Like This, Oke !!

Bewara

Hadirilah....
DISKUSI KEBANGSAAN JILID II "Momentum Hari Pahlawan, Upaya Membangun Bandung Berdikari"
Pembicara :
1. Drs. H. Asep Dedy Ruyadi, M.Si (Wakil Ketua DPRD KOTA BANDUNG)
2. H. Dedi Supandi, S.STP, M.Si (Ketua DPD KNPI KOTA BANDUNG)
3. Ust. Iman Setiawan Latief, SH (Ketua PD PERSIS KOTA BANDUNG)
4. Ridwan Rustandi (Ketua Hima Persis Kota Bandung
Jum'at, 16 November 2012
13.00-selesai
@AULA PP PERSIS (Jl. Perintis Kemerdekaan)

Graties dan terbuka untuk umum!!

KOpi gratis, Snack Gratis, dll

Organized BY
PD HIMA PERSIS KOTA BANDUNG
CP:085721502422

Senin, 11 Juli 2011

'Panduan Menjadi Gila’

oleh Yoga HimaPercuy pada 12 Juli 2011 jam 0:05


Aneh kalo ada orang yang berobsesi menjadi gila, misalnya dia cari-cari buku murah di Palasari berjudul ‘Panduan Menjadi Gila’. Di situ dikesankan bahwasannya menjadi gila adalah dambaan setiap manusia. Di situ, gila dimaknai positif. Sebetulnya dengan bersikap seperti itu ia sudah melakukan praktik-praktik kegilaan, sikapnya itu sama gilanya dengan obsesinya. Singkat kata, dia sudah menjadi gila.


Dalam batas-batas pengertian ‘orang modern yang beradab’ orang gila wajib dirumahkan, di suatu tempat yang dinamakan ‘Rumah Sakit Jiwa’. Beda halnya dengan pandangan ‘orang tradisional’, orang gila dimaknai sebagai orang yang maqomnya sudah berada setingkat lebih atas dari orang normal. Orang gila dianggap sebagai manusia liminal yang hidup di dua alam sekaligus, alam abstrak dan alam konkret. Oleh manusia tradisional, orang gila dimuliakan. Seperti yang Jakob Sumardjo bilang, orang gila, ia dimuliakan sebab ia dianggap sebagai ‘utusan tuhan’ yang membawa berkah dan memberi petunjuk melalui lanturan-lanturan omongannya. Praktik pemulian orang gila, misalnya yang berada di pasar yaitu dengan cara memberinya makan dengan penuh kasih; minum dan yang lain-lainnya. Saat kondisi seperti itu, orang gila menjadi tanggung jawab bersama, ia diurus sebab dianggap membawa barokah bukan malah dianggap sampah.

Orang gila juga bila kita amati, ia adalah orang yang sudah tidak mau terkoneksi lagi dengan tatanan masyarakat yang ada, baik norma maupun hukum-hukum yang ada. Telanjang di jalan ia sudah tidak malu. Tidak mempunyai KTP dia asik-asik aja. Dia adalah orang yang berada di luar batas apa pun yang kita sepakati sebagai ‘masyarakat beradab’. Orang gila termasuk golongan orang-orang yang non-konvensional. Ia melakukan apa yang dia ingini saja, melakukan apa pun seperti tak pernah mempertimbangkan perasaan dan pandangan orang lain. Pada sisi ini, orang gila adalah tipe manusia bebas yang sesungguhnya.

Kita sering menertawai mereka karena ulahnya yang di luar batas-batas kenormalan. Kadang kita tertawa sampai bahak saat melihat ulah mereka yang nyleneh. Tapi kadang juga kita menjadi takut karena ulah mereka yang tak terkendali.

Karena mereka yang seringkali berada di luar batas kenormalan manusia pada umumnya, kita menganggap mereka sampah, setingkat dengan binatang. Tapi coba perhatikan sekali lagi, sikap orang gila yang macam itu, jangan-jangan itu adalah sisi diri kita yang lain yang kita tekan sedemikian rupa sehingga ia tidak nampak menjadi sikap-sikap di muka umum. Jangan-jangan kita hanya sedang menyangkal diri kita yang lain dengan menyangkal orang gila.

Kita seperti ingin dikatakan beradab /terpelajar saat menyangkal orang gila dengan menganggapnya sampah dan manusia pinggiran yang tidak layak diperlakukan sebagai manusia selayaknya. Orang gila dirumahkan, dikerangkeng dalam ruangan-ruangan bersekat, ia diasingkan dari dunia ini. Padahal, jangan-jangan kita sedang mengasingkan diri kita.

Coba rasakan, sikap-sikap di luar batas normal sesungguhnya inheren dalam diri kita. Nyanyi-nyanyi, gila-gilaan, jogged sampai sejoged-jogednya dan lain sebagainya. Itu sikap yang seringkali kita ingin lakukan. Namun kita tekan sedemikian rupa karena takut dianggap tidak beradab. Kita jadi takut melakoni hal-hal yang dianggap gila, karena takut dianggap tidak normal. Konsekuensi dari anggapan itu adalah diasingkannya kita dari masyarakat.

Cara pandang kita terhadap orang gila, kini agaknya sudah menjadi sangat negative. Padahal jangan-jangan, orang gila yang kita sering liat lalu lalang di sepanjang jalan raya adalah refresentasi hasrat kita yang ditekan sedemikian rupa. Demi apa yang dinamakan beradab kita jadi malu mengakui sisi diri kita yang satu ini. Beda halnya dengan manusia terdahulu yang memandang orang gila amat sangat positif. Itu artinya mereka berusaha menerima sisi dirinya yang lain (yang liar, yang dionisian). Implikasi sikap dari penekanan sisi diri kita yang satu ini adalah kemunafikan. Pasalnya hasrat gila macam ini, yang ditekan dan direpresi, walaupun sedemikian rupa penekanannya, ia tak akan pernah musnah/ hilang. Hanya saja bentuknya berubah ke dalam bentuk-bentuk sikap yang lain.

Setiap saat kita melakukan kemunafikan sebab ada hasrat gila yang ditekan namun selalu berontak menyembul keluar tak tertahankan. Untuk menyembunyikan hasrat gila macam itu lantas kita menutupinya dengan seperangkat logika yang bisa diterima oleh kawanan manusia beradab. Kita saling menutupi hasrat gila kita satu sama lain demi apa yang dinamakan beradab. Sebisa mungkin, hasrat gila kita disembunyikan melalui sikap-sikap yang dianggap beradab.

Maka jangan heran jika di era kita yang beradab ini; yang manusia-manusianya sudah banyak disekolahkan, sudah tahu sopan santun, berbaju pun rapih sekali, memakai dasi, sepatu pentopel yang mengkilat, tapi dibaliknya mereka melakukan hal-hal di luar batas kewajaran (gila). Gila yang destruktif. Mereka korupsi tapi sah dan legal di mata hukum; mereka mengeksploitasi alam sampai tatanan keseimbangannya rusak, tapi sah dan legal di mata hukum; mereka memeras dan menindas sesamanya tapi sah dan legal di mata hukum.

Akan datang ‘zaman edan’ kata penyair Ronggowarsito, yah inilah zaman edan itu. Saat manusia merumahkan orang gila di rumah sakit jiwa (merepresi bagian dirinya yang satu ini (yang gila), mengasingkan hasrat gilanya ke dalam lubuk dirinya yang paling dalam). Namun mereka tidak tahu, hasrat gila tak bisa ditekan, energinya terlalu besar untuk bisa keluar menyembul menjadi sebentuk sikap yang lebih dahsyat lagi. Mereka menyembul ke dalam bentuk-bentuk sikap yang sah dan legal namun luar biasa dahsyat merusaknya (gila).

Rasul Muhammad SAW, dulu datang dengan segenap keanomaliannya, ia kemudian dianggap manusia gila karena mengabarkan kegilaan ada di sekitar kita (masyarakatnya). Merobek selubung-selubung sikap yang dianggap wajar, sah dan legal padahal sesungguhnya gila, bejat dan immoral (mudhorot). Muhammad waktu itu, seolah-olah menjadi icon orang gila di zamannya, kemudian ia merobek selubung-selubung sikap manusia pada masanya yang sudah dianggap wajar(waras) padahal sesungguhnya gila. Begitulah kiranya, saat orang-orang menganggap yang gila adalah yang waras. Muhammad datang dengan segenap kegilaannya kemudian merobek topeng-tepeng kewarasan yang menutupi kegilaan di zamannya.

Untuk menauladani Muhammad SAW yang macam itu, kita harus berada di luar batas normal, di luar batas-batas kewarasan zaman kita. Untuk kemudian merobek selubung-selubung yang menutupi kegilaan zaman kita.

Oleh karena itu, jangan-jangan orang-orang yang selama ini kita marjinalkan sebab melakukan hal-hal gila kemudian ia dianggap gila, adalah benar, mereka para ‘utusan tuhan’. Yang perkataan dan sikap-sikapnya mengandung pelajaran dan hikmah. Jangan-jangan dengan meneladani kejujuran, kepolosan dan keapaadaannya, kita justru sedang menjadi waras. Rasakan, saat kita melakukan kegilaan secara terang-terangan seringkali merasa plong atau terbebaskan. Waktu itu, kita seringkali merasakan tengah terbebas dari beban aturan yang dikenakan pada kita. Sebab waktu itu kita tengah menampilkan diri kita yang sebenarnya, yang tanpa embel-embel apa pun yang artificial (yang agar supaya kita dianggap beradab). Maka, berbaik-baiklah pada orang gila. Mudah-mudahan kita mendapat berkah dan hikmah darinya.


*Antara judul dengan badan tulisan menurut saya tidak nyambung. Eh, cuman nyambung sama paragraph satu. Selanjutnya terserah kalian, itu sebenarnya nyambung atau tidak dengan paragraph yang lainnya. Ini tulisan lahir karena Azmil bikin tema yang sama juga yaitu tentang kegilaan, saya terinspirasi sama tulisan Azmil itu. Kemudian saya juga ingat Mozoe dan Galah, mereka saya anggap gila, bolehkan? Oleh karenanya ini tulisan, selain buat Azmil juga buat Mozoe dan Galah. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar