Like This, Oke !!

Bewara

Hadirilah....
DISKUSI KEBANGSAAN JILID II "Momentum Hari Pahlawan, Upaya Membangun Bandung Berdikari"
Pembicara :
1. Drs. H. Asep Dedy Ruyadi, M.Si (Wakil Ketua DPRD KOTA BANDUNG)
2. H. Dedi Supandi, S.STP, M.Si (Ketua DPD KNPI KOTA BANDUNG)
3. Ust. Iman Setiawan Latief, SH (Ketua PD PERSIS KOTA BANDUNG)
4. Ridwan Rustandi (Ketua Hima Persis Kota Bandung
Jum'at, 16 November 2012
13.00-selesai
@AULA PP PERSIS (Jl. Perintis Kemerdekaan)

Graties dan terbuka untuk umum!!

KOpi gratis, Snack Gratis, dll

Organized BY
PD HIMA PERSIS KOTA BANDUNG
CP:085721502422

Sabtu, 08 September 2012

Tentang Persatuan Islam: Mengafirmasi Politik Dengan Kejelasan Teori

(Tambahan untuk Yoga ZaraAndrita)

Oleh: Ihsan Fauzal Firdaus

Sekitar delapan dekade ke belakang kita menyaksikan perubahan radikal antara realitas Islam dan politik. Patut disebutkan keberadaan Pan-Islamisme sebagai pionir awal munculnya perhatian mendalam terhadap realitas politik di masa itu. Dalam literatur ke-tafsir-an kita melihat pergantian “musim” semenjak munculnya Tafsir al-Manar karya Rashid Ridha, murid terbaik Abduh. Tidak bisa terelakkan pula implikasi praksis dari perubahan paradigma tafsir ini. Di antara yang patut kita tilik adalah munculnya Ikhwan al-Muslim (Muslim Brotherhood) pada tahun 1928. Hassan al-Banna, seorang pelopor dan perumus awal bagi terjadinya Ikhwan al-Muslim, sangat terpengaruhi oleh karya-karya Ridha ini.

Memperhatikan visi politik Persatuan Islam (selanjutnya disebut Persis) berarti juga menilik perjuangan Persis dari latar historis Persis itu lahir. Mengapa saya ungkapkan pertautan antara Islam dan politik di dunia Timur Tengah (Mesir) untuk menarik jalur ke pertautan antara Persis dan politik? Karena Persis lahir dari zaman yang sama dengan pembaruan di Mesir yang mulai ‘tren’ di paruh awal abad 20 sebagai reaksi terhadap kolonialisme yang merajalela di dunia Islam.

Riset Deepa Kumar, pada bukunya Islam Politik, menyebutkan beberapa faktor terjadinya perhatian Islam terhadap dunia politik. Bahkan kemunculan gerakan Islam radikal dan revival pada waktu itu (maksudnya paruh awal abad 20) sebagai serangkaian reaksi terhadap dominasi penguasa dalam melakukan kediktatorannya. Namun ada yang unik dalam realitas tersebut. Seperti yang diulas oleh Kumar dengan cukup jeli, terbentuknya Ikhwan al-Muslim pun akhirnya akan melancarkan posisi kaum Barat (USA dan sekutunya) untuk menumpas kaum-kaum yang tidak seideologi dengannya. Misalnya, kemunculan Gamal Abdul Nasser sebagai presiden Mesir yang pernah menasbihkan diri sebagai Sosialis Arab memang mengancam ideologi Liberal yang diagung-agungkan oleh Barat. Sejalan dengan itu, kemunculan Ikhwan al-Muslim pun dijadikan alat bagi Barat untuk menumbangkan Sosialisme Arab yang sejatinya kontra dengan ideologi mereka.

Bagi Kumar, kemunculan slogan-slogan seperti ‘Kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah’ harus diartikan sebagai upaya dan reaksi Islam besar-besaran terhadap realitas kolonialis ini. Namun, beberapa dekade setelahnya, Barat menggunakan gerakan tersebut untuk menumbangkan musuh ideologis mereka, yaitu sekularisme dan komunisme (atau sosialisme). Untuk melihat itu, Ikhwan al-Muslim sengaja diberi founding oleh para sekutu USA sebagai usaha untuk menumbangkan Nasserisme di Mesir, yang jelas-jelas menancapkan bendera sosialisme. Atau kemunculan wahabisme sebagai sebuah ideologi tidak bisa ditafsirkan begitu saja sebagai reaksi purifikasi nilai keagamaan saja, namun harus ditarik dari konteks historis munculnya Islam politik, yaitu semenjak campur tangannya USA terhadap ekonomi Arab Saudi sebagai penghasil minyak besar. Kemunculan Liga Muslim Sedunia pada tahun 1962 pula sebagai awal dari dominasi Barat terhadap kondisi perekonomian di Arab Saudi.

Lantas bagaimana di Persis sendiri? Bagaimana realitas di Dunia Timur Tengah tersebut secara paradigmatis merupakan realitas yang sangat terkait dengan kemunculan Persis sendiri. Kemunculan Persis sebagai sebuah organisasi Islam juga harus ditafsir sebagai munculnya gerakan keagamaan yang berbasis terhadap al-Quran dan sunah.

Sebagaimana diungkap di muka, adagium yang berbunyi ‘Kembali kepada Quran dan sunah’ merupakan reaksi terhadap munculnya berbagai varian ideologi yang bertaburan di paruh awal abad 20, namun juga sebagai reaksi terhadap kepungan kolonialisme. Dengan adanya jargon itu, dimungkinkan Persis atau Muslim umumnya bisa memegang teguh Quran dan sunah sebagai kitab ideologis mereka.

Tidak lupa, ada semangat purifikasi agama yang dilaukan oleh Persis sebagai usaha titik tolak untuk melakukan perombakan total dalam melakukan ibadah.

Namun kalau berbicara politik secara an sich, Persis seakan diam seribu bahasa. Memang tidak bisa dipungkiri, kebangkitan gerakan dan organisasi Islam di Timur Tengah harus juga ditafsir dengan penetrasi ekonomi Barat dan akselerasi gerakan tersebut di kancah perpolitikan. Namun bagi Persis itu akan lain ceritanya. Semangat Timur Tengah yang bergema lewat reformasi aqidah versi Abduh atau gerakan keagamaan ala al-Banna menggema di tubuh Persis, tetapi posisinya berbeda. Makanya, realitas ekonomi-politik di dunia Timur Tengah itu tidak berlaku, atau setidaknya berbeda dengan realitas di Indonesia, atau daerah munculnya Persis itu.

Tidak pernah ada satu riset pun yang membuktikan adanya pertautan antara Persis dan pemodal asing untuk menggunakan Persis sebagai alat politik penumbang ideologi komunis misalnya. Berbeda dengan gerakan atau ormas Islam yang lain, JIL misalnya. Dalam salah satu kesempatan, Majalah Risalah pernah mencantumkan riset tentang organisasi Islam yang didanai oleh pemodal asing semacam Asia Fondation, yang jelas-jelas menancapkan bendera ekonomi neo-liberal di tanah kita. Makanya, kemunculan Islam Liberal pun tidak lepas dari kepentingan asing dalam melakukan penetrasi ekonominya dan melakukan pembersihan gaya ekonomi sosialis dan Islam misalnya.

Di lain pihak, kita juga tidak bisa melihat pertautan langsung antara Persis dan politik riil dalam konteks ke-Indonesia-an. Misalnya kita melihat tokoh kondang Persis, M. Natsir yang masuk dunia politik sebagai representasi dari alpanya Persis di dunia politik nasional atau internasional. Itu karena, M. Natsir, setelah masuk dunia politik, dia menanggalkan status ke-Persis-annya. Hal tersebut dimungkinkan karena Persis tidak mengandaikan langsung adanya anggota yang aktif di parpol atau kondisi politik apapun.

Perlunya Manifesto Persis Sebagai Sains Politik
Dalam salah satu artikelnya (status facebook), Yoga ZaraAndrita mengulas tentang pentingnya visi politik yang realistik bagi Persis. Dalam taraf tertentu saya setuju, namun pada yang lain, saya mengusulkan bagi adanya reideologisasi bagi doktrin-doktrin Persis sendiri karena bagi saya letak problematisnya bukan masalah realistik atau tidaknya, tetapi ada pada kejelasan atau tidaknya ide dasar dari politik Persis.

Apabila kita membaca secara perlahan QA&QD Persis, secara implisit kita akan menemukan beberapa doktrin yang memang “mengganggu” bagi lancarnya Persis di dunia politik. Misalnya, dengan mengutip hadits tentang kepemimpinan, Persis berhasil memberikan citra bahwa kepatuhan terhadap pemimpin merupakan kewajiban yang tidak bisa ditolak. Namun, implikasi praktis-politik dari penerimaan hadits tersebut secara mentah-mentah akan mengakibatkan tiadanya dialektika atau konfrontasi untuk menghasilkan ide yang lebih baru. Artinya, pilihan politik ditentukan oleh tetua dari Persis sendiri, tidak mengandaikan adanya aspirasi lanjutan ketika munculnya keputusan tersebut. Atau saya bahasakan dengan agak sangar, alpanya peran aktif kader Persis dalam pergumulannya dengan real politics.

Dalam salah satu statemennya, Yoga berusaha mengafirmasi Persis politik yang eksplisit dalam pemikiran Isa Anshari. Dengan begitu Persis tidak lagi dilihat sebelah mata atau hanya dijadikan lumbung suara bagi oknum-oknum tertentu untuk mengamankan suara politik atas nama patuh terhadap pemimpin baik lewat Cabang, Daerah, Wilayah ataupun Pusat.

Hemat saya, percaturan Persis di dunia politik bukan hanya direvisi pandangan politiknya, tetapi kita juga harus melakukan reorientasi dalam menafsir ulang QA&QD sebagai pegangan bagi kader sendiri. Namun itu akan menjadi angan belaka kalau tidak dibarengi dengan pendidikan teoretik yang kokoh.

Saya mengira, bahwa absennya Persis di dunia Politik, selain ada larangan untuk ikut Parpol, tapi juga tiadanya traktat politk yang ketat dan manifesto perjuangan yang memadai sebagai panduan gerakan. Kita seakan kabur (Sunda: samar polah) kalau berbicara tentang politik sebab pegangan politik kita tersendat pada dua aras yang saling membetoti; Persis dan parpol sendiri. Yang tentunya parpol di kita merupakan organisasi borjuistik yang memenuhi kepentingan para tetuanya saja sedangkan abai terhadap ummat. Bagi saya, traktat politik Persis bukan hanya membicarakan shahih atau tidaknya hadits ketatanegaraan, atau bagaimana memenangkan hati rakyat untuk mendukung visi politik Persis seperti kebanyakan terjadi di parpol (bahkan parpol yang mengaku Islam semacam PKS, PPP, PKB, dll), namun lebih dari itu bisa menuai hasil dari analisanya yang jeli terhadap realitas objektif politik itu sendiri.

Hal tersebut bukan berarti Persis harus merapat dengan parpol Islam semacam PKS, PPP, PKB, atau yang lainnya, karena bagi saya, parpol yang ada tidak menunjukkan visi yang jelas tentang politiknya. Bahkan tidak ada traktat khusus dan mendalam sebagai landasan perjuangan. Seperti PKS misalnya pernah dituding sebagai organisasi Islam borjuistik, yang tujuannya hanya kekuasaan semata. Semata!

Sebagai gambaran, revolusi Oktober 1917 dan percaturan politik Partai Komunis Rusia tidak akan tejadi secara laten kalau tidak dibarengi dengan sains tentang perubahan radikal itu. Dalam What  Is To Be Done, Lenin menulis apa yang akrab di lidah para pejuang kiri, “Tidak akan ada praktik revolusioner melainkan dengan teori revolusioner.”

Kalau kita memparafrasekannya lagi dengan bahasa kita, Persis tidak akan mendapatkan praksis politik yang baik melainkan dengan teori politik yang jelas dan akurat. Tentu itu didapat dari pergumulan antara realitas politik dan teori yang didapat dari traktat itu.

Persis akan selamanya absen dengan politik riil kalau masih mengadopsi semangat Timur Tengah, namun absen terhadap gerakan politiknya. Kita akan menerima ontologi ala Alain Badiou yang menyatakan perlunya melakukan pergumulan politik riil bukan hanya sebagai pengamat yang menasbihkan diri netral dari politik riil namun abai terhadap apa yang bersebrangan dengan visinya. Artinya pola keberagamaan pun akan dilaksanakan dengan baik ketika politiknya sejalan dengan visi yang diangkat. Misalnya kita selamannya akan terus membiarkan miras legal, kalau tidak diusahakan lewat jalur politik, kekuasaan.

Implikasi dari penerimaan politik di tubuh Persis berarti membuat traktat atau sains politik yang jelas tentangnya. Dipadatkan: dengan satu tarikan nafas, Persis dan visi politik yang jelas dilafal secara berbarengan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar