Teknologi membawa babak baru bagi peradaban manusia. Daya jangkau yang luas membuat interaksi manusia dalam dimensi ruang dan waktu semakin tak terbatas. Perangkat teknologi pada dasarnya memang diciptakan untuk memudahkan manusia dalam menjalani berbagai aktivitas kehidupan. Seiring berkembangnya teknologi dari waktu ke waktu, gaya hidup manusia berubah dan dominan dengan sentuhan digital.
Manusia yang menciptakan perangkat teknologi, dan pada akhirnya perangkat teknologi itulah yang membentuk atau mempengaruhi kehidupan manusia itu sendiri. Inilah sebuah asumsi determinisme teknologi yang digagas oleh Marshall McLuhan. Penemuan atau perkembangan teknologi komunikasi itulah yang sebenarnya yang mengubah kebudayaan manusia. Jika Karl Marx berasumsi bahwa sejarah ditentukan oleh kekuatan produksi, maka menurut McLuhan eksistensi manusia ditentukan oleh perubahan model komunikasi. Teknologi mempengaruhi cara berpikir dan bertindak manusia yang semakin berkembang.
Namun, apakah teknologi yang ada membuat gaya hidup manusia semakin beradab atau malah biadab? Faktanya, teknologi terkadang bisa membuat manusia kehilangan identitas diri. Fenomena ketimpangan sosial berakar dari sikap manusia yang kurang bijak dalam penggunaan teknologi.
Teknologi hanya alat untuk mempermudah dalam melakukan aktivitas. Bukan hanya komputer, tapi mulai dari ponsel, flashdisk, modem, sampai gadget yang tergolong high class, hanyalah sebagai alat sebagai perantara dalam media komunikasi untuk memperolah informasi. Namun, kini realitas yang ada, manusia tak jarang menjadikan gadget teknologi sebagai tujuan yang sebenarnya semu. Anak SD sudah menenteng-nenteng Blackberry ketika di angkot, biar terlihat gaya sepertinya. Bahkan mungkin saja, anak seumuran mereka tidak terlalu memerlukan Blackberry yang lengkap dengan fitur canggihnya kecuali hanya untuk sekedar SMSan atau update status Facebook mereka.
Kini, manusia secara bebas dapat mengekspresikan atau mengungkapkan gagasannya melalui jejaring sosial seperti Facebook, akun Twitter, serta dalam blog pribadinya. Teknologi ini berkembang dengan begitu cepat, internet menghilangkan sekat antara ruang dan waktu. Sehingga tidak kesulitan untuk mengetahui keadaan di tempat yang lain di era keberlimpahan informasi ini. Dengan sekali klik saat mengakses internet, semua informasi langsung didapat dengan cepat dan serba instan.
Salah satu dampak dari penggunaan teknologi secara berlebihan adalah lunturnya nilai spiritualitas dan teralienasi dari realitas sosial. Bahkan dekadensi moral generasi muda semakin memprihatinkan. Betapa tidak, jika berlama-lama berhadapan dengan jejaring Facebook dan asyik berselancar di dunia maya, hal itu akan membuat manusia semakin sulit mendefinisikan realitas sosial. Bahkan, mungkin terkurung pada arena “cuap-cuap” sosial yang semu. Meramaikan mailing list dengan isu-isu yang menghangat, namun lupa bahwa realitas sosial di luar “kamar” menuntut sikap dalam gerak langkah nyata. Sikap utopis muncul ke permukaan.
Teknologi seakan-akan menjadi “tuhan” yang mendominasi sebagian besar nafas hidup manusia mulai dari bangun tidur hingga kembali beristirahat. Bahkan, sebagian orang memilih untuk terjaga di malam hari dan berselancar sepuasnya di arena jejaring sosial. Manusia modern melahap berbagai informasi dari media komunikasi namun cepat lupa dan cenderung terjebak pada titik jenuh.
Hal menunjukkan bahwa teknologi membawa perubahan pada setiap sendi kehidupan tidak terkecuali dimensi komunikasi. Berdasarkan teori Shannon tentang komunikasi, “Bahwa inti manusia berkomunikasi adalah untuk dapat melengkapi pengetahuan yang mereka miliki, “ (Littlejohn 1999). Kecanggihan teknologi secara tersirat menuntut manusia untuk selalu mengikuti perkembangan teknologi komunikasi. Pada intinya, era digital memang sebuah masa dimana informasi begitu melimpah, manusia telah melihat informasi sebagai komoditas. Di mana informasi adalah modal utama mereka dalam bertahan hidup. Perubahan cara pandang masyarakat terhadap informasi mencerminkan adanya perubahan signifikan terhadap paradigma gaya hidup manusia, era digital membawa baru bagi manusia untuk terus berpacu dengan waktu, informasi bukan lagi datang per hari, namun setiap jam, menit, bahkan detik. Semua dilakukan dengan cepat dan instan, tak jarang rutinitas itu terus berulang dan memudarkan esensi aktivitas itu sendiri.
Internet sebagai kekuatan super yang sarat dengan nilai kecepatan tak dapat dibendung dan dikendalikan, bahkan bisa saja tak terjangkau oleh kekuatan hukum mana pun. Kekuatan inilah yang ditakutkan berdampak pada masalah isi informasi yang ada. Sifat pemberitaan atau informasi di dalam internet selain akan berisi pornografi dan kekerasan, juga akan berisi penyebaran informasi sampah. Dengan tidak adanya aturan di dunia internet, seolah-olah internet adalah ruang tak bertuan sehingga public sphere yang satu ini malah menjadi terror mental dan biang penyebaran kriminalitas (Prisgunanto, 2004).
Teknologi memang tidak perlu disalahkan dalam hal ini. Perubahan gaya hidup manusia dari waktu ke waktu memang sebuah keniscayaan. Namun, alangkah lebih baiknya manusia bersikap secara bijak dalam memanfaatkan teknologi. Jangan sampai teknologi dijadikan sebagai satu-satunya realitas, sementara realitas sosial lain di luar sana menjadikan manusia bersikap apatis dan individualis, bahkan idealis-utopis. Menginginkan semua persoalan hidup tuntas dengan serba instan tanpa melakukan langkah nyata apapun, hanya sebatas berkhayal dan berjibaku depan internet. Saatnya mengubah sikap untuk bersikap kritis terhadap teknologi, Menyikapi teknologi dengan bijak sesuai kebutuhan, tanpa melunturkan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Wildaini Shalihah**) Mahasiswi Jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Dimuat di Halaman Opini Jejaring HU Pikiran Rakyat, Senin 27 Juni 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar