Like This, Oke !!

Bewara

Hadirilah....
DISKUSI KEBANGSAAN JILID II "Momentum Hari Pahlawan, Upaya Membangun Bandung Berdikari"
Pembicara :
1. Drs. H. Asep Dedy Ruyadi, M.Si (Wakil Ketua DPRD KOTA BANDUNG)
2. H. Dedi Supandi, S.STP, M.Si (Ketua DPD KNPI KOTA BANDUNG)
3. Ust. Iman Setiawan Latief, SH (Ketua PD PERSIS KOTA BANDUNG)
4. Ridwan Rustandi (Ketua Hima Persis Kota Bandung
Jum'at, 16 November 2012
13.00-selesai
@AULA PP PERSIS (Jl. Perintis Kemerdekaan)

Graties dan terbuka untuk umum!!

KOpi gratis, Snack Gratis, dll

Organized BY
PD HIMA PERSIS KOTA BANDUNG
CP:085721502422

Senin, 24 September 2012

Menjernihkan Apa yang Dimaksud dengan Visi Politik Persis yang Realistik (Tambahan buat Fauzal Ihsan)

Sebetulnya ini gagasan lama, yang saya maksud dengan Visi Politik Persis yang realistik adalah saat ketika Persis mentahbiskan dirinya masuk di barisan pendukung cita-cita Natsir, namun tidak serta merta menelan bulat-bulat gagasan dan cita-cita Natsir, melainkan mengkontekstualkannya ke realitas politik hari ini.

Kita tahu, cita-cita itu adalah tegaknya syariat Islam di Indonesia (dalam bahasa lain mungkin Negara Islam Indonesia) tapi terlebih dahulu melalui jalur perjuangan konstitusional, bisa dikatakan gerakan Natsir adalah gerakan  Islam Politik  yang memilih jalur halus, berbeda dengan gerakan Kartosuwiryo yang lebih radikal dan terkesan revolusioner. 

Sejenak saya ingin mengajak kawan pembaca untuk melayangkan ingatannya ke masa lalu, terutama ke masa di mana pergumulan gagasan Islam Politik masih ramai dibicarakan.

Di era Orde Lama cita-cita Islam Politik selalu ditautkan dengan Masyumi dan di era pra kemerdekaan ditautkan kepada Syarikat Islam. Saya tidak ingin mengulas tentang SI. Langsung masuk saja ke era Orde Lama, dan Masyumi sebagai gerbong ide itu ternyata kandas dipangkas oleh Bung Karno. Masyumi dibubarkan bersama-sama dengan PSI (Partai Sosialis Indonesia).


Sampai di situ Umat Islam diminorkan secara politik oleh penguasa. Upaya peminoran kekuatan politik umat Islam ternyata tidak berhenti sampai di situ. Sampai orde baru dikukuhkan, hak-hak politik orang Masyumi beserta partainya tidak lagi dipulihkan.

Walau begitu, tidak lantas cita-cita Natsir ini pudar. Sampai tiba waktunya di tahun 70-an Cak Nur mengumandangkan gagasan "Islam yes, partai Islam no". Dari sinilah trend berpikir kalangan muda Islam tidak lagi berorientasi pada Islam Politik yang dikumandangkan Natsir cs. Sebab kumandang suara cita-cita Natsir ini kurang begitu berefek luas buat perbaikan masyarakat, yang ada justru malah makin menyulitkan posisi Umat Islam.

Mari kita runut, kenapa Cak Nur kala itu melontarkan pernyataan macam itu. Menurut hemat saya berdasarkan pada beberapa referensi yang saya baca, pernyataan itu terlontar atas dasar kondisi politik pada waktu itu yang tidak memungkinkan umat Islam untuk terus bersuara keras-keras kaitannya tentang cita-cita Natsir yang juga cita-cita Masyumi. Sebab jika itu dilakukan  terus, pihak penguasa bakal makin menggencet posisi Umat Islam secara politis. Pernyataan itu agaknya adalah upaya win-win solution Cak Nur agar Umat Islam beserta ajarannya bisa terus dengan leluasa bergerak namun jangan di ranah politik praktis.

Sesungguhnya pernyataan Cak Nur itu hanya relevan buat gerakan  Umat Islam  pada waktu itu, tiada lain untuk memecah kebekuan gerakan umat Islam yang terkesan beromantis-romantis ria pada euforia cita-cita di masa lalu. Sementara energi umat Islam habis buat dipake membicarakan soal itu, (yang dipandang tidak ada maslahatnya) di sana penguasa makin kuat saja bercokol. Semacam kesia-sian dan kebuntuan gerakan yang dihasilkan. Solusinya adalah,  "berhenti dulu berbicara soal cita-cita lawas itu, dan mari kita isi kekosongan ranah-ranah lainnya dengan cita-cita yang ada". Terbukti, di era reformasi, pernyataan itu dianulir oleh Cak Nur, terlihat dari sikap politik Cak Nur yang mendukung partai Islam mana saja.

Seperti halnya Cak Nur kemudian muncul Yusril, membawa cita-cita yang sama, dengan Natsir, namun Yusril terkesan menganggap selesai obrolan tentang Negara Islam dan lebih tertarik berbicara soal transformasi ajaran-ajaran Islam ke ranah konstitusional. Ya, itulah yang saya maksud dengan Visi Politik Persis yang realistik adalah gagasan lama. Yaitu tentang transformasi ajaran-ajaran Islam ke ranah hukum atau konstitusi negara kita. 

Tapi persoalannya tidak lagi di ranah gagasan buat saya, sejak lahirnya PBB (Partai Bulan Bintang), pembicaraan itu sudah dianggap selesai. Hemat saya, persoalannya sekarang adalah berupa pertanyaan, "Punyakah Persis keinginan/agenda politik jangka panjang maupun jangka pendek?". Sebab bagi saya, mustahil menyusun manifesto gerakan tanpa terlebih dahulu menginventarisir angan-angan Persis secara organisasional. 

Singkatnya, Persis mesti me-list angan-angan realnya secara sungguh-sungguh. Dan tidak melulu bertumpu pada adagium "sedikit tapi berkualitas", jika masih menggunakan adagium itu sebagai pegangan itu artinya Persis anti mobilisasi massa. Hemat saya, sebab Persis adalah organisasi umat, maka ia mestinya berorientasi pada kepentingan orang banyak dan terampil memobilisasi massa buat kepentingan-kepentingannya atau dalam bahasa lain, Persis mestilah tidak anti mobilisasi massa. 

Sampai kapan pun, jika Persis masih berpegang teguh pada pernyataan "sedikit tapi berkualitas", di ranah perjuangan politik, Persis tidak akan menang dan akan selalu begitu, menjadi organisasi picisan yang kurang diperhitungkan. Di samping itu, menjadi tidak tepat, Persis sebagai organisasi umat namun tidak berpihak pada orang banyak (kwantitas), berarti Persis sesungguhnya hanya untuk kalangan elit perkotaan atau pedesaan saja. 

Mesti dipisahkan, ada cita-cita politik jangka panjang, ada juga cita-cita politik jangka pendek. Cita-cita politik jangka panjang, hampir bisa dipastikan, gerakan Islam manapun mencita-citakannya, tiada lain yaitu, tegaknya ajaran Islam seluruhnya di Bumi Indonesia ini. adapun cita-cita politik jangka pendek adalah, diantaranya terbentuknya negara Islam di negeri ini seperti yang dicita-citakan Natsir, adapula yang menyatakan cukup dengan transformasi ajaran-ajaran saja secara konstitusional seperti yang dikatakan Yusril cs.

Di zamannya, polemik Natsir dengan Soekarno tentang Negara Islam adalah hal yang biasa dan masih dipandang perlu. Lalu di tahun 70-an polemik itu jadi tidak relevan, malah dipandang sebagai sebuah kemandekan gerakan Umat Islam oleh Cak Nur. Kemudian di era Reformasi Cak Nur terlihat menganulir pendapatnya tentang Islam Politik. Kemudian muncullah Yusril. Pertanyaannya, hari ini Persis berpegang pada pendirian politik jangka pendek yang mana? Natsirkah? Cak Nur era 70-an kah? atau Yusrilkah? Kelihatannya Persis berpegang pada garis pendirian Yusril, terlihat dari kedekatan Persis dengan PBB. Pertanyaan selanjutnya, cukup memadaikah PBB buat dijadikan gerbong perjuangan politik Persis?

Mengubah Pertanyaan dan Alur Cerita yang jadi landasan Pertanyaan

Melihat kronologis cerita di atas (terutama tentang Natsir, Cak Nur, dan Yusril), yang berakhir pada muara pemikiran tentang pemilahan peran antara ormas dan orpol. Terkesan mensubordinasi Persis sehingga menimbulkan persoalan 'kelebihan muatan' dari satu anggota yang rangkap keanggotaan (ormas dan orpol), sering terjadi tubrukan kepentingan antara ormas dengan orpol yang didukung. Yang sering membuat si aktor kebingungan dan pada akhirnya mesti memilih satu diantara dua (kebanyakan memilih orpol). Ini persoalan, secara tidak sadar kita terkondisikan untuk ribut sendiri di dalam. 

Berdasarkan kronologis cerita yang bermuara pada pertanyaan di atas (pertanyaan tentang pilih pendirian siapa), maka kita menteorikan bahwa politik dalam hal ini adalah semata-mata perjuangan mengkonstitusikan ajaran-ajaran Islam ke dalam tubuh struktur Negara. Padahal, apa gunanya wacana itu tanpa ditunjang dengan perebutan-perebutan dan penguasaan basis-basis produksi dan basis massa. Pada titik ini, pandangan saya tentang politik adalah bukan hanya tentang penetapan nilai-nilai moral /ajaran dalam bernegara, melainkan terutama tentang bagaimana caranya mendominasi.

Saya kira, di awal-awal kemunculannya, Persis  punya pengaruh besar karena kader-kadernya menonjol di bidang-bidang tertentu sehingga mampu mendominasi kebijakan-kebijakan yang dilahirkan partai (Masyumi). Agaknya semangat dominasi ini luput kita baca. kita masih terbuai oleh mitos-mitos "Politik Bermoral" yang sesungguhnya melemahkan gerakan Umat Islam pada umumnya. Atau bahkan kita jadi jijik dan jorok terhadap politik karena massifnya propaganda kaum liberal yang tidak ingin melihat bangkitnya orang Islam yang progresif yang berani bertarung di gelanggang perjuangan politik yang dicitrakan tak bermoral. 

Maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah punyakah Persis seperangkat doktrin yang membuat kader-kadernya mau terjun ke ranah Perjuangan Politik dan memiliki mental dominatif? dan sudahkah Persis me-list angan-angan politisnya?

Terakhir, lebih sederhana lagi, yang saya maksud dengan Visi Politik Persis adalah berupa angan-angan/cita-cita atau harapan yang dilandasi semangat dominasi. Dan yang dimaksud realistik adalah tidak sekedar aktifitas pemilihan pendirian mana dari tiga pemikir (Natsir, Cak Nur, Yusril) yang sesuai dengan kondisi zaman ini, melainkan lebih pada sudah sejauh mana kerja praksis Persis di ranah politik hari ini.

Ya, persoalannya bukan lagi di ranah mau pilih pindirian siapa. Sebab sejak lahirnya Yusril dengan PBB-nya persoalan itu mestinya sudah dianggap selesai. Kita tidak lagi berkutat membicarakan Negara Islam dan yang sejenisnya. Melainkan sudah masuk ke ranah penyusunan manifesto gerakan, seraya mengubah seperangkat doktrin gerakan agar lebih kontekstual dan relevan.
Namun, mesti dicatat baik-baik, semua ini haruslah berangkat dari dan diakhiri dengan kerja praksis Persis sebagai organisasi tidak hanya habis menguap sampai catatan-catatan politik di atas kertas atau wacana-wacana di mimbar saja.


Yoga ZaraAndritra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar