Oleh IHSAN FAUZAL FIRDAUS
MEMBICARAKAN teknologi laiknya membincang anak
sendiri. Hal tersebut dimungkinkan karena teknologi sangat erat kaitannya
dengan kehidupan manusia; dimulai dari Televisi, MP3, handphone, komputer, dll. Di jaman sekarang, semua
produk teknologi tersebut sangat dekat dengan diri kita. Internet adalah salah
satu bentuk yang diakibatkan dari munculnya teknologi. Internet, dengangoogling, mengetik keyword yang
dicari, terus klik enter, maka
akan muncul informasi yang kita mau. Internet merupakan anak sah dari rahim
teknologi yang sekarang mulai gencar dengan berbagai serbuan gadget-nya. Kita bisa mengakses internet dimana dan kapan pun
kita mau, baik lewathandphone,
iPhone, komputer atau yang lainnya.
Interaksi di
dunia internet tidak hanya dilakukan sebatas perkenalan dan komunikasi lintas
jarak, tetapi interaksinya pun dilakukan dalam rangka bisnis. Kita bisa
melakukan pencarian barang yang kita inginkan hanya dengan memesan lewat
internet. Kita tidak perlu disibukan dengan pencarian ke setiap sudut toko,
tetapi dengan hanya mengetik apa yang dimau, maka informasi barang pun akan
tersedia di depan layar. Transaksi tersebutlah yang diambil oleh e-commerce.
E-commerce pertama kali diperkenalkan pada tahun
1994 pada saat pertama kali banner-elektronik dipakai untuk tujuan promosi dan
periklanan di suatu website. Menurut Riset Forrester, perdagangan
elektronik menghasilkan penjualan seharga 12,2 milyar dolar US pada 2003.
Menurut laporan yang lain pada bulan oktober 2006, pendapatan ritel online yang
bersifat non-travel di Amerika Serikat diramalkan akan mencapai
seperempat trilyun dolar US pada tahun 2011 (wikipedia.com).
Di Indonesia,
yang mempunyai populasi banyak pemakai internet tentunya tidak menyia-nyiakan
momen ini. Kini Indonesia memiliki sekitar 55 juta pengguna internet, dan 57
persen memilih belanja secara online (tekno.kompas.com).
Dalam
pandangan ekonomis, transaksi secara online akan mengurangi biaya untuk merogoh
kocek dalam-dalam karena mencari barang yang diinginkan. Dengan adanya e-commerce, pembeli dengan santai menggunakan
jari-jari tangannya untuk melakukan transaksi. Dan, bukan hanya pembeli yang
diuntungkan dalam transaksi online ini, pihak penjual pun akan merasakan
kenyamanan, karena barang yang ditawarkan bisa dipublikasikan melampaui ruang
gerak. Ini mengingat, di internet tidak ada ruang gerak yang dibatasi seperti
sering terjadi di dunia nyata: si penjual harus menjajakan barangnya sana-sini
dengan melakukan retorika yang baik laiknya seorang sales promotion.
Sayangnya, e-commerce pun
tidak menjamin 100 persen transaksi secara lancar. Di sela-sela
perbincangannya, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan
Informatika Gatot S. Dewa Broto mengatakan transaksi pembayaran dalam e-commerce masih dibahas lebih detail dalam
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE) (tempo.com).
Bagi
perusahan e-commerce besar
semacam tokobagus, antusiasme masyarakat Indonesia terhadape-commerce dimanfaatkan
dengan cukup baik. Bahkan tokobagus mengincar kenaikan 300 persen dari posisi
saat ini sebesar 1,4 trilyun rupiah per bulan (surabayadetik.com).
Menyejahterakan
Karl Marx,
sebagai salah satu eksponen pemikir ekonomi selalu membicarakan tentang relasi
ekonomis dalam proses produksi barang. Proses produksi adalah proses
aktualisasi nilai-nilai eksistensi para pekerja. Erich Fromm, dalam salah satu
karyanya untuk mengapresiasi Marx, Marx’s
Concept of Man,mengatakan
bahwa seluruh argumentasi Marx adalah penggusuran terhadap nilai-nilai
alienatif (pengasingan) dalam diri pekerja (Fromm, 2001).
Dengan model
tatapan Marx, maka kita akan melihat bahwa sistem relasi ekonomi pada e-commerceluput dalam kaitannya dengan para pekerja
yang menghasilkan barang. Dalam sistem ekonomi di internet, e-commerce hanya
memberikan perhatian kepada pembeli dan penjual. Hubungan penjual-pembeli dalam e-commerce adalah
bentuk kemampuan daya tarik internet yang memberikan keefisienan kepada penjual
dan pembeli, tetapi luput dari relasinya dengan pembuat produk.
Internet pada
titik tertentu pun hanya digunakan oleh para pemilik barang (modal) yang hanya
melek terhadap teknologi. Internet hanya menyentuh orang yang sanggup memainkan mailing dan chating. Hubungan ekonomis dalam e-commerce tidak
berlaku bagi para petani rotan, misalnya. Padahal pada hubungan ekonomi e-commerce, penjual hanya menjual apa yang dia
tidak kerjakan. Dalam sistem ekonomi e-commerce, penjual menjajakan publikasi mengenai
adanya bahan anyaman dari batang rotan di dunia internet. Tapi para pengrajin
dan petani rotannya sendiri dilewati. Bisa saja, penjual pada kasus hubungan
ekonomi e-commerce, hanya
sebagai pengepul anyaman rotan, yang tidak tahu menahu mengenai bagaimana
anyaman tersebut diproduksi.
Di satu sisi, e-commerce memberikan
peluang bagi UKM (Usaha Kecil dan Menengah) untuk melakukan penjualan, serta
pembeli akan mudah mendapatkan barang yang diinginkannya. Tapi di sisi yang
lain,e-commerce pun tidak menyentuh para pekerja riil yang
memang bekerja langsung di lapangan.
Memang betul,
bahwa internet memberikan kemudahan bagi para penggunanya. Penjual dan pembelivia online
akan merasa nyaman “bergaul” bebas di dunia maya, mungkin akan saling
tawar-menawar dengan langsung melakukan kopi darat. Tapi
internet menjadi “sosok” yang sangat jauh bagi para pekerja riil yang ada di
perdesaan, misalnya. Bahkan kita juga telah paham bahwa penduduk di negri kita
tidak semuanya melek dengan internet. Barangkali inilah dampak dari ekonomi
dunia ketiga, yang memang selalu terbelakang terhadap model-model yang berbau
modern.***
Penulis, bergiat
di Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) UIN SGD Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar