Anggap saja, realitas
sekarang ini adalah buku, sebagai seorang pembaca, kita kerapkali sulit untuk
mengabaikannya. Mau tak mau kemudian kita membaca. Sebagai referensi untuk
melangkah. Melangkah yang saya maksud bukan melangkah sendiri-sendiri sambil
abai terhadap lalu lintas peristiwa yang di belakangnya sudah selalu hadir
rekayasa.
Sebut saja Isa Anshori, pernah di masa itu beliau mengemukakan gagasannya tentang pentingnya Persis (Persatuan Islam) ditransformasi menjadi Partai Politik. Namun pada akhirnya kandas sebelum terwujud. Sebabnya, itu gagasan terlalu beresiko.
Ada yang bilang, penolakan Persis-Politik adalah titik tolak
"tanggalnya taring Persis". Bermacam-macam argumentasi penolakan
terhadap gagasan itu muncul bermekaran. Meski begitu, sebagai sejarah yang
sudah kadung tertulis di benak maupun di kertas, peristiwa munculnya gagasan
itu, patut kita ulang baca, sampai berkali-kali, siapa tahu ada materi sejarah
yang terulang, dan kita tidak lagi kelimpungan harus berbuat apa.
Ya, di tulisan ini, saya hanya ingin menunjukan betapa kondisi realitas, saat
Isa Anshori mencetuskan gagasan Persis-Politik ternyata sesuai dengan realitas
kini. Di mana demokrasi dirayakan begitu meriah, tidak sekedar perayaan bahkan
orang-orang kini sudah mulai sadar pentingnya aspek ideologis saat
berorganisasi atau berpartai. Ada semacam kemuakan terhadap praktik berpartai
yang hanya sekedar membuat kartu anggota dan menjadi tim sukses.
Kemudian dialektika gagasan, kini terasa begitu penting. Orang-orang gerakan
merasakan pentingnya hal itu setelah sekian lama ruang buat berdialektika
ditutup dan dianggap tabu. Terutama sejak rezim orde baru dikukuhkan. Idiom
yang masyur waktu itu adalah "kepatuhan", relasi yang kemudian
didengung-dengungkan adalah relasi kekeluargaan, di mana Soeharto sebagai sang
'Bapa' di republik ini, yang perintah-perintahnya mesti dipatuhi haram
ditentang. Hal itu menjadi tidak relevan kini, banyak orang yang mendambakan
perbaikan. Mereka tak sungkan mengoreksi atau sekedar mengingatkan, jalan yang
benar dan membuka lahan-lahan buat berdialektika.
Entahlah, saya pikir pernah di satu masa tertentu ada rezim kepemimpinan
di Persis yang menutup ruang-ruang dialektika, sehingga kepatuhan adalah kata
kuncinya. Perintah bapa wajib dilaksanakan, istri dan anak mesti patuh. Hanya
saja mungkin hal itu luput kita deteksi, atau menjadi samar karena diselebungi
idiom-idiom yang berbau akhirat.
Ya, saya hanya ingin kembali membuka keran dialektika macam itu. Saat
keputusan-keputusan yang menyangkut orang banyak dipermasalahkan. Misalnya
mempermasalahkan kenapa di banyak tempat Persis selalu diposisikan sebagai sapi
perahan oleh aktor-aktornya yang tak lain adalah pemimpin-pemimpinnya sendiri.
Diombang-ambing mesti memiih partai A, B, C, D. Kadang di satu tampat suara
Persis diarahkan ke Partai A, namun di tempat lainnya memilih Partai A, B,C
atau D.
Persis yang kecil ini secara kwantitas, kadernya di sebar ke berbagai parpol.
Namun mungkin karena Persis tak memiliki visi politik yang jelas, kader-kader
yang tersebar di berbagai parpol, kecil sekali berkontribusi pada organisasi
asalnya. Tentu saja hal ini wajar, sebab memang di organisasi asalnya visi
politik tak dianggap penting sehingga wajar Persis kini tak punya Power Politik
yang cukup memadai. Kemudian, persoalan lainnya, yaitu, banyak "kader yang
berpindah rumah". Faktornya, sudah jelas, karena Persis tak memiliki visi
politik yang jelas dan realistik. Politik sekedar wacana di atas kertas atau di
ruang-ruang diskusi atau sekedar wacana sampingan, belum ditransformasi secara
utuh ke dalam tubuh Organisasi Persis.
Karena itu pula, kita nyaris tidak mendengar ada semacam agenda penetrasi kader
atau ekspansi kader ke parpol-parpol tertentu. Yang terjadi justru mungkin
sebaliknya, banyak kader parpol yang disusupkan buat mengamankan "suara
Persis". Jika begitu adanya, di atas kertas, mungkin Persis masuk ke dalam
kategori, "sapi perahan", lumbung suara", "kantong
suara" saja tidak lebih.
Mungkin ke depan, secara politik Persis tak akan lagi diperhitungkan, karena
eksistensinya baik secara fungsi di masyarakat maupun secara kwantitas akan
tergeser oleh ormas-ormas bikinan parpol. Saya pikir, betapa pun bobroknya
parpol karena praktik-praktik korupnya. Agaknya era kejayaan parpol belum akan
berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar