Like This, Oke !!

Bewara

Hadirilah....
DISKUSI KEBANGSAAN JILID II "Momentum Hari Pahlawan, Upaya Membangun Bandung Berdikari"
Pembicara :
1. Drs. H. Asep Dedy Ruyadi, M.Si (Wakil Ketua DPRD KOTA BANDUNG)
2. H. Dedi Supandi, S.STP, M.Si (Ketua DPD KNPI KOTA BANDUNG)
3. Ust. Iman Setiawan Latief, SH (Ketua PD PERSIS KOTA BANDUNG)
4. Ridwan Rustandi (Ketua Hima Persis Kota Bandung
Jum'at, 16 November 2012
13.00-selesai
@AULA PP PERSIS (Jl. Perintis Kemerdekaan)

Graties dan terbuka untuk umum!!

KOpi gratis, Snack Gratis, dll

Organized BY
PD HIMA PERSIS KOTA BANDUNG
CP:085721502422

Senin, 20 Agustus 2012

Ekonomi dan “E-commerce” (@Jejaring Pikiran Rakyat, 4 Juni 2012)

Oleh IHSAN FAUZAL FIRDAUS

MEMBICARAKAN teknologi laiknya membincang anak sendiri. Hal tersebut dimungkinkan karena teknologi sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia; dimulai dari Televisi, MP3, handphone, komputer, dll. Di jaman sekarang, semua produk teknologi tersebut sangat dekat dengan diri kita. Internet adalah salah satu bentuk yang diakibatkan dari munculnya teknologi. Internet, dengangoogling, mengetik keyword yang dicari, terus klik enter, maka akan muncul informasi yang kita mau. Internet merupakan anak sah dari rahim teknologi yang sekarang mulai gencar dengan berbagai serbuan gadget-nya. Kita bisa mengakses internet dimana dan kapan pun kita mau, baik lewathandphone, iPhone, komputer atau yang lainnya.

Lewat internet, kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan, termasuk barang yang diincar. Lewat internet pula manusia lintas budaya bisa melakukan interaksi hanya dengan melakukan chating atau hanya mailing.

Interaksi di dunia internet tidak hanya dilakukan sebatas perkenalan dan komunikasi lintas jarak, tetapi interaksinya pun dilakukan dalam rangka bisnis. Kita bisa melakukan pencarian barang yang kita inginkan hanya dengan memesan lewat internet. Kita tidak perlu disibukan dengan pencarian ke setiap sudut toko, tetapi dengan hanya mengetik apa yang dimau, maka informasi barang pun akan tersedia di depan layar. Transaksi tersebutlah yang diambil oleh e-commerce.

E-commerce pertama kali diperkenalkan pada tahun 1994 pada saat pertama kali banner-elektronik dipakai untuk tujuan promosi dan periklanan di suatu website. Menurut Riset Forrester, perdagangan elektronik menghasilkan penjualan seharga 12,2 milyar dolar US pada 2003. Menurut laporan yang lain pada bulan oktober 2006, pendapatan ritel online yang bersifat non-travel di Amerika Serikat diramalkan akan mencapai seperempat trilyun dolar US pada tahun 2011 (wikipedia.com).

Di Indonesia, yang mempunyai populasi banyak pemakai internet tentunya tidak menyia-nyiakan momen ini. Kini Indonesia memiliki sekitar 55 juta pengguna internet, dan 57 persen memilih belanja secara online (tekno.kompas.com).

Dalam pandangan ekonomis, transaksi secara online akan mengurangi biaya untuk merogoh kocek dalam-dalam karena mencari barang yang diinginkan. Dengan adanya e-commerce, pembeli dengan santai menggunakan jari-jari tangannya untuk melakukan transaksi. Dan, bukan hanya pembeli yang diuntungkan dalam transaksi online ini, pihak penjual pun akan merasakan kenyamanan, karena barang yang ditawarkan bisa dipublikasikan melampaui ruang gerak. Ini mengingat, di internet tidak ada ruang gerak yang dibatasi seperti sering terjadi di dunia nyata: si penjual harus menjajakan barangnya sana-sini dengan melakukan retorika yang baik laiknya seorang sales promotion.

Sayangnya, e-commerce pun tidak menjamin 100 persen transaksi secara lancar. Di sela-sela perbincangannya, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Gatot S. Dewa Broto mengatakan transaksi pembayaran dalam e-commerce masih dibahas lebih detail dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) (tempo.com).

Bagi perusahan e-commerce besar semacam tokobagus, antusiasme masyarakat Indonesia terhadape-commerce dimanfaatkan dengan cukup baik. Bahkan tokobagus mengincar kenaikan 300 persen dari posisi saat ini sebesar 1,4 trilyun rupiah per bulan (surabayadetik.com).

Menyejahterakan

Karl Marx, sebagai salah satu eksponen pemikir ekonomi selalu membicarakan tentang relasi ekonomis dalam proses produksi barang. Proses produksi adalah proses aktualisasi nilai-nilai eksistensi para pekerja. Erich Fromm, dalam salah satu karyanya untuk mengapresiasi Marx, Marx’s Concept of Man,mengatakan bahwa seluruh argumentasi Marx adalah penggusuran terhadap nilai-nilai alienatif (pengasingan) dalam diri pekerja (Fromm, 2001).

Dengan model tatapan Marx, maka kita akan melihat bahwa sistem relasi ekonomi pada e-commerceluput dalam kaitannya dengan para pekerja yang menghasilkan barang. Dalam sistem ekonomi di internet, e-commerce hanya memberikan perhatian kepada pembeli dan penjual. Hubungan penjual-pembeli dalam e-commerce adalah bentuk kemampuan daya tarik internet yang memberikan keefisienan kepada penjual dan pembeli, tetapi luput dari relasinya dengan pembuat produk.

Internet pada titik tertentu pun hanya digunakan oleh para pemilik barang (modal) yang hanya melek terhadap teknologi. Internet hanya menyentuh orang yang sanggup memainkan mailing dan chating. Hubungan ekonomis dalam e-commerce tidak berlaku bagi para petani rotan, misalnya. Padahal pada hubungan ekonomi e-commerce, penjual hanya menjual apa yang dia tidak kerjakan. Dalam sistem ekonomi e-commerce, penjual menjajakan publikasi mengenai adanya bahan anyaman dari batang rotan di dunia internet. Tapi para pengrajin dan petani rotannya sendiri dilewati. Bisa saja, penjual pada kasus hubungan ekonomi e-commerce, hanya sebagai pengepul anyaman rotan, yang tidak tahu menahu mengenai bagaimana anyaman tersebut diproduksi.

Di satu sisi, e-commerce memberikan peluang bagi UKM (Usaha Kecil dan Menengah) untuk melakukan penjualan, serta pembeli akan mudah mendapatkan barang yang diinginkannya. Tapi di sisi yang lain,e-commerce pun tidak menyentuh para pekerja riil yang memang bekerja langsung di lapangan.

Memang betul, bahwa internet memberikan kemudahan bagi para penggunanya. Penjual dan pembelivia online akan merasa nyaman “bergaul” bebas di dunia maya, mungkin akan saling tawar-menawar dengan langsung melakukan kopi darat. Tapi internet menjadi “sosok” yang sangat jauh bagi para pekerja riil yang ada di perdesaan, misalnya. Bahkan kita juga telah paham bahwa penduduk di negri kita tidak semuanya melek dengan internet. Barangkali inilah dampak dari ekonomi dunia ketiga, yang memang selalu terbelakang terhadap model-model yang berbau modern.***

Penulis, bergiat di Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) UIN SGD Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar