Like This, Oke !!

Bewara

Hadirilah....
DISKUSI KEBANGSAAN JILID II "Momentum Hari Pahlawan, Upaya Membangun Bandung Berdikari"
Pembicara :
1. Drs. H. Asep Dedy Ruyadi, M.Si (Wakil Ketua DPRD KOTA BANDUNG)
2. H. Dedi Supandi, S.STP, M.Si (Ketua DPD KNPI KOTA BANDUNG)
3. Ust. Iman Setiawan Latief, SH (Ketua PD PERSIS KOTA BANDUNG)
4. Ridwan Rustandi (Ketua Hima Persis Kota Bandung
Jum'at, 16 November 2012
13.00-selesai
@AULA PP PERSIS (Jl. Perintis Kemerdekaan)

Graties dan terbuka untuk umum!!

KOpi gratis, Snack Gratis, dll

Organized BY
PD HIMA PERSIS KOTA BANDUNG
CP:085721502422

Kamis, 15 September 2011

Bandung Purba*

Tangkuban Perahu dari Kejauhan



Bila pagi hari cuaca cerah, di Utara Bandung tampak gunung Tangkubanparahu yang bentuknya seperti perahu yang terbalik.

Dari gunung ini banyak kejadian alam bisa diurut ke depan atau ke belakang hingga puluhan juta tahun yang lalu.

Di selatan gunung ini, terhampar luas permukiman penduduk kota Bandung. Dari waktu ke waktu, kota ini telah mencatat prestasi dan sanjungan, karena masyarakatnya yang datang dari seluruh pelosok nusantara dan dunia, bahu-membahu untuk mengembangkan kota ini dengan penuh rasa cinta.


Di kota Bandung segala ide digodog, dan gagasan dilahirkan dan dikembangkan. Maka lahirlah dari kota ini nama-nama besar dengan gagasan dan karya besarnya. Bandung telah membawa semangat yang luar biasa bagi warganya untuk terus berprestasi.

Bandung berada di kuali raksasa Cekungan Bandung, yang secara administratif termasuk provinsi Jawa Barat-Indonesia. Ke dalam cekungan ini mengalir sungai-sungai yang bersumber dari gunung-gunung yang berada di pinggiran kuali raksasa tersebut, lalu sungai itu berbelok mengalir ke arah Barat Laut, sesuai arah kemiringan wilayah ini.

Posisi geografis Cekungan Bandung berada 7o LS dan 107o BT. Dari posisinya itu Cekungan Bandung beriklim tropis lembab, dengan musim penghujan antara bulan Oktober – Mei, dan musim kemarau antara bulan Juni – September. Namun, ketinggian dapat juga mempengaruhi jumlah curah hujan. Demikian juga suhu di Cekungan Bandung ini berbeda, karena ada daerah-daerah di lereng gunung yang bersuhu lebih dingin. Namun, pada umumnya suhu rata-ratanya adalah 22,7o C.

Tanah vulkanis yang subur dengan air yang mengalir dari sember-sumber mata air (air seke/cinyusu), menyebabkan tanah-tanah di Cekungan Bandung didominasi oleh persawahan. Namun di daerah yang lebih tinggi, banyak ditanami sayuran, perkebunan teh, dan hutan produksi seperti tanaman pinus atau cemara.
Cekungan Bandung dikelilingi persawahan, kolam ikan, perbukitan, yang saat ini mulai terdesak permukiman penduduknya. Bahkan penduduk Bandung sudah mulai merayapi lereng-lereng tinggi untuk mendapatkan areal permukiman, yang seharusnya ditutupi pepohonan.

Permukiman di Cekungan Bandung berkembang sangat pesat karena daya tarik kota ini begitu kuatnya. Demikian juga permukiman di pinggiran Cekungan Bandung, seperti Rancaekek, Cicalengka, Margahayu, Soreang, Ciwidey, Banjaran, Ciparay, Majalaya, Cimahi, dan Padalarang.

Industri banyak didirikan di kota-kota pinggiran tersebut, sehingga telah membawa perubahan nyata baik bagi kehidupan penduduknya, atau pengaruh negatif bagi lingkungan hidup, seperti pencemaran yang kurang terkontrol, atau penggunaan air tanah untuk industri yang belum terawasi dengan baik. Karenanya jangan heran bila air tanah di Cekungan Bandung makin hari semakin dalam, dan permukaan tanahnya semakin lama semakin amblas.

Antar daerah yang tumbuh di pinggiran Cekungan Bandung itu sudah terhubung dengan jalan-jalan yang relatif baik, namun kadangkala pengaturan dan disiplin yang masih rendah, sering menimbulkan kesemrawutan yang mengesankan kumuh, jorok, dan kemacetan yang kronis.

Dengan kepadatan penduduk lebih dari 7.000 org/km2, kota ini merupakan salah satu tempat terpadat di dunia. Setiap tahunnya ratusan ribu mahasiswa dan pekerja datang ke kota ini untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi terbaik di nusantara, atau untuk mengadu nasib dan mencari penghidupan yang lebih baik.

Itulah kota Bandung, yang semakin padat, semakin berat beban yang harus ditanggungnya. Sungai Citarum yang dibendung menjadi Danau Saguling, juga telah memberikan andil yang nyata bagi banjir yang terjadi di Bandung Selatan, karena kecepatan air mengalir akan terhambat oleh bendungan tersebut. Inilah yang menyebabkan genangan banjir di Bandung Selatan akan semakin lama.

Sesekali waktu, cobalah naik ke tempat yang tinggi, ke gedung-gedung bertingkat, misalnya, dari sana kita dapat melepas pandang ke berbagai arah pinggiran Cekungan Bandung yang terdiri dari rangkaian gunung-gunung.

Bila pandangan kita lepaskan ke arah Utara, ada Gunung Burangrang, Gunung Sunda, Gunung Tangkubanparahu, Bukit Tunggul, dan Gunung Puteri. Sebelah timurnya ada Gunung Manglayang, di Selatannya terlihat Gunung Patuha, Gunung Tilu, Gunung Malabar, dan Gunung Mandalawangi. Di bagian Tengah ada rangkaian gunung yang berupa batuan interusif, dan di Barat dibentengi rangkaian bukit-bukit kapur Rajamandala. Bandung memang dilingkung gunung!

Bila waktu diputar mundur ke belakang sekitar 30-25 juta tahun yang lalu, ke zaman Tersier kala Miosen, maka akan terbukalah lembaran-lembaran sejarah bumi Bandung yang masih tersimpan baik dalam catatan-catatan alam di bebatuan dan berbagai bentukan alam di Cekungan Bandung.

Kala itu belum muncul pulau Jawa, karena daerah ini masih berupa lautan. Perbukitan kapur di Citatah-Rajamadala adalah salah satu buktinya. Terus terjadi proses pengangkatan kerak bumi, sehingga pantai Utara pulau Jawa berada pada titik Pangalengan. Di Selatan Pangalengan sekarang, muncul beberapa gunung api.

Kala Pliosen, sekitar 4 juta tahun yang lalu, terjadi kegiatan vulkanik di Selatan Cimahi, misalnya dibuktikan dengan adanya Gunung Selacau, Gunung Lagadar, dan lain-lain.

Baru pada zaman Kuarter kala Pleistosen sekitar 500 ribu tahun yang lalu, Gunungapi Sunda terbentuk. Gunungapi raksasa ini tingginya antara 3000-4000 m dari permukaan laut (dpl). Dengan gunungapi parasit di kiri kanannya, yaitu Gunung Burangrang dan Bukit Tunggul.

Pada kala ini pula Gunung Sunda meletus dahsyat hingga membentuk kawah yang sangat luas yang disebut kaldera.

Disusul terjadinya patahan Lembang yang melintang Timur-Barat sepanjang 22 km. Bagian utaranya relatif turun sedalam 450 m. Terutama di bagian Timur patahan, sementara bagian Selatannya relatif tetap pada posisinya.

Kemudian Gunung Tangkubanparahu lahir sekitar 125 ribu tahun yang lalu dari sisi Timur kaldera Gunung Sunda. Material letusannya sebagian mengisi Patahan Lembang, dan sebagian lagi mengalir ke arah Barat Bandung hingga mencapai daerah Cimahi Selatan.

Letusan berikutnya terjadi sekitar 55 ribu tahun yang lalu, material letusannya membanjir ke Selatan menutupi wilayah yang sangat luas, menutupi bagian Timur pematang tengah, yang berupa gunungapi tua dengan batuan andesit dan dasit.

Daerah antara Gunung Tangkubanparahu hingga Cimahi Selatan itu masih berupa hutan lebat dengan batang pohonnya yang besar-besar. Kemudian hutan lebat itu tertutup lahar gunungapi berbatu apung. Saat itu, di daerah Ciseupan-Cimahi Selatan, pada saat penduduk menggali pasir teras, ditemukan beberapa pohon besar yang bentuk pohonnya masih utuh, tapi sudah menjadi arang, terdapat di kedalaman pasir teras yang berwarna kebiru-biruan, dalamnya sekitar 50 m dari puncak bukit.

Material letusan Gunung Tangkubanparahu itu membendung Citarum purba di Utara Padalarang, menyebabkan terbentuknya Situ Hyang/Danau Bandung Purba. Proses penggenangannya berjalan sangat lama.

Saat itu Bandung sudah dihuni manusia, terbukti dengan banyaknya ditemukan artefak dari batu obsidian yang berupa mata anak panah, mata tombak di atas garis kontur ±725 m dpl. Penemuan terbanyak di sekitar Dagopakar. Konon, kata pakar bermula dari kata pakarang, yang dalam bahasa Sunda berarti perkakas.Pada masa prasejarah, daerah ini merupakan pusat pembuatan senjata dari obsidian/batu kaca/kendan, yang bahan bakunya diambil dari Gunung Kendan di sekitar Nagreg. Di daerah Dagopakar pun kemudian secara berkesinambungan menjadi pusat perbengkelan Bandung prasejarah setelah bahan lain selain batu mulai digunakan.

Pada saat Bandung menjadi danau yang sangat besar, dan air genangannya mulai bersentuhan dengan daerah perbukitan di sisi Barat, sejak itulah erosi mulai terjadi di perbukitan itu. Kejadiannya bersamaan antara proses penggenangan danau dan proses erosi. Untuk kedua proses itu memakan waktu yang sangat lama.
Akhirnya danau Bandung purba mendapat penglepasan pada saat air danau yang memasuki celah-celah pasiripis/hogback Pasir Kiara, seperti yang diteliti oleh Budi Brahmantyo dkk (2002), hingga akhirnya air Danau Bandung menyusut melalui Pasir Kiara.

Terowongan alami/sungai bawah tanah yang besar, terkenal dengan sebutan Sangiangtikoro, ternyata bukan tempat bobolnya air Danau Bandung Purba.

Terdapat perbedaan ketinggian yang mencolok antara Sangiangtikoro dengan Pasir Kiara sebagai bibir danau Bandung Purba. Budi Brahmantyo dkk. (2002) mencatat selisih antara 300-400 m dengan jarak antara 3-4 km. Argumen ini mencoba meluruskan pendapat lama yang sudah telanjur melekat bahwa Danau Bandung purba bobol di Sangiangtikoro.

Jauh sebelum itu sebenarnya K. Kusumadinata (1959) sudah mengisyaratkan bahwa bobolnya Danau Bandung purba itu melalui Pasir Larang, tapi sayangnya kurang mendapat tanggapan.

Erusi berikutnya dari Gunung Tangkubanparahu berupa lava yang mengalir perlahan di lembah-lembah, ke Selatan dan ke Utara. Ujung lava itu menjadi bagian dari air terjun setelah lembah itu dialiri sungai. Ujung lava yang mengalir ke Selatan kemudian membentuk air terjun : Curug Brugbrug, Curug Cimahi, Curug Panganten, Curug Omas, Curug Dago,dan ke Utara membentuk Curug Cijalu – Subang.

Kemudian terjadi lagi patahan di sekitar Gunung Burangrang dan di Utara Gunung Tangkubanparahu.
Masih dalam kala ini, terjadi rentetan letusan Gunung Tangkubanparahu dengan arah Barat-Timur, sehingga terbentuknya kawah Pangguyangan Badak, Kawah Ratu, Kawah Upas, Kawah Domas, dan kawah-kawah lainnya. Kejadian inilah sebenarnya yang telah membentuk Gunung Tangkubanparahu seperti perahu yang terbalik.

*Sumber : BANDUNG PURBA, Catatan Perjalanan T. Bachtiar dan Dewi Syafriani, Masyarakat Geografi Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar