Oleh: Yoga HimaPercuy
Siapa yang tahu Adam itu ada, sebagai seorang muslim kita disuruh begitu saja mempercayai dongeng-dongeng tentang Adam. Ia adalah Nabi pertama sekaligus manusia pertama. Waktu penciptaan Adam,Tuhan mendapat protes keras dari malaikat. Malaikat memprotes Tuhan kaitannya dengan penciptaan Adam. Malaikat menolak kehendak Tuhan untuk menciptakan Adam. Dengan alasan, bahwa manusia punya tabiat merusak dan suka menumpahkan darah.
Tuhan tentu keras kepala, ia tidak mau kalah diprotes begitu saja oleh malaikat. Siapa malaikat? Berani-beraninya memprotes Tuhan. Tuhan adalah Dia yang maha segala maha. Mahamengetahui, Mahamengatur dan Mahamencipta. Protes malaikat langsung Tuhan jawab dengan enteng,"Akulah Sang Mahatahu". Malaikat langsung tunduk patuh, ia sadar bahwa dirinya bukan apa-apa .
Itu kira-kira kisah yang sering dituturkan oleh orang tua kita tatkala mereka bercerita tentang proses penciptaan Adam pada kita yang masih kecil, membuat imajinasi kita jadi melayang-layang. Kejadian itu kira-kira saya imajinasikan terjadi di sorga. Sorga itu macam apa? Kemudian timbul pertanyaan-pertanyaan yang lebih spesifik. Adam tercipta dari apa? Kenapa malaikat protes? Dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan macam itu; tentang sorga, tentang proses penciptaan manusia pertama dan tentang malaikat, terus berkeliaran dibenak kita. Lantas kita secara non-formal menyusun-nyusun sendiri jawaban atas pertanyaan kita yang juga non-formal.
Pada titik ini, memikirkan soal-soal gelap (ghaib) malah membuat imajinasi kita jadi melesak, jadi liar dan jadi terbang. Dan pada titik ini pula, bagi seorang novelis, beragama adalah meledakkan imajinasi. Di situ ada bahan-bahan buat alur cerita dalam novelnya yang tak habis-habis. Sebab sebut saja, dunia ghaib ini dunia fiksi, dunia yang tanpa fakta sehingga abstraksi mengenai alam ghaib bisa semakin menjadi-jadi. Namun, berpetualang di alam ghaib dalam konteks keagamaan tidak hanya semata-mata untuk memanjakkan imajinasi. Ada pesan-pesan moral yang mesti bermanfaat buat kehidupan real (saat ini), yang mesti disisipkan. Terpaksa saat ingat itu, kita mesti merangkai ulang cerita sembari menafsir ‘sebenarnya apa makna cerita ini buat kita yang hidup hari ini?’.
Mari kita lihat kehidupan Adam dengan seksama waktu dia masih di sorga. Sorga, biasanya adalah tempat ideal, tanpa cacat, dan segala keinginan tidak akan tidak terpenuhi. Di sorga, semuanya sah, segala keinginan pasti terpenuhi. Mari kita sedikit berpandangan agak sinis terhadap tempat yang satu ini, yang kita kenal dengan nama sorga. Betapa membosankannya tempat ini. Sebab tak ada kemudahan setelah kesulitan, tak ada perjuangan yang membuahkan nikmat pada akhirnya. Semuanya telah serba nikmat. Hidup yang homogen, bahagia terus. Implikasinya, membosankan dan menjenuhkan. Pantas jika Adam As kemudian merengek-rengek pada Tuhan minta diciptakan sesosok manusia yang bisa mendampinginya mengusir rasa bosan dan jenuh karena hidup di sorga. Lalu terciptalah Hawa atas permintaan Adam kepada Tuhan, sesosok manusia yang diciptakan Tuhan dari tulang rusuk Adam sendiri.
Hawa benar-benar membawa perubahan dalam alur hidup Adam yang stagnan. Setelah Hawa tercipta, Adam tidak kesepian lagi. Kini Adam punya teman ngobrol, teman berbagi dan teman senggama. Tuhan memang Mahatahu dan Mahajenius, Ia menciptakan manusia berpasangan. Agar keduanya bisa saling mengisi baik secara biologis maupun secara psikologis.
Selain itu, semenjak Hawa berada di samping Adam. Adam mulai berani memakan buah khuldi, buah yang haram dimakan olehnya atas titah Tuhan. Adam pun kemudian diusir dari sorga. Tidak hanya Adam, Hawa pun ikut-ikutan diusir. Meraka diturunkan ke belahan bumi yang saling berbeda. Hawa di sana dan Adam di situ. Akhirnya kini mereka bebas dari sangkar emas bernama sorga. Mereka mulai mengenal jarak, keringat dan perjuangan untuk bisa saling bertemu di satu tempat yang tidak disangka-sangka yang kini dinamai Padang Arafah.
Dalam konstruksi pemahaman saya, sosok Adam adalah personifikasi manusia yang tercerahkan. Ia adalah sosok manusia yang tersadarkan, bahwa dirinya tengah terperangkap dalam ilusi-ilusi kenikmatan di tempat yang bernama sorga. Untuk terbebas dari tempat bernama sorga ini, lantas Adam memilih jalur penderitaan dengan cara memakan buah khuldi. Alhasil ia diturunkan dari sorga. Namun, itulah harga yang harus dibayar Adam demi merengkuh kedaulatan dirinya sebagai manusia yang berkehendak dan bereksistensi.
Mati sudah eksistensi Adam saat ia belum membangkang dengan memakan buah khuldi. Sebab sorga adalah tempat yang membosankan, homogen dan mudah ditebak. Beruntung akhirnya Tuhan memberikan pilihan dengan memerintahkan Adam untuk tidak memakan buah khuldi. Jika ada aturan, itu berarti ada potensi buat melanggar aturan. Melanggar aturan adalah pilihan bagi Adam, tidak melanggar aturan pun adalah pilihan bagi Adam. Kedua pilihan memiliki konsekuensinya masing-masing. Jika Adam taat, konsekuensinya ia mesti terus tinggal di sangkar emas bernama sorga. Jika tidak taat, konsekuensinya Adam mesti diusir dari sorga. Dan Adam memilih untuk membangkang, konsekuensinya ia diusir dari sorga. Demi kedaulatan dirinya, Adam pun hengkang dari sorga. Dan di dunia ia menemukan heterogenitas, perjuangan, dan kehendak yang selama di sorga ia tidak temukan.
Mungkin ini yang dimaksud Tuhan saat ia berkata pada malaikat, “Akulah sang Mahatahu”. Tuhan hendak menciptakan khalifah di muka bumi ini bernama manusia. Sosok Adam adalah bukti bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang didesign untuk bisa berkehendak lalu bertanggungjawab (khalifah). Berkehendak dalam konteks pembicaraan saya adalah membuat pilihan sekalipun itu melanggar ketentuan-ketentuan. Kemampuan memilih tentunya mesti diikuti dengan kemampuan bertanggungjawab. Adam mempraktikan hal itu, selain membuat pilihan ia berani menanggung resiko atas pilihannya. Mungkin itulah makna khalifah yang diisyaratkan Tuhan pada malaikat untuk sosok bernama manusia.
Manusia sebagai Khalifah bisa juga bermakna co-creator dalam bahasa Iqbal. Manusia bukan malaikat bukan pula setan, ia selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan. Atas dasar itu kemudian manusia mampu me-rekreasi (mencipta/mencipta ulang, berkehendak dan kemudian bertanggungjawab) sesuatu. Adam adalah sosok manusia yang menauladani Tuhan, sebab saat Tuhan berkehendak ia memilih untuk juga berkehendak.
ini alur penjelasan yang memuaskan logika saya yang selama ini betanya-tanya. Terima kasih, Mang Oga. saya akan bertanya-tanya lagi..
BalasHapusuuuyeeeee, menulislahhhhh
BalasHapus