oleh: Adew Habtsa *
“Bagai jutaan serigala,menyerbu kota besar, tempat asal adalah neraka…” (SWAMI,1990)
Sontak saja jalanan macet, kota ini nyata sexy. Bagai perempuan atau lelaki sexy, semua orang ingin melihat, jikaperlu meraba-raba setiap lekuk tempat ini. Uang cukup di kantong Anda,terbelilah segalanya. Makanan bagus, minuman segarkan haus, pakaian halus,takhanya itu pemandangan dan hawa pun lumayan mulus, sebab angin agak segar boleh berhembus. Tiap pekan, bahkan tiap hari,ribuan bahkan jutaan orang mengerubungi kota nan sexy ini. Konon ada rumor, bahwa kota bandung berpopulasi 4 juta pada siang hari, namun ketika malam tiba, kota ini dihuni kurang lebih 2,5 juta penduduknya.
Betapa banyak kepentingan dari orang-orang yang berhamburan memenuhi setiap titik tertentu di kota ini, seperti ibukota lainnya di nusantara atau di belahan bumi lain, segala kepentingan bisa saja terjadi di kota ini. Entah kepentingan positif atau negatif, tergantung standar kebenaran yang diyakini masing-masing. Adalah terkena hukum nisbi alias relatif untuk menghadapkan satu obyek dan peristiwa tertentu, apakah memang obyek itu mengandung kepentingan atau tidak. Penting sepenting-pentingnya, beserta alasan yang menyertainya atau bahkan nihil sama sekali dari kepentingan tertentu.
Takbisa disangkal lagi, kita pun lelah menghadapi anekarupa kepentingan.Tuan dan nyonya punya kepentingan, begitupan jelata seperti kita, sekadar kepentingan untuk hidup layak dan seimbang terwujudkan pun, malah jadi terseok-seok. Tiba-tiba saja kita, terutama saya menjadi kebal atau tepatnya terbiasa dengan kondisi kota yang katanya Tuhan tersenyum saat penciptaan daerah nan asri ini, di bagian tertentu saja, untuk tidak mengatakan semuanya anggun, pada suasana saat ini. Anda pasti pernah melintas jalan Braga, sejarah mencatat jalan ini telah menjadi icon kebanggaan kota ini, hingga beberapa Negara di Afrika mengenal tempat ini, sampai-sampai mengambil pola bangunan yang nyaris mirip dengan jalan bergaya Eropa. Jalan Braga pada masa keemasannya adalah pusat kebudayaan, mempresentasikan Bandung selaku kota multietnis sekaligus multikultural pada masa kolonial Belanda. Takhanya melulu berdagang, namun ada misi lain yang ingin disampaikan diantara warga ketika itu.
Itulah barangkali kepentingan yang setidaknya hendak kita asongkan ke sidang pembaca bahwa nyata dan kentara kota ini begitu beragam dan berwarna ideologi hidup dan tingkah polah warganya. Segala warna kulit, bahasa, tradisi dan agama bertumbukan di tempat ini dan jalan Braga jika mengaca pada sejarah tampak memperlihatkan sisi yang bernuansa bangsa-bangsa di dunia, meski taksemuanya ada disini. Lebih jauh Bandung merupakan melting pot atas semua realitas sosial yang ada.
Semenjak dulu Bandung sudah terbiasa dengan kebhinekaan citarasa dan latarbelakang hidup seseorang, diantara warganya tersemat toleransi yang patut kita reguk kembali untuk didatangkan di hari-hari kita, saat ini, yang berat dan penuh tantangan. Dari sana pancarkan keguyuban dan kesetaraan. Dari tempat ini pula berbagai peristiwa politik dan kebudyaan yang tampilkan kebersamaan, kerjasama serta dilandasi niat yang baik untuk memajukan perdamaian dunia telah membahana. Dan mengapa hari ini tidak kita tiupkan lagi semangat nilai-nilai itu, dari hanya sekadar membawa kepentingan sesaat.
Pada panorama yang lain di kota ini, ada makhluk paling manis, paling jujur jua bersuara lantang, inilah dia pemusik balada. Musik balada dalam pengertiannya yang sederhana sebuah aliran musik yang menitikberatkan pada kekuatan lirik. Genre ini membiarkan katakata bercerita, bertema apapun, berkisah apasaja. Mengingat manusia adalah makhluk yang senang bercerita (Homo faboulan), sependiam apapun orang itu, pasti dia akan bercerita,hanya barangkali media ekpresinya saja yang berbeda-beda.
Pemusik balada sebut saja sosok homo faboulan, senang bercerita, bertutur lewat musik, dengan nada, dengan puisi, dengan narasi sederhana yang lebih pas dan diperkirakan mengena secara estetika dan kemerduan bunyi musik lainnya. Kemudian ia, mereka, komunitas ini terlahir dan besar di satu tempat tertentu,apatah lagi memang tumbuh besar di kota sebesar Bandung ini. Kota seribu taman katakanlah demikian menghadirkan kompleksitas persoalan kota. Dari kemacetan hingga penduduk yang membludak. Sebagaimana kota besar lainnya, persoalan ekonomi dan lapangan pekerjaan benar-benar menjanjikan di kota ini, bisa jadi inilah daya tarik sekaligus daya pesona, sehingga membuat orang-orang dari desa,atau kota-kota lainnya ingin bergegas mencecap gemerlap kota.
“Kota ini rumah yang pecah, tapi kita menyerah, untuk tetap betah dalam getah, gundah gelisah…”(Acep Iwan Saidi,2004)
Jika memang para pemusik balada ini memiliki komitmen sosial serta fokus interest terhadap realitas kota, bukan lantaran ia tinggal di kota, namun lebih dari itu, ada kepekaan nurani di atas rata-rata, tentu pemusik balada sudah membawa kepentingan yang luar biasa untuk ditawarkan pada khalayak banyak. Seperti halnya para penyair acapkali menangkap momen-momen puitik yang berseliweran di atas tanah kota, di jalan-jalan, di taman, di lampu-lampu jalan, pada ruas trotoar di bagian manapun, bahkan di tempat yang terduga sebelumnya, begitupun pemusik balada diharapkan mampu memotret fragmen kehidupan kota berbarengan dengan hiruk pikuk kota yang menyesakkan dada.
Berdasar pendapat sosiolog, kelompok tanpa konflik itu menandakan sakit. Artinya permasalahan yang mencuat di kota, biasanya bertali temali dengan pergerakan kelompok yang kerapkali menimbulkan gesekan, interaksi sosial memburuk, problematika kota pun takterhindari. Konflik dalam satu kawasan itu wajar, mengingat manusia membawa pelbagai macam kepentingan, asalkan bisa dicari solusi yang tepat dan akurat. Masalah kota ini sesungguhnya ‘proyek’ kita,untuk sama-sama dibenahi semampu yang kita bisa. Akhirnya kota Bandung ini takakan pernah habis oleh cerita dan dongeng dengan bermacam-macam tema dan topik pergulatan keruwetan hidup yang datang silih berganti.
Takpelak lagi, pemusik balada sebagai bagian yang takterpisahkan dari masyarakat kota, seyogianya membawa dua kesaksian yang semestinya dilakukan, yang pertama kesaksian dengan kata-kata, artinya membuat syair dan musik atas segala persoalan kota yang menggangu keharmonisan masyarakat, dan yang kedua melakukan kesaksian dengan perbuatan, bermakna urun rembug,berpartisipasi aktif melakukan perubahan dengan tindakan nyata selaras dengan kemampuan yang ada.
Kesaksian tersebut bermuara pada karya musik tertentu yang tentu saja berbasiskan nilai-nilai luhur dan sarat dengan pemuliaan martabat kemanusiaan. Mengapa harus berbasis nilai? Paling tidak kita sudah memotret kondisi perkotaan dengan nyanyian, maka agar karya tersebut berjiwa,takada pilihan kecuali dengan memasukkan unsur nilai-nila kehidupan yang universal, tanpa harus terbebani dengan bobot nilai tertentu. Takada salahnya barangkali seorang pemusik layaknya aktivis atau pekerja sosial lainnya perlu dibekali nilai-nilai luhur kemanusiaan bagi pertumbuhan peradaban manusia yang lebih mantap.
Syukur-syukur lewat lagu yang tercipta, melalui lirik yang tertulis, bersama irama yang membahana, ada yang mau membuka mata hatinya untuk lebih hirau pada kondisi kota dan segala tetekbengeknya, tidak lantas terjebak pada kepentingan-kepentingan temporer dan dangkal yang hanya untungkan segelintir orang saja. Dengan demikian bagian-bagian tertentu dari kota dibidik,individunya digugah, masyarakatnya digerakkan untuk kemajuan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Mari.
Bandung, September 2011
*Adalah Pemusik Balada Kota Bandung, Esais, dan Penyair. Beraktifitas terutama di Asia-Afrika Reading Club (AARC), gemar senyum dan suka ngabodor. Bertempat tinggal di Ledeng, dan ingin cepat-cepat nikah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar