Like This, Oke !!

Bewara

Hadirilah....
DISKUSI KEBANGSAAN JILID II "Momentum Hari Pahlawan, Upaya Membangun Bandung Berdikari"
Pembicara :
1. Drs. H. Asep Dedy Ruyadi, M.Si (Wakil Ketua DPRD KOTA BANDUNG)
2. H. Dedi Supandi, S.STP, M.Si (Ketua DPD KNPI KOTA BANDUNG)
3. Ust. Iman Setiawan Latief, SH (Ketua PD PERSIS KOTA BANDUNG)
4. Ridwan Rustandi (Ketua Hima Persis Kota Bandung
Jum'at, 16 November 2012
13.00-selesai
@AULA PP PERSIS (Jl. Perintis Kemerdekaan)

Graties dan terbuka untuk umum!!

KOpi gratis, Snack Gratis, dll

Organized BY
PD HIMA PERSIS KOTA BANDUNG
CP:085721502422

Rabu, 22 Juni 2011

Agama Kritis

oleh: Yoga PraYoga

Agama sebuah nama yang tidak asing buat manusia-manusia Indonesia. Kenapa? Karena dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia ketidakberagamaan adalah sesuatu hal yang tabu, bahkan terkesan dilarang. Terutama semenjak orde baru berdiri, selama 32 tahun.



Untuk jaya, orde baru perlu kambing hitam. Kambing hitam itu adalah PKI beserta seperangkat pemahaman kritisnya. Sampai disitu orba berhasil memapankan dirinya hingga ia bisa kebal terhadap apa pun kecuali terhadap sikap kritis. Oleh karenanya benih-benih kritis adalah musuh sesunguhnya dari orba. Sikap kritis baik itu dari kalangan Islam atau nasionalis langsung diberangus oleh rezim orde baru.

Di masyarakat Indonesia ketidakberagamaan bernilai negative. Rezim orde baru tahu akan hal itu. Kaum komunis yang pemikirannya berkiblat pada Marx dikenal ateis (anti agama/tak beragama). Ini adalah modal utama buat rezim orde baru memberangus habis PKI beserta cabang-cabangnya. Dengan menggunakan sensitivitas masyarakat Indonesia terhadap ateisme maka rezim orde baru mendulang dukungan dari banyak rakyat.

PKI dan partai-partai sehaluannya tidak bisa lepas dari sikap kritis. Mereka biasa disebut golongan kiri. Setelah kiri ditumpas habis oleh rezim orde baru, lantas mana lagi yang kira-kira berpotensi mengganggu “stabilitas”. Tentu jawabannya adalah golongan kanan. Golongan kanan biasanya diasosiasikan pada kaum beragama. Lebih khususnya lagi golongan Islam. Wajar saja bila selanjutnya Islam yang “dimandulkan”. Karena dari sisi kuantitas pemeluknya terbanyak. Berpotensi mengancaman kemapanan rezim orde baru dengan seperangkat pahamnya yang kritis. 

Menghadapi kaum agama semacam Islam. Rezim orde baru tidak menggunakan cara “memberangus habis” cukup diotak-atik saja pemuka agamanya(Islam). Karena dalam Islam ada konstruk pemahaman bahwa kaum ulamalah yang memiliki otoritas membenarkan dan menyalahkan. 

Dalam hal ini rezim orde baru seolah-olah memberi lampu hijau pada umat Islam untuk mengekspresikan rasa keberagamaannya. Padahal mereka membatasi perkembangan Islam beserta pemahamannya ke arah yang tidak kritis. Ke arah dogmatis.

Yaitu, paham Islam yang melankolis-ukhrowi, cinta damai, dan cari aman saja yang diapresiasi positif oleh rezim orde baru. Paham Islam seperti ini justru menguntungkan rezim, di samping memproduksi orang-orang soleh yang loyal terhadap rezim. Paham ini juga bakal menjadi penjamin rezim orde baru tegak berdiri. 

Mode pemahaman Islam seperti ini punya kecenderungan “mencandu” pemeluknya. Ia jadi lebih gemar berbicara surga, neraka, malaikat yang terbang menjalankan tugasnya mengurus bumi. Atau hal-hal etis, yang dengan itu hierarki status social dikukuhkan. Di dalamnya disampaikan pesan/keterangan bagaimana etika terhadap pejabat, penguasa dan pemilik modal. Dengan etika itulah seseorang menjadi punya tali kekang untuk tidak melawan atau keterlaluan pada seseorang yang status sosialnya lebih tinggi, meskipun nuraninya mengatakan ada ketidakadilan dari mereka pada drinya.

Ketakutan akan hal ikhwal melanggar batas-batas etika. Malah membuatnya jadi penakut. Bermentalkan pengecut bila harus berhadap-hadapan dengan nuraninya sendiri. Namun di sisi lain perkataan nurani harus tersalurkan menjadi sebentuk sikap. Jalan satu-satunya ialah bermuka dua, menjadi sang munafik. Karena hanya dengan seperti itulah keberadaannya menjadi aman. Di sini sesorang bermain peran. Setiap orang pasti melakukan kegiatan bermain peran. Namun dalam kemunafikan, peran itu menjadi sangat bertentangan dengan perannya yang lain. Batas-batas yang baik dengan yang buruk / yang menguntungkan dengan yang merugikan menjadi tidak ada, bahkan terkesan kebaikan dan kebermanfaatan lebur dalam keburukan dan sikap yang merugikan orang lain.

Misalnya, seorang koruptor yang dalam sikapnya beragama dikategorikan soleh dan taat. Dan seorang siswa yang baik dan taat di sekolahnya setiap ujian dia kecanduan mencontek. Semua itu adalah mentalitas yang tidak mementingkan sikap kritis. Melainkan mentalitas yang mementingkan sikap “asal……senang”. 

Sikap dogmatis dalam beragama adalah sikap yang mementingkan kenyamanan dalam beragama. Sehingga wajar jika mode keberagamaan seperti ini menjadi anti kritik. Lalu timbul apa yang disebut truth claim. Kebenaran ia klaim hanya milik kelompoknya, di luar kelompoknya atau di luar pemahamannya dianggap salah. Bagi yang seperti ini mengkritik hanyalah upaya menyalahkan orang yang tidak sepaham dengannya. Sikapnya menjadi tidak terbuka terhadap kemungkinan kebenaran-kebenaran dari yang lain. Wajar saja, karena baginya kebenaran sudah usai atau sudah final terbakukan. 

Maka agama cenderung mudah didogmatiskan. Sehingga ia terkesan “jangan dinalar” karena nalar hanya akan merusak tatanan mapan keberagamaan. Lalu muncullah anggapan bahwa agama hanya akan terpahami dengan kita mengimaninya. Iman menjadi senjata ampuh untuk mencegah seseorang menalar agama. Menalar tentu di dalamnya ada sikap kritis. Iman di sini dipersepsi menjadi suatu kegiatan yang untuk melakukannya tidak perlu menggunakan kerja ekstra nalar. Karena nalar, sekali lagi hanya akan merusak tatanan keberagamaan. 

Anggapan di atas tentu tidak sepenuhnya benar. Karena bila agama dipahami hanya satu alur saja. Yaitu agama dalam pengertiannya yang dogmatis-mapan. Maka sampai di situ sajalah kesempurnaan dari sifatnya yang sudah final itu. Di situ agama mati. Dalam arti agama menjadi susah merespon kondisi social pemeluknya. Yang dari masa ke masa mengalami perkembangan dan perubahan. Sehingga agama menjadi tidak relevan lagi untuk dianut oleh pemeluknya yang berbeda jaman. 

Padahal jika mau sedikit saja pandangan terhadap agama diubah dari pandangan dogmatis ke pandangan kritis. Niscaya agama akan mampu bermanfaat buat pemeluknya diberbagai masa yang tentu memliki tututan berbeda-beda. Kritis berarti mengguna nalar. Kritis juga berarti tidak adanya keterputusan pemahaman agama yang sarat dengan nuansa spiritual dengan alam konkrit tempat dimana manusia tinggal. Antara realitas spiritual menjadi saling terhubung dengan realitas konkrit. Karena daya kritis akan menjadi pengendali dan pengatur agar keduanya seimbang. Dan saling mengoreksi satu sama lain. 

Sikap kritis justru menghidupkan keberagamaan para pemeluknya. Agama menjadi hidup. Karena setiap saat ada penyegaran-penyegaran buat sesuatu yang dianggap membikin penat dalam beragama. Tentu dalam setiap agama harus ada sekelompok orang yang memahami agama dengan sikap kritis. Agar dengan itu siapa pun jadi punya pilihan untuk beragama. Sehingga agama tidak menjadi barang bekas yang hanya berguna buat sementara waktu saja.

Namun di samping semua itu, cara beragama yang mana pun faktanya tetap ada. Hanya saja keseragaman cara beragama jangan sampai tegak di bumi pertiwi karena itu bakal berefek mematikan agama. Biarkan fakta keberagamaan yang berbeda-beda menjadi fakta keberagaman buat dipilih. Agar timbul suatu sikap pertanggungjawaban penuh terhadap apa yang dipilih. 


*tulisan ini terinspirasi dari note Syarif Maulana yang berjudul “Filsafat dan Agama”
(8 april 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar