Sebetulnya ini gagasan lama, yang saya maksud dengan Visi Politik Persis yang
realistik adalah saat ketika Persis mentahbiskan dirinya masuk di barisan pendukung
cita-cita Natsir, namun tidak serta merta menelan bulat-bulat gagasan dan
cita-cita Natsir, melainkan mengkontekstualkannya ke realitas politik hari ini.
Kita tahu, cita-cita itu
adalah tegaknya syariat Islam di Indonesia (dalam bahasa lain mungkin Negara
Islam Indonesia) tapi terlebih dahulu melalui jalur perjuangan konstitusional,
bisa dikatakan gerakan Natsir adalah gerakan Islam Politik yang
memilih jalur halus, berbeda dengan gerakan Kartosuwiryo yang lebih radikal dan
terkesan revolusioner.
Sejenak saya ingin mengajak
kawan pembaca untuk melayangkan ingatannya ke masa lalu, terutama ke masa di
mana pergumulan gagasan Islam Politik masih ramai dibicarakan.
Di era Orde Lama cita-cita
Islam Politik selalu ditautkan dengan Masyumi dan di era pra kemerdekaan
ditautkan kepada Syarikat Islam. Saya tidak ingin mengulas tentang SI. Langsung
masuk saja ke era Orde Lama, dan Masyumi sebagai gerbong ide itu ternyata
kandas dipangkas oleh Bung Karno. Masyumi dibubarkan bersama-sama dengan PSI
(Partai Sosialis Indonesia).
Sampai di situ Umat Islam diminorkan secara politik oleh penguasa. Upaya peminoran kekuatan politik umat Islam ternyata tidak berhenti sampai di situ. Sampai orde baru dikukuhkan, hak-hak politik orang Masyumi beserta partainya tidak lagi dipulihkan.
Walau begitu, tidak lantas
cita-cita Natsir ini pudar. Sampai tiba waktunya di tahun 70-an Cak Nur
mengumandangkan gagasan "Islam yes, partai Islam no". Dari sinilah
trend berpikir kalangan muda Islam tidak lagi berorientasi pada Islam Politik
yang dikumandangkan Natsir cs. Sebab kumandang suara cita-cita Natsir ini
kurang begitu berefek luas buat perbaikan masyarakat, yang ada justru malah
makin menyulitkan posisi Umat Islam.
Mari kita runut, kenapa Cak
Nur kala itu melontarkan pernyataan macam itu. Menurut hemat saya berdasarkan
pada beberapa referensi yang saya baca, pernyataan itu terlontar atas dasar
kondisi politik pada waktu itu yang tidak memungkinkan umat Islam untuk terus
bersuara keras-keras kaitannya tentang cita-cita Natsir yang juga cita-cita
Masyumi. Sebab jika itu dilakukan terus, pihak penguasa bakal makin
menggencet posisi Umat Islam secara politis. Pernyataan itu agaknya adalah
upaya win-win solution Cak Nur agar Umat Islam beserta ajarannya bisa terus
dengan leluasa bergerak namun jangan di ranah politik praktis.
Sesungguhnya pernyataan Cak
Nur itu hanya relevan buat gerakan Umat Islam pada waktu itu, tiada
lain untuk memecah kebekuan gerakan umat Islam yang terkesan
beromantis-romantis ria pada euforia cita-cita di masa lalu. Sementara energi
umat Islam habis buat dipake membicarakan soal itu, (yang dipandang tidak ada
maslahatnya) di sana penguasa makin kuat saja bercokol. Semacam kesia-sian dan
kebuntuan gerakan yang dihasilkan. Solusinya adalah, "berhenti dulu
berbicara soal cita-cita lawas itu, dan mari kita isi kekosongan ranah-ranah
lainnya dengan cita-cita yang ada". Terbukti, di era reformasi, pernyataan
itu dianulir oleh Cak Nur, terlihat dari sikap politik Cak Nur yang mendukung
partai Islam mana saja.
Seperti halnya Cak Nur
kemudian muncul Yusril, membawa cita-cita yang sama, dengan Natsir, namun
Yusril terkesan menganggap selesai obrolan tentang Negara Islam dan lebih
tertarik berbicara soal transformasi ajaran-ajaran Islam ke ranah
konstitusional. Ya, itulah yang saya maksud dengan Visi Politik Persis yang
realistik adalah gagasan lama. Yaitu tentang transformasi ajaran-ajaran Islam
ke ranah hukum atau konstitusi negara kita.
Tapi persoalannya tidak
lagi di ranah gagasan buat saya, sejak lahirnya PBB (Partai Bulan Bintang),
pembicaraan itu sudah dianggap selesai. Hemat saya, persoalannya sekarang
adalah berupa pertanyaan, "Punyakah Persis keinginan/agenda politik jangka
panjang maupun jangka pendek?". Sebab bagi saya, mustahil menyusun
manifesto gerakan tanpa terlebih dahulu menginventarisir angan-angan Persis
secara organisasional.
Singkatnya, Persis mesti
me-list angan-angan realnya secara sungguh-sungguh. Dan tidak melulu bertumpu
pada adagium "sedikit tapi berkualitas", jika masih menggunakan
adagium itu sebagai pegangan itu artinya Persis anti mobilisasi massa. Hemat
saya, sebab Persis adalah organisasi umat, maka ia mestinya berorientasi pada
kepentingan orang banyak dan terampil memobilisasi massa buat
kepentingan-kepentingannya atau dalam bahasa lain, Persis mestilah tidak anti
mobilisasi massa.
Sampai kapan pun, jika
Persis masih berpegang teguh pada pernyataan "sedikit tapi
berkualitas", di ranah perjuangan politik, Persis tidak akan menang dan
akan selalu begitu, menjadi organisasi picisan yang kurang diperhitungkan. Di
samping itu, menjadi tidak tepat, Persis sebagai organisasi umat namun tidak
berpihak pada orang banyak (kwantitas), berarti Persis sesungguhnya hanya untuk
kalangan elit perkotaan atau pedesaan saja.
Mesti dipisahkan, ada
cita-cita politik jangka panjang, ada juga cita-cita politik jangka pendek.
Cita-cita politik jangka panjang, hampir bisa dipastikan, gerakan Islam manapun
mencita-citakannya, tiada lain yaitu, tegaknya ajaran Islam seluruhnya di Bumi
Indonesia ini. adapun cita-cita politik jangka pendek adalah, diantaranya
terbentuknya negara Islam di negeri ini seperti yang dicita-citakan Natsir,
adapula yang menyatakan cukup dengan transformasi ajaran-ajaran saja secara
konstitusional seperti yang dikatakan Yusril cs.
Di zamannya, polemik Natsir
dengan Soekarno tentang Negara Islam adalah hal yang biasa dan masih dipandang
perlu. Lalu di tahun 70-an polemik itu jadi tidak relevan, malah dipandang
sebagai sebuah kemandekan gerakan Umat Islam oleh Cak Nur. Kemudian di era
Reformasi Cak Nur terlihat menganulir pendapatnya tentang Islam Politik.
Kemudian muncullah Yusril. Pertanyaannya, hari ini Persis berpegang pada
pendirian politik jangka pendek yang mana? Natsirkah? Cak Nur era 70-an kah?
atau Yusrilkah? Kelihatannya Persis berpegang pada garis pendirian Yusril,
terlihat dari kedekatan Persis dengan PBB. Pertanyaan selanjutnya, cukup
memadaikah PBB buat dijadikan gerbong perjuangan politik Persis?
Mengubah Pertanyaan dan
Alur Cerita yang jadi landasan Pertanyaan
Melihat kronologis cerita
di atas (terutama tentang Natsir, Cak Nur, dan Yusril), yang berakhir pada
muara pemikiran tentang pemilahan peran antara ormas dan orpol. Terkesan
mensubordinasi Persis sehingga menimbulkan persoalan 'kelebihan muatan' dari
satu anggota yang rangkap keanggotaan (ormas dan orpol), sering terjadi
tubrukan kepentingan antara ormas dengan orpol yang didukung. Yang sering
membuat si aktor kebingungan dan pada akhirnya mesti memilih satu diantara dua
(kebanyakan memilih orpol). Ini persoalan, secara tidak sadar kita
terkondisikan untuk ribut sendiri di dalam.
Berdasarkan kronologis
cerita yang bermuara pada pertanyaan di atas (pertanyaan tentang pilih
pendirian siapa), maka kita menteorikan bahwa politik dalam hal ini adalah
semata-mata perjuangan mengkonstitusikan ajaran-ajaran Islam ke dalam tubuh
struktur Negara. Padahal, apa gunanya wacana itu tanpa ditunjang dengan
perebutan-perebutan dan penguasaan basis-basis produksi dan basis massa. Pada
titik ini, pandangan saya tentang politik adalah bukan hanya tentang penetapan
nilai-nilai moral /ajaran dalam bernegara, melainkan terutama tentang bagaimana
caranya mendominasi.
Saya kira, di awal-awal
kemunculannya, Persis punya pengaruh besar karena kader-kadernya menonjol
di bidang-bidang tertentu sehingga mampu mendominasi kebijakan-kebijakan yang
dilahirkan partai (Masyumi). Agaknya semangat dominasi ini luput kita baca.
kita masih terbuai oleh mitos-mitos "Politik Bermoral" yang
sesungguhnya melemahkan gerakan Umat Islam pada umumnya. Atau bahkan kita jadi
jijik dan jorok terhadap politik karena massifnya propaganda kaum liberal yang
tidak ingin melihat bangkitnya orang Islam yang progresif yang berani bertarung
di gelanggang perjuangan politik yang dicitrakan tak bermoral.
Maka pertanyaan yang muncul
kemudian adalah punyakah Persis seperangkat doktrin yang membuat kader-kadernya
mau terjun ke ranah Perjuangan Politik dan memiliki mental dominatif? dan
sudahkah Persis me-list angan-angan politisnya?
Terakhir,
lebih sederhana lagi, yang saya maksud dengan Visi Politik Persis adalah berupa
angan-angan/cita-cita atau harapan yang dilandasi semangat dominasi. Dan yang
dimaksud realistik adalah tidak sekedar aktifitas pemilihan pendirian mana dari
tiga pemikir (Natsir, Cak Nur, Yusril) yang sesuai dengan kondisi zaman ini,
melainkan lebih pada sudah sejauh mana kerja praksis Persis di ranah politik
hari ini.
Ya, persoalannya bukan lagi di ranah mau pilih pindirian siapa. Sebab sejak lahirnya Yusril dengan PBB-nya persoalan itu mestinya sudah dianggap selesai. Kita tidak lagi berkutat membicarakan Negara Islam dan yang sejenisnya. Melainkan sudah masuk ke ranah penyusunan manifesto gerakan, seraya mengubah seperangkat doktrin gerakan agar lebih kontekstual dan relevan.
Ya, persoalannya bukan lagi di ranah mau pilih pindirian siapa. Sebab sejak lahirnya Yusril dengan PBB-nya persoalan itu mestinya sudah dianggap selesai. Kita tidak lagi berkutat membicarakan Negara Islam dan yang sejenisnya. Melainkan sudah masuk ke ranah penyusunan manifesto gerakan, seraya mengubah seperangkat doktrin gerakan agar lebih kontekstual dan relevan.
Namun, mesti dicatat
baik-baik, semua ini haruslah berangkat dari dan diakhiri dengan kerja praksis
Persis sebagai organisasi tidak hanya habis menguap sampai catatan-catatan
politik di atas kertas atau wacana-wacana di mimbar saja.
Yoga ZaraAndritra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar