Like This, Oke !!

Bewara

Hadirilah....
DISKUSI KEBANGSAAN JILID II "Momentum Hari Pahlawan, Upaya Membangun Bandung Berdikari"
Pembicara :
1. Drs. H. Asep Dedy Ruyadi, M.Si (Wakil Ketua DPRD KOTA BANDUNG)
2. H. Dedi Supandi, S.STP, M.Si (Ketua DPD KNPI KOTA BANDUNG)
3. Ust. Iman Setiawan Latief, SH (Ketua PD PERSIS KOTA BANDUNG)
4. Ridwan Rustandi (Ketua Hima Persis Kota Bandung
Jum'at, 16 November 2012
13.00-selesai
@AULA PP PERSIS (Jl. Perintis Kemerdekaan)

Graties dan terbuka untuk umum!!

KOpi gratis, Snack Gratis, dll

Organized BY
PD HIMA PERSIS KOTA BANDUNG
CP:085721502422

Senin, 01 Oktober 2012

MUSLIM DI PERSIMPANGAN FITNAH (telaah kritis film Inocent of Muslim)

oleh: Alam Permana*

Innocent of Muslim, sebuah film kontroversial yang saat ini menjadi hot line teranyar dalam lembar pergolakan konflik antara Islam dan “barat” dalam hal ini di refresentasikan oleh duta-duta propagandis yang mengatasnamakan kemanusiaan ketika berbicara tentang kebaikan-kebaikan akal budi yaitu sang penjaga perdamaian dunia (Amerika).



Senyatanya propaganda macam ini bukanlah black campanye baru, sebelumnya kasus kartun Nabi Muhammad, dan film Fitna telah mencoba menggelitik kaki Islam dengan maksud agar membuatnya bergerak menendang dengan membabi buta, tanpa melakukan pembacaan terhadap  be hind  the  text dari propaganda-propaganda yang dilancarkan, alih-alih melakukan pembelaan yang terjadi malah berbagai tindakan yang kurang cerdas bahkan mengarah urakan, dilancarkan dengan mengatasnamakan pembelaan terhadap Islam. Selanjutnya saat ada pertanyaan “capaian apa yang mau diraih dari sikap-sikap represif buta yang dilakukan?” bukannya menjadi tameng Islam, pada realitasnya underestimate dan antipati dari masyarakat dunia yang didapat.

Tulisan ini tidak bermaksud menilai skeptis atas apa yang telah dilakukan sebagian Ummat Islam di berbagai belahan dunia terkait dengan responnya menyikapi fitnah yang ada. Mengutip perkataan Ali Syari’ati “tafakkur tanpa dilanjutkan dengan ikhtiyar adalah sebuah kebodohan, dan ikhtiyar tanpa didahului tafakkur adalah sebuah ketololan/kekonyolan”, juga tulisan ini ingin menunjukan bahwa pada kenyataannya respon represif yang membabibuta justru mengundang antipati dari dunia. Selain itu, tulisan ini ingin coba menelaah secara objektif menggunakan dua pendekatan, yakni pendekatan sosio-moralis dan sosio-politis, karena mau tidak mau kecurigaan yang bersifat konspiratif mesti di siapkan terkait dengan kepentingan-kepentingan yang ada di balik propaganda dari film Innocent of Muslim ini.

Sebelum menerawang keluar diri ummat Islam kita mulai dengan ,menerawang diri Ummat Islam, mencoba membaca fenomena pembelaan terhadap Islam atas fitnah yang terjadi baru-baru ini, sangat menggelitik benak, banyak cara yang dilakukan dan sikap yang bermunculan ketika fitnah ini muncul. Menggelitiknya adalah bahwa momen difitnahnya Islam seharusnya menjadi pemersatu feel ke-Islaman diantara ummat Islam ternyata bertolak belakang dari keharusan tersebut, di beberapa jejaring sosial pernah saya baca bagaimana antar ummat Islam bersitegang bahkan saling melecehkan, hanya karena berbeda pandangan dan metode menyikapi fitnah yang terjadi. Tak tanggung-tanggung aktifitas saling bersitegang ini pun dilakukan oleh beberapa pihak yang “katanya” adalah aktifis Islam medok, pertanyaanya adalah “apa maksud dari semua ini?”

Jawaban yang bisa disarankan dalam tulisan ini adalah bahwa Nilai-nilai akal budi, Maqosid al-Syar’i   dan nilai-nilai dari illat da’wah seolah belum mengkristal dalam setiing keberagamaan muslim kebanyakan. Nilai akal budi yang berbicara tentang etika dan estetika memanusiakan manusia, mengapresiasi dan mengkonfirmasi (dalam bahasa arabna mah Tabayyun) atas presfektif yang ada pada diri-diri ummat Islam, percik-percik Maqosid al-Syar’i   dan makna da’wah pun tidak muncul, maka pantas jika orang non Islam enggan melihat Islam secara jernih. Karena epistimologinya pun di biaskan, lihatlah jangankan eksternal Islam yang harus di rekrut ke dalam Islam antar Islampun miris dilihatnya, bukankah berda’wah itu harus dengan hikmah dan mau’idzoh? Apalagi pada sesama muslim, bukankah jadal (berdebat) sekalipun dengan orang non Islam harus dengan ahsan? Karena pada akhirnya kita pun bisa menyadari pos kerja masing-masing. Bahwa dalam menyikapi pelecehan seperti ini mesti dan niscaya harus ada kelompok-kelompok yang bersikap represif baik bersuara maupun bertindak tapi juga harus ada kelompok yang lebih cerdas melakukan pembacaan terhadap isu yang digelindingkan. Dan kedua kelompok ini harus bersinergi melakukan kontribusi pencerdasan atas gerakan yang akan dilakukan oleh kelompok represif, agar urgensi dan sasaran dari gerakannya tepat tidak membabi buta, jika terjadi kesadaran dan sinergitas macam ini, maka mustahil kiranya antar ummat Islam saling menghinakan ke-Islamannya. Bahkan jika sekiranya berjatuhan korban, maka apresiasi terhadap korban itu pun akan sangat tinggi selebihnya tidak sia-sialah pengorbanan yang dilakukan, tatkala subtansi perlawanan atas fitnah ini terpat pada target sasarannya dan tidak berimplikasi negatif baik pada ummat Islam maupun ajaran Islam itu sendiri. Kiranya akan terwujudlah sinergitas yang seperti Alloh indikasikan dalam firmannya Q.S at-Taubah :122

122. tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Dan ini pulalah yang kurang lebihnya dimaksud Ibnu Khaldun dalam Muqoddimahnya sebagai Creatif Minority yang mensinergikan soliditas Asshobiyyah dalam membangun peradaban suatu bangsa atau pun kelompok.

Secara sosio-politis, propaganda fitnah ini sebenarnya adalah metode klasic berkutat pada penistaan ayat Al-Qur’an dan Nabi Muhammad, terutama untuk meng-underestimate-kan ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad utamanya berkenaan dengan penyampaian wahyu-wahyu Alloh terkait hukum dan aturan-aturan jinayah maupun hukum-hukum sekitar perang dan sikap-sikap saat terjadi konflik antara Ummat Islam dengan non Islam. Jika kita lihat pola teks propaganda yang dilancarkan ada kemungkinan yang menjadi tujuan provokasi adalah bukan hanya mencoba meng-underestimate-kan wahyu saja dalam tataran konseptual, tapi justru digembargemborkannya provokasi semacan ini untuk memancing ummat Islam bertindak represif yang diluar kendali dan cenderung anarkis. Lalu apa be hind the teks dibalik semua itu? Tak lain adalah mereka mencoba memperlihatkan pada dunia bahwa pemahaman mereka terhadap teks wahyu yang disebut-sebut anarkis itu benar adanya atau dengan kata lain telah terempiriskan.

Sementara itu kita masih berkoarkoar dengan sangar bak kebakaran jenggot atas penghinaan terhadap Islam, yang sebenarnya sekeji apa pun propaganda penistaan ini di tingkatkan tidak akan pernah menghancurkan kemuliaan Islam sendiri. Alih-alih menyuarakan kedamaian dan ajaran damai, yang ada adalah kesalahfahaman masyarakat dunia atas sikap yang bertolak belakang dengan ajaran yang kita suarakan. Maka secara politis, Islam tidak akan pernah mandapat simpati meski ajarannya berbicara tentang bagaimana mengangkat derajat manusia pada level tertinggi Makhluk di jagat raya ini.

Menengok pada kasus 9/11 WTC tatkala Islam di inisiasikan sebagai ajaran teror dan Ummat Islam sebagai kader teroris, sampai saat ini prediksi kehancuran dan kemerosotan pemeluk Islam justru berbanding terbalik, simpati dan respon positif bahkan terjadi. Lonjakan pemeluk Islam yang sangat drastis di daratan Eropa dan Amerika meningkat tanpa diduga-duga, karena ternyata apa yang di propagandakan tentang radikalisme Islam itu tidak nampak dari pola keberagamaan yang menurun pada pola kemasyarakatan atau interaksi sosial pemeluk Islam di daratan barat, itu tidak terbukti.

Sebenarnya jika kita bisa cerdas dan tenang menghadapi isu seperti ini, justru ini adalah momen tatkala Islam disorot lensa kamera dunia –walaupun sisi kesalahfahaman atas ayat Alloh yang digelindingkan untuk menyerang Islam- menjadi pusat perhatian. Yang lebih urgen kita lakukan adalah justyru harus giat membuktikan bahwa apa yang mereka tuduh tidak terempiriskan dengan menunjukan sikap-sikap elegan dan jantan seorang muslim menyelesaikan masalah yaitu dengan Ahsan, Hikmah dan Mauidzoh.

Sebernarnya “The Devil Of God” yakni demokrasi yang menjadi topeng perdamaian dunia bisa dimanfaatkan, karena walau bagaimanapun buruknya demokrasi nilai yang menjadi ruhnya adalah kemanusiaan menghargai kebebasan melindungi kehormatan manusia dan keyakinan yang di anutnya, hukum menjadi Tangan Tuhan di dunia saat ini setelah Uang dan kekuasaan. Jika kita melek hukum akan lebih idealnya jika jalur hukum dan segala pembuktiannya yang kita tempuh, itu pun bisa menjadi cerminan bahwa Islam dan Ummatnya itu kuat otaknya bukan hanya ototnya. Ya, mungkin hasilnya tidak akan sesuai dengan yang diinginkan yaitu tidak mendapat putusan yang adil tapi setidaknya masyarakat dunia sudah cerdas mencermati kejanggalan-kejanggalan dari dunia yang semerawut ini, namun sayang ummat Islam sampai saat ini terlalu rijid dan kaku ketika harus bersentuhan dengan yang disebut-sebut produk Barat, bahkan didoktrinisasi untuk mengenyahkan sepenuhnya apa-apa yang ada di barat –bukan lahir di barat tapi ada di barat. Padahal jika kita merujuk Tarikh tentang Islam sebelum Hijrah, Rosululloh memanfaatkan hukum orang jahilyyyah Makkah sebagai tameng mempertahankan diri di Makkah dan menyebarkan ajarannya. Beliau tidak lantas alergi karena pada kenyataannya harus diterima bahwa Islam belum mempunyai kedaulatan.

Akhirul Qalam, menjadi tenang dan lebih cerdas menghadapi masalah bukan berarti ketidakpedulian atas masalah tersebut, apalagi kelemahan atas sebuah keberimanan, namun Alloh lebih mengingatkan dengan Firmannya “Waltandzur nafsun maa qwoddamat li ghodin”.

Wallohu’alam
Wamaa yaddzakkaru illa ulul albab





* Kepala Bidang Kajian Sosial Politik PD Hima Persis Kota Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar