Oleh : Ayyash Aqiel
“Eh…jeng, saya bangga deh anak saya bentar lagi
jadi dokter,
minggu depan mau wisuda hebat ya anak saya..?!”
“Oh gitu jeng….ya lebih hebat anak saya dong jeng, anak saya tuh dapet beasiswa dari pemerintah buat ngelanjutin S2 di luar negri supaya jadi ekonom hebat …!”
Kontras….disamping ibu-ibu bawel yang lagi ngebanggain anak-anak nya, ada seorang ibu yang Cuma mesem-mesem doank. Ibu itu di tanya oleh salah satu dari ketiga ibu yang lagi unjuk kebanggaan .
“anak jeng gimana? dari tadi ko diem terus cerita dong!”
“ah…..anak saya mah bu Cuma tamatan madrasah Aliyah, ga dilanjutin kuliah, jadi muadzin mushola aja saya mah udah seneng bu..” jawabnya agak minder lalu dibalas senyum sinis terkesan ngejek dari si jeng-jeng yang nge-jengkelin itu.
minggu depan mau wisuda hebat ya anak saya..?!”
“Oh gitu jeng….ya lebih hebat anak saya dong jeng, anak saya tuh dapet beasiswa dari pemerintah buat ngelanjutin S2 di luar negri supaya jadi ekonom hebat …!”
Kontras….disamping ibu-ibu bawel yang lagi ngebanggain anak-anak nya, ada seorang ibu yang Cuma mesem-mesem doank. Ibu itu di tanya oleh salah satu dari ketiga ibu yang lagi unjuk kebanggaan .
“anak jeng gimana? dari tadi ko diem terus cerita dong!”
“ah…..anak saya mah bu Cuma tamatan madrasah Aliyah, ga dilanjutin kuliah, jadi muadzin mushola aja saya mah udah seneng bu..” jawabnya agak minder lalu dibalas senyum sinis terkesan ngejek dari si jeng-jeng yang nge-jengkelin itu.
Penggalan cerita diatas menggambarkan seperti apa persepsi
yang berbeda-beda dari sebagian masyarakat terhadap pendidikan dan hasilnya,
dan bagaimana interpretasi sebuah kata ‘hebat’ dan kesuksesan dalam pendidikan
yang berbeda-beda pula di kalangan penduduk negara berkembang ini. Apa kita
tertarik pada konsep sukses pendidikan seperti ibu yang mempunyai anak yang
bisa adzan dan mampu memakmurkan mushola? atau kita lebih tertarik pada konsep
keberhasilan pendidikan seperti ibu yang anaknya mendapat penghargaan dan
jaminan dari pemerintah?. Entahlah….. mari kita mengaca diri.
Bak seorang anak yang sedang belajar naik sepeda, naik jatuh
lalu mencoba naik kemudian kembali terjatuh lagi. Dunia pendidikan di nusantara
ini pun mengalami pasang-surut dalam perjalanannya. Dari mulai penyesuaian
metode Hindu-Budha ke pendidikan masa Islam, dari perjuangan melalui tekanan,
jajahan dan pen-diskriminasi-an pendidikan di masa kolonial yang pada masanya
banyak melahirkan tokoh-tokoh pendidikan nasional seperi; Ki Hajar Dewantara,
M. Natsir, HAMKA, Sultan Takdir Alisyahbana, Budi Utomo dan sederet pilar
pendidikan Indonesia lainnya. Juga dari zaman kemerdekaan hingga era reformasi
yang menyisakan hitam-putih pendidikan Indonesia.
Tidak salah bila bangsa ini memberikan apresiasi positif
berupa penghargaan semacam bantuan beasiswa atau jaminan lainnya, yang
pemerintah berikan kepada anak bangsa berprestasi supaya lebih berhasil, yang
di harapkan dapat menambal lubang-lubang perjuangan pendahulu mereka dalam
memperbaiki pendidikan masyarakat tanah air sehingga mengharapkan peningkatan
signifikan dan mewujudkan masyarakat madani yang berintelektual. Seperti saat
ini saja, pendidikan dasar pun sudah dapat dirasakan dan diterima semua lapisan
masyarakat tanpa membedakan status social-ekonomi walaupun masih banyak juga
anak-anak yang berkeliaran menyambung hidup disaat jam-jam belajar berlangsung.
Namun yang menjadi pertanyaan besar, apa dengan penghargaan, beasiswa, serta
layanan pendidikan lainnya yang diatur oleh kebijakan-kebijakan pemerintah saat
ini dapat menjamin pendidikan emosi/moral anak bangsa akan terjaga dan sesukses
pendidikan intelektualitasnya..??
Disinilah urgennya peran Adab, disamping diterapkannya
kecerdasan intelektual masyarakat terutama anak bangsa, adab juga harus menjadi
good habbit masyarakat Indonesia. Kecerdasan intelektual saja belum cukup untuk
membekali anak negri dalam mengarungi zaman, menjaga martabat bangsa dan
mencapai kesuksesan hidup. Karena intelegensi/IQ bukanlah satu-satunya potensi
yang berperan dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang sebab selebihnya akan
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti EQ & SQ yang kemudian dipadukan
menjadi ESQ. Daniel Goleman menyebutkan bahwa kontribusi IQ terhadap
keberhasilan hidup seseorang hanyalah berkisar 20% sementara 80% lainnya
ditentukan oleh yang dinamakan EQ. Karena emosional adalah bagian dari adab,
dan adab adalah kecerdasan emosional yang ditempa dengan kecerdasan spiritual.
Parlindungan Marpaung penulis buku best seller “Setengah Isi
Setengah Kosong”, diakhir penutup pada bukunya “Fulfilling Life” ia menulis
sebuah do’a yang indah untuk anaknya; “Tuhan..berilah hamba seorang putra yang
sadar bahwa mengenal Engkau dan mengenal diri sendiri adalah landasan segala
ilmu pengetahuan..”. Indah bukan? Itulah perpaduan Emotional Quotient dan
Spiritual Quotient yang dipinta Marpaung untuk mendidik anaknya. Itulah Adab.
Kata ‘al-Adabu’ pada masa kejayaan Islam digunakan dalam
arti umum, yaitu semua ilmu pengetahuan (Az-Zubaidi I:144). Menurut Ma’luf
selain digunakan untuk semua jenis ilmu pengetahuan juga untuk ilmu yang khusus
berkaitan dengan keindahan atau sastra. Disini menunjukkan adanya perubahan
makna dari umum menjadi khusus. Kata ‘al-Adabu’ dalam bahasa Arab bermakna
‘husnul akhlaaq wa fi’lul makaarim’ yakni budi pekerti yang baik dan perilaku
yang terpuji. Kemudian kata itu berarti pula ‘adh-Dhorfu’ yaitu sopan santun,
dan ‘riyaadlotun nafsi wa mahaasinul akhlaaq’ yang berarti melatih/mendidik
jiwa dan memperbaiki akhlak. Kata-kata ini menunjukkan kepada makna akhlak yang
baik.
Pendidikan moral atau yang dikenal dengan adab harus lebih
dini diberikan kepada seorang anak sebelum diberikannya pengajaran ilmu
pengetahuan lain. Karena adab adalah
pondasi kuat semua ilmu pengetahuan dan kebijaksanaaan. Hal ini menunjukkan
pada proses ta’dib terjadi sebelum ta’lim, makna ini sejalan dengan hadits Nabi
s.a.w dari Anas r.a riwayat Ibnu Hibban (lihat juga Fathul Baari Syarah Shohih
Bukhori jilid I hal 190). Hal ini juga diperkuat oleh pendapat M. Nashih Ulwan
yang intinya menjelaskan, anak usia 7-14 tahun adalah fase yang yang wajib
dipupuk pendidikan adab, lalu usia 14-16 lebih di beri pengajaran-pengajaran
lain. Hal ini tidak berarti ilmu pengetahuan tidak boleh/tidak penting di
berikan sejak kecil namun pendidikan adab mendapat prioritas utama, sehingga
setelah berilmu tidak hanya pintar tetapi cerdas dan beradab.
Seperti kalimat
dari do’a seorang Marpaung diatas, kalimat ‘mengenal Tuhan’ dengan ‘mengenal
diri sendiri’ disebut sebelum kata ‘ilmu’ dan kontekstualnya dijadikan landasan
ilmu pengetahuan. Juga seperti sebuah cerita dalam bahasa arab yang mengisahkan
Pangeran Inggris saat kecil yang malas belajar dan mempunyai kesombongan
terhadap gurunya bahwa ia akan menjadi seorang raja. Ayahnya, Raja Inggris
menegur “..kaifa takuunu maalikan idza lam tataadzdzab wa tata’allam..?!”,
bagaimana engkau akan menjadi seorang raja jika tidak beradab dan berilmu.
Disini kata ‘tataadzdzab’ yang berarti beradab, disebut sebelum kalimat
‘tata’allam’ yang berarti berilmu. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan
moral/adab merupakan pendidikan yang pertama dan utama.
Hal ini yang
harus diperhatikan lebih serius oleh para praktisi pendidikan dan dikaji lebih
lanjut oleh pemerintah untuk diterapkan pada system pendidikan Indonesia. Apa
gunanya bila berilmu tapi tak beradab? Apa gunanya berintelektualitas tinggi
namun bermental bobrok? Apa gunanya menjadi dokter hebat bila ilmunya disalah
gunakan? Apa gunanya menjadi ekonom hebat namun malah menipu rakyat?. Bahkan
seorang pengurus mushola yang tidak mampu belajar di perguruan tinggi tetapi
mempunyai adab lebih mulia dari pada mereka yang menyalah gunakan ilmunya. Wallahu
‘alam []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar