oleh Yoga ZaraAndritra pada 13 Maret 2012 pukul 16:35 ·
Revolusi, Konon Katanya Marx
Tentu kita mengenal Marx, seorang pemikir yang dielu-elukan oleh sebagian orang yang akrab dengan wacana pembebasan. Bagi mereka, Marx adalah rujukan/ referen buat membangun satu kesadaran kritis (melawan). Marx dielu-elukan bukan karena kualitas dirinya yang, misalnya sukses sebagai pemimpin keluarga. Dia, kita tahu semua gagal memimpin keluarga, mencukupi hajat hidup keluarganya. Ekonomi keluarganya ditopang oleh sahabatnya yang memiliki pabrik di Inggris, yaitu Engels.
Sistem kapitalis yang menghisap itu, menurut Marx mesti dijungkirbalikan, dan diruntuhkan. Maka perubahan social mesti diupayakan, dan perubahan social hanya dapat berjalan melalui revolusi. Menurut Marx, hubungan-hubungan yang dibangun oleh semangat kapitalis tidak sesuai dengan manusia. Oleh karenanya, Marx menuntut revolusi. Selain konon katanya dalam bukunya, Das Capital, Marx menyampaikan bahwasannya revolusi dalam konteks hubungan kelas borjuis dengan kelas proletar adalah suatu keniscayaan. Artinya, revolusi adalah hasil tak terelakan berdasarkan hukum-hukum objektif perkembangan masyarakat. Keyakinan itu, sekaligus dapat digunakan sebagai objek agitasi politik.
Dalam hal ini, perbaikan/perubahan tidak diarahkan pada perbaikan-perbaikan kecil masih dalam satu system. Marx berbicara keseluruhan system. System yang menjajah itu sendiri seluruhnya mesti diubah. Struktur-struktur social yang lahir dari system kapitalis mesti didobrak, digantikan dengan system yang baru. Yang secara total mampu mengangkat derajat kemanusiaan itu sendiri.
Alienasi pada manusia, menurut Marx tidak ditimbulkan dari egoism majikan atau kejahatan pemilik pabrik semata. Hal itu terjadi karena system kaptalisme secara tidak sadar telah mengarahkan individu-individu untuk bekerja sesuai system. Dari system kapitalisme terbentuklah kelas-kelas social yang berdasarkan hak milik pribadi. Pembagian manusia ke dalam kelas-kelas membuat manusia tidak dapat mengembangkan dirinya secara utuh karena terhambat oleh sekat-sekat kelas yang secara tidak sadar menguasainya. Keterpecahan kelas macam itu, yang membuat manusia tidak utuh sebagai pribadi dan mengalienasi dirinya bukanlah sekedar masalah kehendak buruk semata, ia adalah masalah struktur system kapitalis.
Oleh karena itu emansipasi hanya dapat tercapai melalui penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi 1. Hak milik pribadi atas alat-alat produksi adalah dasar seluruh system masyarakat kapitalis. Hal itu berarti seluruh system yang digunakan masyarakat sekarang (masyarakat kapitalis) mesti diakhiri dengan revolusi, tidak secara bertahap dan dalam waktu yang lama.
Keadaan sosial yang buruk, keterasingan manusia, dan ketidakadilan yang dipraktekan di masyarakat menurut Marx berakar dari system kapitalis. Oleh karenanya siapa yang sungguh-sungguh ingin menghapuskan ketidakadilan dan menegakkan tatanan hidup masyarakat yang adil, mesti menjungkirbalikan system yang buruk, dan tidak puas dengan kegiatan membenahi titik per titik yang rusak masih dalam keseluruhan system yang rusak. Sebab ternyata system yang buruklah yang mendasari keadaan sosial yang buruk, bukan individunya.
Bisa kita lihat, Marx mau mengajak kita melihat sambil menganalisis realitas yang melingkupi kita tidak dengan analisis moralitas individu melainkan dengan semangat analisis struktur yang menguasai/ analisis system. Selain itu, Marx juga mau mengajak kita untutk seantiasa tidak anti terhadap perubahan. Struktur masyarakat dari masa ke masa mestilah terus dipertanyakan, sebab struktur masyarakat bukanlah sesuatu yang statis, ia sekalipun bersikap tertutup tetapi masih bisa dipaksa untuk berubah. Jalan perubahan itu adalah jalan revolusi, jalan paksa merombak satu system.
Melihat Struktur Nampak Kampus Kita
Sebagai manusia yang berkuliah di sini, kita dalam hirarki struktur kampus sering disebut sebagai mahasiswa. Ya, kita masuk dalam kelas sosial mahasiswa. Semangat awal mahasiswa adalah berkuliah/menuntut ilmu. Sebagai mahasiswa, kita sering disebut-sebut berhak mendapatkan ilmu. Adapun golongan pemberi ilmu, dikenal dengan kaum dosen. Pada titik itu, hubungan yang terbangun adalah hubungan ilmiah; dosen adalah kelompok orang yang dijustifikasi mumpuni dalam bidang ilmu sehingga ia berhak dan wajib menyampaikan ilmu kepada mahasiswa sebagai penuntut ilmu.
Interaksi antara dosen dengan mahasiswa terjadi di dalam kelas dengan seperangkat alat yang dibutuhkan. Hubungan keduanya dibangun berdasarkan motif ilmiah. Itulah semangat adanya kampus, adalah semangat mewadahi kegiatan ilmiah, oleh karenanya, sesungguhnya kampus dibuat untuk mewadahi terutama interaksi antara mahasiswa dengan dosen . Tak heran jika fasilitas di kampus dibangun untuk menunjang kegiatan-kegiatan ilmiah. Misalnya; perpustakaan, laboratorium dan gedung olahraga. Semua itu ada sebagai fasilitas penunjang kegiatan ilmiah.
Dan kaum birokrat muncul sebagai penjamin berlangsungnya kegiatan ilmiah antara dosen dengan mahasiswa. Kaum birokrat dipersepsi sebagai golongan manusia yang bertugas mengatur-ngatur urusan kampus sebagai organisasi. Mereka bertugas menjamin terfasilitasinya kegiatan ilmiah, antara dosen dengan mahasiswa. Urusan mengenai tata letak gedung dan design kampus, di situlah mereka bertugas. Tidak hanya itu, kata-kata menjamin terfasilitasinya kegiatan ilmiah meliputi; terjaminnya keamanan, kebersihan, kelayakan infrastruktur, dan segala urusan administrasi yang melingkupi dosen dan mahasiswa. Semua yang tersebut tadi, ada di bawah wewenang kaum birokrat, tentu saja berdasarkan pembagian kerja dan keahliannya.
Secara sederhana, hubungan yang terbangun antar kelas di kampus UIN Bandung didasari satu motif, yaitu motif ilmiah. Terdiri dari tiga kelas; kelas birokrat, kelas dosen, dan kelas mahasiswa. Namun, apakah relasi yang terbangun antar tiga kelas itu, semata-mata berdasarkan motif ilmiah? Dan apakah struktur itu yang nyatanya melingkupi kita? Selanjutnya, tulisan saya akan mengarah pada pengungkapan struktur laten di kampus kita. Struktur laten yang dimaksud adalah struktur sesungguhnya yang menguasai kita dan membuat kita sebagai mahasiswa terjajah, dan dirugikan.
Diantara Struktur Laten Kampus Kita
Tentang struktur yang nampak, kita sudah sama-sama tahu motif yang melatarinya adalah motif ilmiah. Namun ada lagi struktur yang tidak nampak, yaitu diwakili oleh HMI dan PMII, keduanya saling bertarung di kampus kita. Berlomba-lomba merembes ke tiga kelas tersebut di atas, tujuannya agar bisa menguasai kendali roda kampus. Motifnya tidak lagi semata-mata motif ilmiah, melainkan motif ekonomi.
Di ranah ini pergerakan bukan lagi berfokus pada berlomba-lomba membawa kampus ke arah yang lebih baik. Di ranah ini pergerakan dibawa ke arah yang lebih pragmatis; berbicara soal kekuasaan dan soal keuntungan berupa uang untuk makan sehari-hari sang aktor dan organisasinya. Jika pun ada soal-soal ideologi dibicarakan, itu bukan semata-mata untuk perjuangan ideologi, melainkan hanya sebagai komoditas. Fungsinya untuk menggalang massa saja, untuk kemudian massa itu dikomoditaskan juga, ditukar dengan kursi kekuasaan.
Jika pun mereka berbicara ideologi, ideologi macam apa, ideologi yang mereka punya adalah ideologi tua yang relevansinya dengan kenyataan hari ini tidak pernah dipertanyakan sejauh mana. Jika memang relevan, sejauh mana efektifitasnya mampu membawa kampus ke arah yang lebih baik. Bukan malah melestarikan ketidakprofesionalan yang implikasinya membuat kampus acak-acakan. Maksud ketidakprofesionalan adalah, misalnya asalkan ia kader organisasi mainstream di atas maka ia layak menjadi dosen, menjadi kajur, menjadi dekan dan menjadi lain-lainnya asal punya gaji tetap. Atau asalkan ia kader organisasi mainstream di atas ia dapat memperoleh nilai mata kuliah secara mudah, meski kualifikasi dirinya di mata kuliah itu belum memadai.
Itulah yang saya maksud motif ekonomi. Pertarungan antara HMI dengan PMII bukan semata-mata pertarungan menegakan ideologi demi kemaslahatan kampus;melainkan pertarungan demi mendapatkan beasiswa meski bukan haknya, dan menduduki jabatan meski tidak memenuhi kualifikasi. Mereka menjelma menjadi struktur laten di balik struktur-struktur formal di dalam institusi kampus kita. Dari mulai struktur birokrasi paling bawah sampai ke struktur birokrasi paling atas (dari HMJ sampai ke tingkat Rektorat) mereka ada di dalamnya.
Gerakan Sempalan
Melihat kenyataan macam itu, agaknya ada sedikit pemikiran Marx mengenai revolusi yang bisa dijadikan salah satu rujukan. Ia beranggapan, mustahil membenahi keadaan jika kita masih berada di dalam struktur yang jadi biang kerusakan. Jika kita ingin membenahi keadaan, maka kita mesti berada di luar struktur yang jadi biang kerusakan.
Dari anggapan seperti itu maka kita bisa prediksi kesimpulan yang bakal muncul dari orang-orang yang percaya dirinya mampu membenahi keadaan melalui dirinya masuk ke dalam struktur yang jadi biang kerusakan, kesimpulannya yaitu mustahil. Mustahil sebab ketika dia masuk ke dalam struktur yang dimaksud, misalnya HMI atau PMII, yang dia hadapi bukan hanya kader baru saja tapi juga kader lama yang telah duduk di kursi-kursi kekuasaan kampus, yang secara otomatis memiliki pengaruh besar. Ada tembok besar berlapis-lapis yang mesti ia hadapi dalam struktur yang ia masuki. Dan tembok besar berlapis-lapis itu mustahil bisa dihancurkan hanya dengan tangan kosong.
Oleh karenanya, barang siapa yang ingin memperbaiki keadaan ia mesti berada di luar struktur korup dan membangun struktur baru atau bergabung dengan struktur yang telah ada untuk melawan struktur korup. Struktur baru yang dibangun mestilah berlainan motif, bukan bermotif ekonomi dan mestilah tidak masuk dalam gelanggang pertarungan memperebutkan kursi kekuasaan di kampus. Struktur baru itu mesti berada di luar pola-pola lama.
Itulah yang dimaksud gerakan sempalan. Gerakan sempalan tidak berkepentingan duduk di kursi kekuasaan, dan ikut bertarung memperebutkannya. Ia ada sebagai kekuatan penyeimbang kekuatan mainstream yang terepresentasi dalam wujud organisasi HMI dan PMII.
Buku Rujukan :
- 1 Hal 141 (Filsafat Sebagai Ilmu Kritis – Franz Magnis Suseno. 1992. Yogyakarta: Pustaka Kanisius)
- Terjm. (Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop – John Storey. 2007. Yogyakarta: Jalasutra)
Keterangan :
*Tulisan ini disampaikan dalam diskusi panel bersama Ketua Cabang HMI Kab. Bandung dalam acara yang digelar oleh Hima Percuy UIN Bandung, dengan tema “Revolusi Sosial”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar