Oleh: Andi Muhammad Nurdin
(Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Persatuan Islam)
Islam merupakan konstitusi langsung dibawah Tuhan sebagai Maha raja yang harus dipuja. Islam juga merupakan jalan fitrah manusia yang memerintahkan segenap jiwa dan raga untuk tunduk dan patuh terhadap peraturan Tuhan lewat juru bicara utusan dan nabi-nabi-Nya. Berbagai pendapat di kalangan cendekiawan, ulama, sampai tokoh politik juga mengatakan demikian, setidaknya pada saat masjumi masih go public di negeri ini. Namun demikian bukan karena Islam pada era tersebut menjadi musuh utama komunis dan nasionalis sehingga dapat tampil dan percaya diri membawa Islam, memang Islam merupakan konstitusi yang syumuli (menyeluruh) terhadap seluruh lapisan manusia yang ada di setiap Negara sehingga umat muslim senantiasa memegang teguh Islam sebagai basis utama ideologi pribadinya.
Ratu Wilhemnia berpidato di depan parlemen Belanda pada januari 1901 bahwa Belanda memiliki “Hutang budi” kepada Indonesia yang dengan kesuburan tanahnya memakmurkan negeri Belanda. “Politik Etis” diucapkan oleh beliau terhadap tanah jajahan Indonesia yang menghendaki pendidikan terhadap generasi ningrat di tanah jajahannya . Disinilah orang muslim di Indonesia khususnya memiliki pola pikir yang telah diasimilasikan dengan faham-faham lainnya di negeri Belanda. Akibatnya, dalam beberapa tahun saja setelah perang dunia I mahasiswa muslim Indonesia semakin banyak yang belajar di belanda. Lalu munculah orang-orang muslim sekuler seperti; Hatta, semaun, dan lain-lainnya yang membawa ideologi baru pada saat pulang ke indonesia. Selain mahasiswa, karena tanahnya yang subur mempengaruhi gerakan-gerakan pemikiran. Meskipun Agama Hindu telah memberi kontribusi yang banyak terhadap perkembangan masyarakat Indonesia dan percampurannya dengan budaya Islam dan kemudian Indo-Eropa telah menghasilkan suatu “affinities and extreme” dalam Indonesia modern kelak, namun Islamlah yang paling dinamis memberikan bentuk bulat-lonjongnya sejarah Indonesia hingga kini.
Dari mulai organisasi hingga partai sampai klimaksnya pada tahun 1959 pada saat kabinet Natsir hampir memenangkan Ideologi Bangsa Indonesia kepada Islam namun dibubarkan oleh dekrit presiden Soekarno. Ditetapkannya NASAKOM menjadi sebuah ideologi untuk bangsa Indonesia membawa bangsa kepada kekacauan sosial, politik, maupun ekonomi. Dalam sektor sosial, jelas telah terjadi pergeseran yang signifikan. Demoralisasi terjadi dikalangan pimpinan yang secara tidak langsung “mencontohkan” rakyat untuk membenarkan dan ikut berbuat sebagaimana yang mereka lakukan. Kebiasaan Soekarno dan pejabat lainnya dalam setiap kegiatan malam adalah disediakannya gadis-gadis muda sebagaimana yang dituturkan Jenderal Ahmad Yani pada saat Rapat Perwira Nasional di Bogor.
Dalam sektor politik, penetapan sistem Demokrasi Terpimpin menjadikan Soekarno sebagai puncak dari segala jabatan dan pucuk dari segala pimpinan. Beliau berjalan dengan “dua kaki utuh” lewat Angkatan Darat dan PKI yang menopangnya. Sejalan dengan itu NASAKOM senantiasa digemakan dalam setiap pidatonya, dan hasilnya semua pejabat Soekarno dan rakyat menjadi phobia terhadap tuduhan Anti NASAKOM yang selalu Soekarno tegaskan. Pada akhirnya para pejabat memilih berlindung dibawah NASAKOM untuk tetap dalam jabatannya, dan para rakyat berlindung dalam diam walaupun kemerosotan ekonomi semakin memburuk.
Terakhir dalam sektor ekonomi, ideologi NASAKOM membawa Indonesia kedalam jurang kemelaratan yang sangat buruk. “Kemerdekaan”, kata Soekarno adalah jembatan emas yang akan mengantarkan rakyat kepada masyarakat yang adil dan makmur, “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta rahaja”. Akan tetapi kenyataannya keadlian dan kemakmuran rakyat itu tak pernah kunjung datang juga. Sebenarnya, benih-benih keruntuhan Soekarno karena ideologi yang dipaksakan itu telah tertanam sejak awal kemerdekaan. Pada dasarnya, hal ini berkaitan dengan tiga sektor tadi yang ketiganya tidak saling menunjang, tidak berkesinambungan sehingga secara perlahan tetapi pasti telah menciptakan kerapuhan sistemik yang sangat mendalam.
Setelah Soekarno berhasil dibubarkan dalam pemerintahan, pada masa dimulainya kepemimpinan Orde Baru Presiden Soeharto justru lebih menyempurnakan proses domestikasi politik terhadap Islam. Jangankan menyuarakan gagasan Islam sebagai dasar Negara, menjadikan Islam sebagai asas dan simbol partai pun tidak diperbolehkan. Karenanya, pada masa Orde Baru, wacana tentang ideologi politik Islam relatif sepi di permukaan. Siapapun yang menyuarakan gagasan mengenai Islam politik atau Islam ideologis, yang berbeda dengan arus utama pandangan politik-keislaman Orde Baru, harus melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Jika tidak, dakwaan subversive dengan mudah bisa dijatuhkan!. Kenyataan seperti ini lebih men-depolitisasi-kan Islam.
Pembatasan ruang opini dan diskusi tentang keislaman membuat sebagian para aktivis mahasiswa bergerak untuk mencari ruang Islam yang lebih efektif. Pada saat NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus atau Badan Koordinasi Kemahasiswaan) diaktifkan dalam tubuh Universitas, secara serentak menjadi sarana yang sangat ampuh untuk memandulkan gerakan kemahasiswaan, khususnya di dalam kampus. Aktifitas kemahasiswaan yang bernuansa politis secara perlahan meredup. Denny J.A. mencatat perubahan ini karena tiga hal : Pertama, orientasi gerakannya yang semula adalah berupa gerakan protes terhadap struktur kekuasaan menjadi gerakan intelektualisasi dan aksi advikasi yang lebih condong kepada pembentukan opini masyarakat secara luas. Kedua, bentuk kegiatan yang sebelumnya lebih banyak mengandalkan aksi massa menjadi lebih banyak aksi informasi. Dan ketiga, model pengorganisasiannya yang sebelumnya lebih banyak dengan mobilisasi massa, menjadi lebih mengandalkan pengorganisasian kelompok-kelompok kecil, dan menatanya dalam sebuah networking.
Pada zaman sekarang ini di era globalisasi terdapat beberapa perubahan yang sangat mengkhawatirkan. Pertumbuhan pola pikir pergerakan umumnya di Indonesia bergerak dalam wilayah abu-abu; tidak hitam atau juga putih. Iltibas (penyatuan) antara budaya Barat-Indo-Arab menciptakan generasi yang stagnan terhadap lingkungan. Paradigma muslimin Indonesia hampir mirip kaum abangan sebagaimana zaman kolonial dulu. Prinsip mengakui Islam sebagai agama yang dianutnya namun banyak jalan berbeda dalam kehidupan sehari-harinya menjadikan Islam Indonesia hanya sebatas buih di lautan yang tak pernah bersatu dan bahkan tidak akan mungkin bersatu karena telah terwariskannya dari generasi ke generasi akan ego-sektoral bendera Islamnya sendiri bukan kompherensif dalam Islam Negara Indonesia.
Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
يُوْشَكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمُ اْلأُمَمُ كَمَا تَدَاعَى اْلأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا، فَقَالَ قَائِلٌ: أَوَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيْرٌ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ، وَسَيَنْزِعَنَّ اللهُ مِنْ صُدُوْرِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلْيَقْذِفَنَّ اللهُ فِيْ قُلُوْبِكُمُ الْوَهَنُ. قَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَمَا الْوَهَنُ؟ قَالَ: حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ. (رواه البيهقي، حديث حسن).
“Hampir tiba saatnya persatuan bangsa-bangsa memburu atas kamu sekalian seperti bersatunya orang-orang memburu makanan yang ada di atas nampan. Ada sahabat bertanya: apakah karena sedikitnya jumlah kita pada masa itu? Beliau bersabda: Bahkan jumlah kalian pada masa itu banyak. Tetapi kalian pada saat itu bagaikan buih seperti buih banjir. Dan Allah akan mencabut dari dada-dada musuh kalian (rasa) ketakutan kepada kalian, dan Dia akan memasukkan ke dalam hati-hati kalian al-wahan. Lalu shohabat bertanya: Ya Rasul apakah al-wahan itu? Beliau bersabda: cinta dunia dan takut mati” (HR. Baihaqi, hadist hasan).
Rasulullah terlebih dahulu telah mengungkapkan 14 abad silam mengenai keadaan zaman akhir di era globalisasi ini menunjukkan sebahagian banyak umat muslim khususnya di Indonesia seperti buih, dan orang-orang penentang Islam semakin berani menghina Islam, juga dalam hati setiap muslim dihiasi dengan al-Wahan itu sendiri. Islam sebagai ideologi muslimin se-dunia mewajibkan para umatnya untuk senantiasa teguh memegang kendali syari’at Allah ditanah bumi ini.
Walaupun dalam teori borjuis banyak mengatakan mengenai Negara yang sangat dibutuhkan untuk dapat mengatur perdamaian, namun baik ada ataupun tidak ada Negara dalam satu wilayah tak akan pernah membatasi ideologi Islam yang diprinsipkan oleh setiap muslim. Islam akan senantiasa berkembang transformasi aktif membentuk kesesuaian zaman dari generasi ke generasi, walaupun pancasila tak akan dapat terubah kembali, jelaslah dalam menikmati demokrasi kita bebas memilih ideologi yang kita sukai tanpa harus dibatasi oleh pemerintah.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 55:
• •
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengamalkan kebaikan bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka dan Dia benar-benar akan merubah keadaan mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahKu dan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang masih kafir setelah janji itu maka mereka itulah orang-orang yang fasiq” (An-Nur 55).
Allah akan menjadikan umat muslim dimanapun berkuasa terhadap konstitusi kenegaraannya, hanya dengan terus mengamalkan kebaikan yang Allah perintahkan maka pastilah Allah berikan. Allah bisa melakukan segala sesuatu terhadap seluruh alam semesta ini tapi Allah tak dapat melakukan satu hal ini. Satu hal yang mustahil bagi Allah untuk melakukan “pelanggaran janji” sebagaimana yang banyak sekali Allah janjikan, salahsatunya terdapat dalam ayat diatas dan itulah janji Allah kepada umat muslim dimanapun dia berada. Kebanyakan umat muslim di Indonesia yang menerima kekuasaan adalah mereka yang jauh dari amal kebaikan, mereka menetapkan kolusi, korupsi, dan nepotisme menjadi alat untuk mengendalikan hasrat pribadi dalam benteng pemerintahan.
Islam dan ideologi bangsa Indonesia kini telah berbeda, Pancasila tidaklah sama dengan Islam. Seperti halnya orang-orang mesir yang menyamakan sosialisme dengan Islam. Dalam hal ini salah seorang tokoh Ikhwanul Muslimin, Musthafa as-Siba’I bertanya : “Benarkah Anda mengakui bahwa sosialisme itu sejalan dengan Islam, karena sama-sama mengajarkan keadilan dalam bidang social, ekonomi, dan hukum?”
“Benar”, jawab pendukung sosialisme.
“Bukankah keadilan sosial, ekonomi, dan hukum itu hanya sebagian kecil dari ajaran Islam?, ibarat organ tubuh manusia, sosialisme bagaikan tangan. Jika manusia diambil tangannya saja, apakah tangan itu sama dengan tubuh utuh manusia?” tanysa as-Siba’I lagi.
“Keadilan sebagian dari ajaran Islam, tetapi hal itu justru yang penting. Begitu juga adalah organ tubuh yang penting, tetapi tangan tanpa tubuh yang utuh tidak dapat berfungsi”, jelas kaum sosialisme.
Musthafa as-Siba’I menerangkan: “Jika Anda mengakui bahwa keadilan sosial hanya sebagian kecil dari ajaran Islam, berarti sosialisme mengakui kebenaran Islam, dan sosialisme baru mempunyai sebagian kecil saja dari apa yang dimiliki Islam. Lalu, mengapa Anda mengajak umat Islam mengikuti sosialisme, bukan sebaliknya, kaum sosialis mengikuti Islam?. Bukankah seharusnya yang lemah atau kurang mengikuti yang kuat dan sempurna; bukan sebaliknya?. Anda juga mengakui tangan tanpa tubuh yang utuh tidak dapat berfungsi, tetapi mengapa Anda menolak Islam secara kaffah dan hanya mengambil satu bagiannya saja, dan anda larang bagia-bagian Islam yang lainnya untuk dilaksanakan.”
Seperti itulah Ideologi pancasila yang diambil dari sebahagian kecil dalam Islam, ideologi tersebut mencetak generasi dari tahun 1945 dan terlihat pada tahun 2011 saat ini. Rakyat belum juga mendapatkan haknya yang sangat banyak berkebutuhan, keadilan belum juga adil dalam setiap lapisan masyarakat, penegakkan hukum bersifat nepotism dan pilih bulu, juga hal-hal lainnya yang belum juga Indonesia sampai pada tahap Negara maju di Asia Tenggara ini khususnya. Perlulah kita renungkan kembali Ideologi buatan manusia yang diterapkan di Negeri kita, perlulah kita amalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah secara penuh dalam kehidupan sehari-hari walau baik ada maupun tanpa ada konstitusi Negara sekalipun Islam haruslah menjadi Ideologi kaumnya sendiri.
Catatan kaki:
Jhon Ingleson, Jalan ke pengasingan; pergerakan nasionalis Indonesia 1927-1934, LP3S Jakarta, 1988.
James A. Boon, Affinities and Extremes: Crisscrossing the Bittersweet Ethnology of East Indies History, Chicago: University of Chicago Press, 1990
Aly Rum, Titik silang kekuasaan tahun 1966; mitos dan dilema: Mahasiswa dalam proses perubahan politik 1959-1970, KATA, Jakarta:2006.
Denny J.A., Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda Era 80-an, CV. Miswar, Jakarta, 1990, hal. 51-53.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar