Like This, Oke !!

Bewara

Hadirilah....
DISKUSI KEBANGSAAN JILID II "Momentum Hari Pahlawan, Upaya Membangun Bandung Berdikari"
Pembicara :
1. Drs. H. Asep Dedy Ruyadi, M.Si (Wakil Ketua DPRD KOTA BANDUNG)
2. H. Dedi Supandi, S.STP, M.Si (Ketua DPD KNPI KOTA BANDUNG)
3. Ust. Iman Setiawan Latief, SH (Ketua PD PERSIS KOTA BANDUNG)
4. Ridwan Rustandi (Ketua Hima Persis Kota Bandung
Jum'at, 16 November 2012
13.00-selesai
@AULA PP PERSIS (Jl. Perintis Kemerdekaan)

Graties dan terbuka untuk umum!!

KOpi gratis, Snack Gratis, dll

Organized BY
PD HIMA PERSIS KOTA BANDUNG
CP:085721502422

Senin, 20 Agustus 2012

Politik dan Parpol*

Menarik sekali mengikuti diskusi di acara Indonesia Bicara yang disiarkan oleh Global TV. Terutama statement-statement yang dilontarkan Usman Hamid dan kritiknya terhadap lembaga survey serta kehidupan demokrasi di Indonesia. Menurutnya, berdasarkan pada gagasan Robert Dawn, demokrasi di kita adalah demokrasi dangkal yang pada prakteknya adalah oligarki.

Sebab, seperti yang tercermin dalam hasil survey dan mekanisme survey yang dilakukan lembaga-lembaga survey. Lembaga survey di kita terjebak pada paradigma pikir yang berfokus pada elit-elit bukan pada platform/program apa dan ideologi apa yang diusung sehingga mampu membawa Indonesia menyelesaikan masalah-masalahnya. Menurutnya,  demokrasi di kita maknanya menjadi dangkal karena hanya berkutat di seputar elit-elit parpol.

Sehingga pantas jika Indonesia jalan di tempat. Demokrasi tidak melahirkan perubahan yang membawa Indonesia mampu menyelesaikan masalah-masalahnya. Demokrasi hanya semacam event yang diselenggarakan buat mengganti pemimpin saja/pigur saja, dan abai berbicara problem-problem real Indonesia beserta penyelesaiannya melalui program, visi dan ideologi yang jelas.



Kiranya itu yang membuat sebagian besar rakyat Indonesia apatis terhadap parpol. Karena parpol maknanya tidak lebih hanya sekedar kendaraan bagi mereka para elit yang ingin berkuasa. Parpol hanya sekedar kendaraan yang memunculkan elit-elit tertentu terpisah jauh dari rakyat. Elit-elit ini dengan parpolnya kemudian jadi asik sendiri di dunianya, yaitu dunia elit atau dunia pertempuran antar parpol, sementara rakyat jauh di sana.

Di sinilah civil society menjadi penting, sebab ia setidaknya mampu mewadahi orang-orang yang tidak terakomodir (diakomodir) aspirasi politiknya di parpol. Selain itu, civil society/ masyarakat non parpol, non pemerintah berfungsi juga sebagai kontrol terhadap parpol sekaligus terhadap pemerintahan.

Namun lagi-lagi pada praktiknya, masyarakat non parpol ini pun adakalanya bentukan parpol juga. Sehingga alih-alih berperan sebagai kontrol terhadap parpol atau pun pemerintahan, ia malah lebih memerankan dirinya sebagai kepanjangan tangan/ pembela mati-matian parpol yang melahirkannya. Maka independensi dan keberpihakan terhadap rakyat tidak bisa diharapkan lagi sehingga mustahil mampu menjalankan fungsi kontrolingnya terhadap parpol dan pemerintahan.

Maka mesti ada ideologi yang tegas-tegas berpihak kepada rakyat dan mesti ada pengorganisasian masyarakat non parpol, sehingga ia menjadi kekuatan yang mampu mengimbangi dan mengcounter manuver-manuver rusak parpol di pemerintahan. Sehingga independinsi dan keberpihakan komunitas masyarakat non parpol tersebut terjaga. Jika terjaga maka ia akan mampu menjalankan fungsi kontrolingnya terhadap parpol sekaligus pemerintahan.

Ada sebagian orang yang menyamakan parpol dengan politik. Dikiranya politik adalah parpol dan parpol adalah politik. Sehingga manakala parpol rusak, maka ia tidak percaya lagi pada parpol sekaligus juga pada politik. Ia tidak mau tau tentang politik, hak-hak politiknya ia tidak gunakan. Sebab politik dipahami sebagai parpol dan ia sudah kadung kecewa terhadap parpol. Padahal politik adalah soal jalan menuju kebajikan bersama (Aristoteles). Saat ia abai, berarti ia abai mengupayakan kebajikan bersama dan membiarkan orang lain merenggut kebajikan tersebut dan mengisinya dengan nilai-nilai korup, misalnya melalui parpol.

Sadar politik tidak mesti masuk parpol tertentu. Sadar politik adalah sadar kedaulatan, ke mana ia harus berpihak, dan sedang mengupayakan nilai-nilai apa bersama siapa. Masyarakat non parpol, wujud konkritnya bisa berupa Kelompok tani, kelompok ternak, komunitas keagamaan, LSM, ORMAWA,  dan lain-lain. Di bawah ini saya akan kutipkan pernyataan Umberto Eco tentang politik, dalam bukunya ‘Tamasya dalam Hiperealitas’ (terj.):

“.....para kritikus sastera dan akademisi itali pun menulis kolom-kolom untuk memperjuangkan hal-hal yang bersifat politik, bukan hanya sebagai bagian dari watak dasar profesi mereka, melainkan juga sebagai kewajiban.”

Maka, berpolitik bukan hanya soal berpihak pada partai politik mana dan atau masuk parpol apa. Berpolitik adalah soal jalan yang ditempuh dan dibangun menuju satu kebajikan bersama, entah melalui parpol atau tidak.

Mudah-mudahan barokah. Wassalam.....


Ditulis oleh Yoga ZaraAndritra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar