkat wacana pluralisme yang melengserkan cita-cita universalisme di berbagai ranah kemanusiaan, diam-diam rasionalitas seakan memosisikan diri sebagai Sang Universal untuk segala masalah kemanusiaan. Karenanya, wacana spiritualitas pun nyaris tidak bisa beranjak dari wilayah tubuh dan psikis untuk bergerak ke wilayah jiwa dan ruh, sebagai habitat lain dari spiritualitas.

Sebenarnya konsep dikaiosyne dan aretè dari Socrates perlu juga perhatikan. Amati kisah hidup Einstein. Sewaktu kecil dia benar-benar anak yang payah. Dipandang bodoh dalam semua mata pelajaran, kecuali matematika. Bahkan gurunya menyatakan kelak bila Einstein besar, dia takkan menjadi apa-apa. Ternyata Einstein jadi fisikawan terbesar di abad dua puluh. Amati juga kisah hidup Thomas Alva Edison yang akhirnya dididik sendiri oleh ibunya setelah guru di sekolah menolak mendidiknya. Setelah dewasa dia malah jadi seorang penemu. Dia bahkan betah melakukan eksperimen 1000 kali untuk menemukan lampu. Hal yang paling mencolok dari kisah kedua tokoh itu adalah energi minimal yang sejalan dengan konsep dikaiosyne dan aretè dari Socrates. Energi minimal itu semacam bayangan jati diri individu. Suatu kemampuan utama yang dimiliki seseorang yang mengalir mudah ketika mengerjakan sesuatu. Energi minimal tidak mengisyaratkan seseorang harus mengerjakan sesuatu tanpa kerja keras. Orang malah bisa kerja keras siang-malam, namun tidak merasa sedang bekerja susah payah. Setiap orang memiliki energi minimal, sehingga ada yang mudah mendalami filsafat, ekonomi, atau bahasa, dan lain sebagainya. Seseorang bisa saja bekerja keras menggeluti suatu hal, bukan dengan energi minimalnya, tetapi lebih kepada hasrat dan ambisi untuk meraih suatu hal. Akan tetapi, tak setiap energi minimal tersebut dimanfaatkan oleh manusia untuk memahami dirinya. Sering kali yang terjadi adalah: terciptanya jurang yang lebar antara pengetahuan yang diperoleh melalui “energi minimal” dan pengenalan diri melalui pengetahuan tersebut.[]

Catatan Kaki:

33. Lihat Walker Percy, Lost in the Cosmos: The Last Self-Help Book, New York: Picador, 1983. Untuk edisi Indonesia,The Last Self-Help Book: Sebuah Perenungan Filsafat dan Semiotika Diri dengan Gaya Humor Satir, Jalasutra: Yogyakarta, 2006.

34. Bambang Sugiharto, Manusia Kontemporer, makalah yang tidak dipubliksikan.

35. Jane Idelman Smith & Yvonne Yazbeck Haddad, Maut, Barzakh, Kiamat, Akhirat: Ragam Pandangan Islam dari Klasik Hingga Modern, 2004, Serambi: Jakarta, hlm. 155-156, diterjemahkan oleh Dedi Slamet Riyadi dari The Islamic Understanding of Death and Resurrection, 2002, Oxford University Press, Inc.

* Bergiat di beberapa komunitas diskusi Salman ITB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar