Like This, Oke !!

Bewara

Hadirilah....
DISKUSI KEBANGSAAN JILID II "Momentum Hari Pahlawan, Upaya Membangun Bandung Berdikari"
Pembicara :
1. Drs. H. Asep Dedy Ruyadi, M.Si (Wakil Ketua DPRD KOTA BANDUNG)
2. H. Dedi Supandi, S.STP, M.Si (Ketua DPD KNPI KOTA BANDUNG)
3. Ust. Iman Setiawan Latief, SH (Ketua PD PERSIS KOTA BANDUNG)
4. Ridwan Rustandi (Ketua Hima Persis Kota Bandung
Jum'at, 16 November 2012
13.00-selesai
@AULA PP PERSIS (Jl. Perintis Kemerdekaan)

Graties dan terbuka untuk umum!!

KOpi gratis, Snack Gratis, dll

Organized BY
PD HIMA PERSIS KOTA BANDUNG
CP:085721502422

Kamis, 16 Februari 2012

Proposal di Tangan Kaum Aktivis


oleh Yoga ZaraAndritra pada 17 Februari 2012 pukul 0:55 ·





Tak terkecuali, kader Hima Persis pun kerapkali (banyak yang) terperangkap di mata rantai yang selama ini membelenggu "kaum aktivis". Mata rantai itu berupa siklus yang tak putus-putus terus dipraktekan secara tidak sadar dan diterima sebagai pencapaian tertinggi (kebajikan tertinggi), yaitu siklus yang endingnya mengantarkan sang aktivis ke kursi kekuasaan (duduk di kursi empuk kaum birokrat). 


Persepsi kebajikan macam ini secara tidak sadar telah menjadikan mereka salah satunya sebagai kader pembuat proposal, yang bisa jadi setiap saat ada dalam kondisi harap-harap cemas menunggu proposalnya di-ACC oleh penguasa. Proposal bukan lagi sekedar proposal, pada titik itu ia berfungsi sebagai alat legitimasi disayang oleh penguasa (yang punya kuasa, biasanya proposal sang aktivis diajukan pada kaum birokrat sebab mereka dipandang sebagai sang empunya; uang, link, dan lain sebagainya). 

Relasi yang dibangun antara  pengaju proposal dengan penguasa adalah relasi anak kecil yang meminta uang ke bapaknya. Jadi jelas, organisasi yang intens mengajukan proposal pada penguasa adalah organisasi impotent atau infantil (jika meminjam bahasa Freud). Infantil artinya kekanak-kanakan, yang akan  senantiasa setia memelas dan meminta-minta pada yang punya kuasa, dalam hal ini kaum birokrat. Maka, idealisme secara ikhlas disembunyikan terlebih dahulu, dan goal utamanya adalah dikasihani (diberi bantuan)  oleh yang empunya kuasa (kaum birokrat).

Alih-alih bermusuhan dengan kaum birokrat-lintah rakyat, sang aktivis malah mengembangkan satu etika kaum budak, kaum yang selalu merelakan dirinya diperdagangkan. Bisa kita lihat, misalnya sang aktivis melalui seperangkat keterampilan berorganisasinya, ia menggalang massa sebanyak mungkin. Massa, kenapa massa? sebab kaum birokrat butuh massa. Banyak tidaknya massa menjadi faktor penentu kaum birokrat mengasihani sang aktivis yang sudah susah-susah membuat proposal. Seberapa banyak massanya, menjadi pertimbangan utama kaum birokrat meng-ACC proposal. Massa dibutuhkan, sebab sudah menjadi pengetahuan umum bahwasannya kita hidup dalam akuarium demokrasi, kekuasaan ada di tangan pemegang orang terbanyak (massa). Maka, loby-loby dengan penguasa dalam hal ini adalah kata lain dari transaksi jual beli massa.

Seringnya proposal yang diajukan sang aktivis ke penguasa di-ACC, menjadi pertanda bahwasannya sang aktivis telah mampu memenuhi apa yang diminta oleh penguasa padanya. Ini juga menjadi pertanda bahwasannya sang aktivis mampu membeli hati sang penguasa, ke depan biasanya sang aktivis akan diposisikan oleh sang penguasa, di kursi empuk yang diinginkannya. Lama-lama bila relasi sang aktivis dengan kaum birokrat terjalin mesra, sang aktivis adalah birokrat-birokrat kecil yang siap menggantikan birokrat-birokrat dewasa di kursinya. Begitu, begitu, begitu selanjutnya. Siklus ini, siklus yang abadi, siapa pun yang berusaha memutusnya dia akan terpental dari kancah perebutan kursi kekuasaan. Ia yang mencoba memutusnya akan menjadi kaum nirkuasa.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar