Oleh : Hilman Rasyid*
"Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan"
-Soe Hok-gie
Hiruk
pikuk dan dinamika politik di negeri ini yang semakin rumit, menjadi
sebuah momentum untuk menampilkan kembali sosok Soe Hok-gie yang hampir
telah dilupakan oleh mayoritas rakyat Indonesia. Di tengah krisis rasa
keadilan, hilangnya rasa malu dan gencarnya semangat untuk menggugat
khususnya hukum saat ini, sosok Soe atau Gie; panggilan akrabnya, pantas
ditampilkan kembali di era globalisasi ini. Soe yang kita kenal sebagai
orang yang cerdas, penulis produktif, pemberani, idealis murni, seorang
demonstran namun romantis, aktivis tahun ’66. serta intelektual muda
yang luar biasa, dan semangatnya yang senantiasa menggelegak, seakan tak
peduli risiko apa pun yang bakal menimpanya karena kecintaannya pada
keindonesiaan.
Dalam catatan narasi sejarah bangsa
Indonesia telah terukir, bagaimana daya juang yang diperlihatkan sosok
Soe Hok-gie yang pernah ikut andil dalam menumbangkan rezim orde lama
dan menentang Pemimpin Besar Revolusi, Presiden Soekarno. Soe memang
sosok yang keras baik dalam sikap intelektual maupun politik. Di dalam
bukunya yang terkenal “Catatan Seorang Demonstran”, beliau mencurahkan
segala unek-unek yang terjadi pada masanya. Analisisnya yang tajam
terhadap berbagai permasalahan bangsa lewat tulisannya yang sering
dimuat di beberapa Koran, menjadikannya sebagai orang yang terkenal
kritis baik di kalangan mahasiswa maupun para pejabat negeri ini.
Tulisan-tulisan yang tajam mengkritisi ketidakadilan; korupsi dan suap
merajalela, ternyata keluar dari sosok yang sederhana, ringkih, dengan
cara jalan yang lucu. Sungguh berbeda dengan gambaran pemuda masa kini
yang berpenampilan urakan dengan jaket, bendera dan celana robeknya.
Kemudian tidak sedikit pemuda yang bisanya berteori di mulut saja tanpa
ada realisasi, dan lebih parah lagi pemuda yang apatis terhadap
problematika bangsa Indonesia. Betapa tidak menariknya para pemuda
sekarang ini. Sosok idealis seperti Gie itulah yang bisa membuat anak
muda berani menghadapi hidup, menyelami relung-relung bangsa yang penuh
liku dan luka, menjadi pemuda yang bisa dibanggakan bagi masyarakat,
bangsa, dan negara.
Tugas Pemuda; Membaca untuk Melawan
Angkatan
muda sekarang sepertinya telah tertular dan terjebak oleh virus yang
bernama “Kapitalisme Global”. Sistem tersebut telah berhasil membuat
khususnya angkatan muda bersikap apatis, materialis, konsumeris (rakus),
hedonis dan lain-lain. Merajalelanya patologi sosial (penyakit
masyarakat) seperti: prostitusi, bisnis esek-esek, mafia perjudian,
aborsi, minuman keras dan narkoba, sudah sampai pada titik nadir yang
sangat memprihatinkan. Pemuda hari ini selalu sibuk menyaksikan siaran
hiburan televisi, entah itu sinetron beradegan tangis bombay, nyanyian
dengan tarian goyang-goyang dada dan pinggul, film action dar-der-dor
berdarah-darah, serial komedi yang berteriak ketawa-ketiwi basi, ataupun
tayangan infotainment yang hanya gosip picisan orang berniat kawin
cerai, dan lain-lain. Angkatan muda jelas mempunyai tugas yang sangat
signifikan yaitu membaca untuk melawan. Melawan dengan intelektualitas
pada ketidakadilan dan ketidakjujuran di berbagai hegemoni kehidupan,
baik melawan dengan tulisan maupun dengan ucapan. Karena kita adalah
pionir perubahan. Maka keberadaan kita diharapkan bisa mendesain dan
memicu adanya perbaikan bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Semangat Perbaikan Indonesia
Impian
Soe Hok-gie untuk membangun Indonesia yang lebih adil, makmur,
sejahtera, dan demokratis masih sangat relevan hingga saat ini. Dalam
usia Republik Indonesia yang ke-66 tahun pada 2011 ini, ternyata bangsa
kita belum semuanya menikmati rasa keadilan, kemakmuran, dan
kesejahteraan. Sistem demokrasi Indonesia yang datang silih berganti
ternyata juga belum mampu membawa Indonesia ke situasi yang amat
diidam-idamkan itu.
Indonesia tetap membutuhkan angkatan
intelektual yang bukan saja kaya akan konsep-konsep ilmiah, namun juga
mau terjun langsung ke lapangan. Angkatan Intelektual Indonesia bukanlah
cendekia yang yang tinggal di “Menara Gading” dan tidak memperdulikan
kondisi masyarakat yang hidup di dasar menara. Seorang mahasiswa sebagai
angkatan intelektual haruslah siap bagaikan “pertapa yang turun dari
tempat pertapaan mereka di gunung-gunung sepi untuk mengabdi pada
rakyatnya”. Artinya, hasil kontemplasi pemikirannya sebagai pertapa yang
menimba ilmu di unversitas diimplementasikan atau diwujudkan dalam
pemikiran dan tindakan nyata di masyarakat.
Kita adalah
harapan bagi masa depan bangsa. Tugas kita semua adalah mempersiapkan
diri dengan sebaik-baiknya untuk mengambil peran dalam proses
pembangunan untuk kemajuan bangsa kita di masa depan. Estafet
kepemimpinan di semua lapisan, baik di lingkungan suprastruktur negara
maupun di lingkup infrastruktur masyarakat, peluangnya terbuka luas
untuk kita, sebagai angkatan muda Indonesia. Namun bayangkanlah, jika
semua angkatan muda terjebak pada hegemoni kemaksiatan, terpenjara dalam
romantisme sejarah, tetapi tidak mampu merealisasikan ide-ide yang baik
karena ketiadaan kemampuan teknis, keterampilan manajerial untuk
merealisasikannya, sungguh tidak akan ada perbaikan dalam kehidupan
kebangsaan kita ke depan.
Dengan demikian, rakyat
Indonesia telah menunggu pemuda yang kritis dan berani berteriak lantang
menjawab pertanyaan-pertanyaan, tidak takut melawan ketidakadilan dan
ketidakjujuran di bumi pertiwi ini, oleh tokoh baru dengan tantangan
baru. Rakyat mencari dan berharap kehadiranmu “Soe Hok-gie jilid II”.
Bravo Indonesiaku!!
*Hilman Rasyid -Mahasiswa PBA UPI Bandung dan Wakil Ketua Dept. KAIS KEMABA UPI ‘11
Sekum HIMA Persis UPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar