oleh: Alam Permana*
* Kepala Bidang Kajian Sosial Politik PD Hima Persis Kota Bandung
Innocent of Muslim, sebuah film kontroversial yang saat ini menjadi hot
line teranyar dalam lembar pergolakan konflik antara Islam
dan “barat” dalam hal ini di refresentasikan oleh duta-duta propagandis yang
mengatasnamakan kemanusiaan ketika berbicara tentang kebaikan-kebaikan akal
budi yaitu sang penjaga perdamaian dunia (Amerika).
Senyatanya propaganda macam ini bukanlah black campanye baru, sebelumnya kasus kartun Nabi Muhammad, dan film Fitna telah mencoba menggelitik kaki Islam dengan maksud agar membuatnya bergerak menendang dengan membabi buta, tanpa melakukan pembacaan terhadap be hind the text dari propaganda-propaganda yang dilancarkan, alih-alih melakukan pembelaan yang terjadi malah berbagai tindakan yang kurang cerdas bahkan mengarah urakan, dilancarkan dengan mengatasnamakan pembelaan terhadap Islam. Selanjutnya saat ada pertanyaan “capaian apa yang mau diraih dari sikap-sikap represif buta yang dilakukan?” bukannya menjadi tameng Islam, pada realitasnya underestimate dan antipati dari masyarakat dunia yang didapat.
Senyatanya propaganda macam ini bukanlah black campanye baru, sebelumnya kasus kartun Nabi Muhammad, dan film Fitna telah mencoba menggelitik kaki Islam dengan maksud agar membuatnya bergerak menendang dengan membabi buta, tanpa melakukan pembacaan terhadap be hind the text dari propaganda-propaganda yang dilancarkan, alih-alih melakukan pembelaan yang terjadi malah berbagai tindakan yang kurang cerdas bahkan mengarah urakan, dilancarkan dengan mengatasnamakan pembelaan terhadap Islam. Selanjutnya saat ada pertanyaan “capaian apa yang mau diraih dari sikap-sikap represif buta yang dilakukan?” bukannya menjadi tameng Islam, pada realitasnya underestimate dan antipati dari masyarakat dunia yang didapat.
Tulisan ini tidak bermaksud
menilai skeptis atas apa yang telah dilakukan sebagian Ummat Islam di berbagai
belahan dunia terkait dengan responnya menyikapi fitnah yang ada. Mengutip
perkataan Ali Syari’ati “tafakkur tanpa dilanjutkan dengan ikhtiyar adalah
sebuah kebodohan, dan ikhtiyar tanpa didahului tafakkur adalah sebuah
ketololan/kekonyolan”, juga tulisan ini ingin menunjukan bahwa pada
kenyataannya respon represif yang membabibuta justru mengundang antipati dari
dunia. Selain itu, tulisan ini ingin coba menelaah secara objektif menggunakan
dua pendekatan, yakni pendekatan sosio-moralis dan sosio-politis, karena mau
tidak mau kecurigaan yang bersifat konspiratif mesti di siapkan terkait dengan
kepentingan-kepentingan yang ada di balik propaganda dari film Innocent of
Muslim ini.
Sebelum menerawang keluar
diri ummat Islam kita mulai dengan ,menerawang diri Ummat Islam, mencoba membaca
fenomena pembelaan terhadap Islam atas fitnah yang terjadi baru-baru ini,
sangat menggelitik benak, banyak cara yang dilakukan dan sikap yang bermunculan
ketika fitnah ini muncul. Menggelitiknya adalah bahwa momen difitnahnya Islam
seharusnya menjadi pemersatu feel ke-Islaman diantara ummat Islam ternyata
bertolak belakang dari keharusan tersebut, di beberapa jejaring sosial pernah
saya baca bagaimana antar ummat Islam bersitegang bahkan saling melecehkan,
hanya karena berbeda pandangan dan metode menyikapi fitnah yang terjadi. Tak
tanggung-tanggung aktifitas saling bersitegang ini pun dilakukan oleh beberapa
pihak yang “katanya” adalah aktifis Islam medok, pertanyaanya
adalah “apa maksud dari semua ini?”
Jawaban yang bisa
disarankan dalam tulisan ini adalah bahwa Nilai-nilai akal budi, Maqosid
al-Syar’i dan nilai-nilai dari illat da’wah seolah belum
mengkristal dalam setiing keberagamaan muslim kebanyakan. Nilai akal budi yang
berbicara tentang etika dan estetika memanusiakan manusia, mengapresiasi dan
mengkonfirmasi (dalam bahasa arabna mah Tabayyun) atas presfektif yang ada pada
diri-diri ummat Islam, percik-percik Maqosid al-Syar’i dan
makna da’wah pun tidak muncul, maka pantas jika orang non Islam enggan melihat
Islam secara jernih. Karena epistimologinya pun di biaskan, lihatlah jangankan
eksternal Islam yang harus di rekrut ke dalam Islam antar Islampun miris
dilihatnya, bukankah berda’wah itu harus dengan hikmah dan mau’idzoh?
Apalagi pada sesama muslim, bukankah jadal (berdebat) sekalipun dengan orang
non Islam harus dengan ahsan? Karena pada akhirnya kita pun bisa
menyadari pos kerja masing-masing. Bahwa dalam menyikapi pelecehan seperti ini
mesti dan niscaya harus ada kelompok-kelompok yang bersikap represif baik
bersuara maupun bertindak tapi juga harus ada kelompok yang lebih cerdas
melakukan pembacaan terhadap isu yang digelindingkan. Dan kedua kelompok ini
harus bersinergi melakukan kontribusi pencerdasan atas gerakan yang akan
dilakukan oleh kelompok represif, agar urgensi dan sasaran dari gerakannya
tepat tidak membabi buta, jika terjadi kesadaran dan sinergitas macam ini, maka
mustahil kiranya antar ummat Islam saling menghinakan ke-Islamannya. Bahkan
jika sekiranya berjatuhan korban, maka apresiasi terhadap korban itu pun akan
sangat tinggi selebihnya tidak sia-sialah pengorbanan yang dilakukan, tatkala
subtansi perlawanan atas fitnah ini terpat pada target sasarannya dan tidak
berimplikasi negatif baik pada ummat Islam maupun ajaran Islam itu sendiri.
Kiranya akan terwujudlah sinergitas yang seperti Alloh indikasikan dalam
firmannya Q.S at-Taubah :122
122. tidak sepatutnya bagi
mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.
Dan ini pulalah yang kurang
lebihnya dimaksud Ibnu Khaldun dalam Muqoddimahnya sebagai Creatif
Minority yang mensinergikan soliditas Asshobiyyah dalam membangun
peradaban suatu bangsa atau pun kelompok.
Secara sosio-politis,
propaganda fitnah ini sebenarnya adalah metode klasic berkutat pada penistaan
ayat Al-Qur’an dan Nabi Muhammad, terutama untuk meng-underestimate-kan
ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad utamanya berkenaan dengan penyampaian
wahyu-wahyu Alloh terkait hukum dan aturan-aturan jinayah maupun hukum-hukum
sekitar perang dan sikap-sikap saat terjadi konflik antara Ummat Islam dengan
non Islam. Jika kita lihat pola teks propaganda yang dilancarkan ada
kemungkinan yang menjadi tujuan provokasi adalah bukan hanya mencoba meng-underestimate-kan
wahyu saja dalam tataran konseptual, tapi justru digembargemborkannya provokasi
semacan ini untuk memancing ummat Islam bertindak represif yang diluar kendali
dan cenderung anarkis. Lalu apa be hind the teks dibalik semua
itu? Tak lain adalah mereka mencoba memperlihatkan pada dunia bahwa pemahaman
mereka terhadap teks wahyu yang disebut-sebut anarkis itu benar adanya atau
dengan kata lain telah terempiriskan.
Sementara itu kita masih
berkoarkoar dengan sangar bak kebakaran jenggot atas penghinaan terhadap Islam,
yang sebenarnya sekeji apa pun propaganda penistaan ini di tingkatkan tidak
akan pernah menghancurkan kemuliaan Islam sendiri. Alih-alih menyuarakan
kedamaian dan ajaran damai, yang ada adalah kesalahfahaman masyarakat dunia
atas sikap yang bertolak belakang dengan ajaran yang kita suarakan. Maka secara
politis, Islam tidak akan pernah mandapat simpati meski ajarannya berbicara
tentang bagaimana mengangkat derajat manusia pada level tertinggi Makhluk di
jagat raya ini.
Menengok pada kasus 9/11
WTC tatkala Islam di inisiasikan sebagai ajaran teror dan Ummat Islam sebagai
kader teroris, sampai saat ini prediksi kehancuran dan kemerosotan pemeluk
Islam justru berbanding terbalik, simpati dan respon positif bahkan terjadi.
Lonjakan pemeluk Islam yang sangat drastis di daratan Eropa dan Amerika
meningkat tanpa diduga-duga, karena ternyata apa yang di propagandakan tentang
radikalisme Islam itu tidak nampak dari pola keberagamaan yang menurun pada
pola kemasyarakatan atau interaksi sosial pemeluk Islam di daratan barat, itu
tidak terbukti.
Sebenarnya jika kita bisa
cerdas dan tenang menghadapi isu seperti ini, justru ini adalah momen tatkala
Islam disorot lensa kamera dunia –walaupun sisi kesalahfahaman atas ayat Alloh
yang digelindingkan untuk menyerang Islam- menjadi pusat perhatian. Yang lebih
urgen kita lakukan adalah justyru harus giat membuktikan bahwa apa yang mereka
tuduh tidak terempiriskan dengan menunjukan sikap-sikap elegan dan jantan
seorang muslim menyelesaikan masalah yaitu dengan Ahsan, Hikmah dan
Mauidzoh.
Sebernarnya “The Devil Of
God” yakni demokrasi yang menjadi topeng perdamaian dunia bisa dimanfaatkan,
karena walau bagaimanapun buruknya demokrasi nilai yang menjadi ruhnya adalah
kemanusiaan menghargai kebebasan melindungi kehormatan manusia dan keyakinan
yang di anutnya, hukum menjadi Tangan Tuhan di dunia saat ini setelah Uang dan
kekuasaan. Jika kita melek hukum akan lebih idealnya jika jalur hukum dan
segala pembuktiannya yang kita tempuh, itu pun bisa menjadi cerminan bahwa
Islam dan Ummatnya itu kuat otaknya bukan hanya ototnya. Ya, mungkin hasilnya
tidak akan sesuai dengan yang diinginkan yaitu tidak mendapat putusan yang adil
tapi setidaknya masyarakat dunia sudah cerdas mencermati
kejanggalan-kejanggalan dari dunia yang semerawut ini, namun sayang ummat Islam
sampai saat ini terlalu rijid dan kaku ketika harus bersentuhan dengan yang
disebut-sebut produk Barat, bahkan didoktrinisasi untuk mengenyahkan sepenuhnya
apa-apa yang ada di barat –bukan lahir di barat tapi ada di barat. Padahal jika
kita merujuk Tarikh tentang Islam sebelum Hijrah, Rosululloh memanfaatkan hukum
orang jahilyyyah Makkah sebagai tameng mempertahankan diri di Makkah dan
menyebarkan ajarannya. Beliau tidak lantas alergi karena pada kenyataannya
harus diterima bahwa Islam belum mempunyai kedaulatan.
Akhirul Qalam, menjadi
tenang dan lebih cerdas menghadapi masalah bukan berarti ketidakpedulian atas
masalah tersebut, apalagi kelemahan atas sebuah keberimanan, namun Alloh lebih
mengingatkan dengan Firmannya “Waltandzur nafsun maa qwoddamat li ghodin”.
Wallohu’alam
Wamaa yaddzakkaru illa ulul
albab
* Kepala Bidang Kajian Sosial Politik PD Hima Persis Kota Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar