Orang tentu
bertanya kenapa seri tulisan tentang Konperensi A-A 25 tahun yang lalu di Kota
Bandung saya beri judul : “The Bandung Connection”.
Tiap penggemar
film tegang tentu mengenal film: “The French Connection”, suatu ceritera
penyelundupan narkotika oleh penyelundup-penyelundup caliber besar di Kota New
York, di mana tersangkut beberapa pejabat polisi New York, kesemuanya mempunyai
koneksi (connection) dengan dunia diplomatic Perancis , yang ternyata
menjadi dalangnya dari segala penyelundupan itu. Itulah sebabnya kenapa film
tegang ini diberi nama: “The French Connection”.
Saya melihat film “The French Connection” itu untuk pertama kalinya
di Melbourne, Australia, pertengahan tahun 1972, dan untuk kedua kalinya di
Amsterdam, Negeri Belanda, dalam musim semi tahun 1973. Ada daya tarik yang
kuat dari film ini terhadap diri saya. Pertama-tama karena banyak sekali lokasi
yang dipertunjukan dalam film ini saya kenal dengan baik. Upama saja
adegan-adegan “Kongkow” antara para penyelundup dan polisi di hotel “Westbury”
di Madison Avenue, 68th Street, New York, benar-benar hidup dalam
imajinasi saya. Sebab saya pernah menginap selama 3 bulan di hotel tersebut
pada bulan-bulan Oktober-Desember 1966 sewaktu mengantarkan kembali Indonesia
ke PBB. Demikian juga dengan incar mengincar antara polisi dan penyelundup di
sepanjang Madison Avenue antara 68th sampai 62th Street benar-benar
“hidup“ dalam alam pikiran saya. Saya kebnal tiap took dan tiap pojok sepanjang
jalan itu, karena hamper setiap hari saya berjalan di situ, sehari sampai 2-3
kali selama 4 tahun. Sebabnya ialah karena “rumah dinas” Duta Besar RI di PBB
pada tahun 1967-1971 adalah di salah satu appartemen gedung kuno bertingkat 16
di pojok Madison Avenuedan 66th Street. Tepatnya rumah dinas saya
selaku Dubes di PBB di New York adalah 45 East , 66th Street, Apt5
2W. demikian juga adegan-adegan muslihat para komplotan di stasiun “Grand
Central Station” dari subway atau kereta api di bawah-tanah, kejar-kejaran
mobil yang menahan nafas para penonton di bawah viaduct kereta api sekitar
Harlem, tembak-menembak di jembatan Brooklyn, semua itu: membedah ingatan saya
kepada kota metropolitan New York yang saya kenal selama 4 tahun bermukim di
sana.
Ketegangan-ketegangannya serta serta unsure-unsur surprise dengan
klimaks terbongkarnya hubungan komplotan dengan dunia diplomatic Perancis dalam
film “The French Connection” ini membongkar nostalgia saya kepada Kota Bandung
pada tahun 1955. Kota Parahiyangan dan Kota Perjuangan. Kota “Lautan Api”, di
mana saya dalam usia 40-tahunan ikut menjadi sekedar pengangkut-pengangkut
batu, de sjouwer der stenen, dalam membantu generasi yang lebih tua dari saya
yang sedang menjalankan dharma-bhakti sejarahnya sebagai “pembangun-pembangun
candi”, yaitu de bouwer der temple dari Konperensi Bandung.
Kesibukan-kesibukan yang luar biasa pada waktu itu,
kesulitan-kesulitan teknis dan politis yang tertimbun-timbundan yang memerlukan
pemecahan dengan segera, surprise yang tak terhitungkan lebih dulu, kesemuanya
itu seringkali menimbulkan ketegangan yang luar biasa tidak hanya dalam diri
pribadi saya, tetapi juga dalam staf Sekretariat Konperensi yang saya pimpin,
sampai-sampai juga ketegangan-ketegangan itu merembes ke kalangan Pemerintah
Indonesia sendiri dan para Negara sponsornya. Dan ingatan kepada
ketegangan-ketegangan di sekitar Konperensi Bandung itulah bangkit kembali
sewaktu saya melihat film “The French Connection” tersebut, dengan rasa dan
intensitas yang mirip sama.
Bagi saya kota Bandung 25 tahun yang lalu jelas menampakan diri
sebagai, “kota penghubung”, “pusat koneksi” atau center of connection dari
Negara-negara dan rakyat-rakyat Asia-Afrika dalam menyusun barisan kesetiakawanannya.
Bandung pada waktu itu tidak hanya berfungsi sebagai “center of connection
between Governments” antar pemerintah, tetapi juga menjadi pusat penghubung
antara pejuang-pejuang Asia-Afrika. Utusan-utusan yang dapat meloloskan diri
dari kepungan dan belenggu penjajahan di Afrika Selatan dan Afrika Tengah;
pelarian-pelarian politik dari Aljazair, Maroko, Tunisia; pejuang-pejuang
pengembara dari Palestina; pembangkit-pembangkit hati-nurani rakyat negro
berkulit hitam dari Amerika; kaum intelek dari semenanjung Malaya yang pada
waktu itu belum merdeka; pokonya semua “penyelundup semangat kemerdekaan”,
“penyelundup” di mata kaum kolonialis dan kaum imperialis dan bukan penyelundup
narkotika dari benua-benua lain, datang bertemu di Bandung. Bandung tidak hanya
tempat berteduh bagi mereka, tetapi juga tempat pemberi inspirasi baru dan
kekuatan baru bagi mereka. Bandung berfungsi juga sebagai “dalang”dalam
kelanjutan proses sejarah kebangkitan bangsa-bangsa yang masih dijajah.
Itulah sebabnya, maka saya menggunakan judul “The Bandung
Connection” untuk seri karangan ini. Tidak dalam arti merendahkan, juga tidak
dalam arti seakan-akan menyamakan keseluruhan jalannya Konperensi A-A dengan
ceritera film “The French Connection” tersebut. Melainkan dalam arti kata yang berbeda,
baik dalam nilai-nilai moralnya, sama-sama kata-katanya, sama-sama intensitas
ketegangannya, tetapi tidak sama nilai dan moralnya !
***
Adakalanya tertangkap suara-suara sinis mengatakan, bahwa Konperensi
Bandung tak pernah mempunyai arti sejarah yang besar. Ada lagi yang mengakui
nilai sejarah Konperensi Bandung itu, tetapi menganggap bahwa semangatnya
kemudian sudah mati.
Bahwasannya semangat Bandung itu mengalami pasang naik dan pasang
surut adalah benar. Dan wajar ! karena dalam perkembangan sejarah dunia tak
pernah ada nilai-nilai Internasionalisme yang dapat terus langgeng menanjak.
Selalu ada gelombang silih berganti naik-turun, dan selalu ada siklus yang
berputaran. Itu hokum peredaran sejarah dan peredaran zaman. Demikian juga
dengan semangat Bandung. Tetapi untuk begitu saja, apalagi dengan suara sinis,
mengatakan bahwa Semangat Bandung tidak mempunyai arti sejarah atau kini sudah
mati sama sekali, adalah suatu kualifikasi yang tak beralasan. Ia
berlebih-lebihan keluar batas kenyataan, dan tidak sesuai dengan realitasnya.
Umum tentu masih ingat bahwa Joint-statement Nixon-Chou En Lai dan
Nixon-Breznev pada tahun 1972 menggunakan istilah-istilah dari prinsip-prinsip
Konperensi Bandung. Dengan jelas dinyatakan dalam kedua Joint Statement tersebut,
bahwa peaceful co-existence, yaitu hidup berdampingan secara damai antar
Negara-negara dengan system politik, sosial, ekonomi yang berbeda adalah yang
paling baik dan paling selamat dalam konstelasi imbangan kekuatan dunia
sekarang. Prinsip “peaceful co-existence” ini adalah inti-pokok dari Semangat
Bandung.
Dalam hubungan ini saya teringatkepada pengalaman saya di PBB pada
bulan November, 11 tahun yang lalu. Persisnya pada hari rebo tanggal 19
November tahun 1969. Hari itu Majelis Umum PBB sedang membicarakan masalah
Irian Barat, kini bernama Irian Jaya, judukl acaranya adalah : “Agreement
between the Republic of Indonesia and the Kingdom of Netherlands concerning
West New Guinea (West Irian)”, ditambah di bawahnya: “Report of the Secretary
General regarding the act of self-determination in West Irian”.
Pembaca tentu masih ingat apa yang menjadi pokok persoalan pada
waktu itu. Yakni hasil Perpera di Irian Barat pada pertengahan tahun 1969
disaksikan oleh wakil-wakil Sekjen PBB, dengan hasil mutlak bahwa rakyat Irian
Barat menyatakan tetap bergabung dalam Republik Indonesia sesuai dengan
Proklamasi 17 Agustus 1945. Apa yang diminta oleh pihak Indonesia dan belanda
adalah supaya hasil Perpera itu di take-note, dicatat dan diketahui oleh PBB.
Lain tidak! Dengan begitu PBB secara resmi akan menyaksikan habisnya konflik
yang bertahun-tahun antara Indonesia dan Belanda mengenai Irian Barat ini.
Perhitungan dan dugaan kita semula pembicaraan akan berjalan lancer,
sekalipun di sana-sini, terutama dari sementara Negara Afrika Selatan Sahara
terdengar kritik terhadap cara Perpera dijalankan oleh Indonesia. Karena
sebelum perdebatan itu rombongan Menlu Adam Malik telah mengunjungi beberapa
Negara Afrika, maka perkiraan kita semuanya akan beres.
Apa yang terjadi?
Wakil Ghana, Duta Besar Akwei dengan didukung oleh sejumlah 30
negara, kebanyakan dari Afrika tengah di kawasan Selatan Sahara mengusulkan
supaya perdebatan ditunda untuk waktu tak tertentu dan supaya kepada rakyat
Irian Barat diberi waktu sampai akhir tahun 1975 (jadi 6 tahun lagi dihitung
dari tahun 1969) untuk menyatakan pendapatnya: apakah memang benar-benar mereka
mau bergabung dengan RI: atau ingin merdeka sendiri sesuai dengan tuntutan
Gerakan Papua Merdeka: ataukah bersama-sama dengan Irian Timur mendirikan
Negara merdeka “Melanesia”.
Alas an Wakil Ghana ialah bahwa Perpera telah dijalankan secara
pakasaan oleh bayonet TNI, karenanya tidak jujur demokratis. Pada pokoknya
Ghana menuduh Indonesia menjalankan semacam “kolonialisme” baru di Irian Barat.
Usul Ghana ini jelas akan memberikan angin kepada gerakan separatisme, dan akan
membahayakan posisi Indonesia!
Latar belakang dari aksi Ghana dan kawan-kawannya ini adalah
kekhawatiran dan ketakutan bahwa prinsif “musyawarah dan mufakat” dari Perpera
ini, dan yang meninggalkan cara one man, one vote (tiap orang satu suara)akan
dioper oleh pemerintahan-pemerintahan rasialis dan kolonialis kulit putih dari
Afrika Selatan, Rhodesia dan Portugal dalam menghadapi gerakan-gerakan
kemerdekaan di Namibia, Angola, Mozambik dan sebagainya. Secara implicit
Indonesia disamakan dengan Afrika Selatan dan Portugal, yang rasialis dan
kolonialis itu.
Motivasi khusu bagi Ghana adalah bahwa pemerintahannya yang baru
ingin mempertontonkan kehebatannya dalam membela kulit-kulit hitam negroid di
mana-mana, Rakyat irian Barat juga dianggapnya sebagai golongan Negroid.
Pemerintah Ghana yang baru ingin menggunakannya sebagai semacam kompensasi
mental terhadap dijatuhkannya Presiden Kwame Nkrumah yang di seluruh dunia
dikenal sebagai seorang yang gigih anti-kolonialisme dan anti-imperialisme.
Di tengah-tengah perdebatan yang menghangat tanggal 19 November 1969
itu, Ketua Delegasi Aljazair, Yazid namanya, menghampiri tempat duduk Delegasi
Indonesia, dan berbisik kepada saya akan ikut bicara dan “melabrak” Wakil
Ghana. Saya kenal Yazid baik sekali. Selama tahun 1953 sampai tahun 1960 Yazid
bermukim di Jakarta, sebagai pelarian politik karena menentang mati-matian
kolinialisme Perancis yang waktu itu masih menjajah Maroko, Aljazair, Tunisia dan
sebagainya. Oleh Pemerintah kita pada waktu itu Yazid dan kawan-kawannya dari
Aljazair lainnya, beserta Rhaseed Drees dan Bahrimi dari Tunisia (kedua pejuang
ini kemudian duduk dalam pemerintahan Tunisia merdeka) diberi perlindungan dan
status resmi di salah satu rumah resmi pula di Jalan Cik Ditiro. Sekalipun saya
mengatakan pada Yazid, bahwa anggota Delegasi kita, yaitu Mr. Sudjarwo
Tjondronegoro, akan menjawab tuduhan Ghana dan kawan-kawan itu semua, Yazid
tetap maju ke mimbar mendahului kita.
Dengan bahasa Perancisnya yang faseh dan indah, Yazi berbicara
selama 40 menit. Ia menjelaskan jalannya sejarah perjuangan rakyat Indonesia
membebaskan Tanah Airnya termasuk Irian Barat. Dan dalam bagian akhir pidatonya
dia menyinggung Konperensi dan Semangat Bandung. Inti pokoknya adalah kurang
lebih sebagai berikut”
“Siapa yang menyamakan politik Indonesia terhadap Irian Barat dengan
politik kaum rasialis di Afrika Selatan atau Portugal, mereka itu lupa akan
Konperensi Bandung. Di Bandung pejuang-pejuang kemerdekaan seluruh Asia-Afrika
dibela oleh Indonesia. Mereka diberi perlindungan. Ghana sendiri pada waktu itu
belum merdeka penuh. Nama Ghana belum ada. Yang digunakan masih nama colonial,
yaitu “Pantai Mas”, “The Goald Coast”. Namun tokoh merek diundang ke Bandung.
Dan di Bandung sanalah Indonesia memainkan peranan yang menentukan dalam
membela gerakan-gerakan kemerdekaan nasional di mana-mana, termasuk Ghana.”
Demikian cukilan beberapa kalimat dari pidato Yazid, masih dapat
diperiksa dan dibaca kembali dari dokumen PBB bernomer UNGA A/PV. 1812 tanggal
19 November 1969 sidang rebo pagi.
Begitu besar pengaruh pidato yazid tersebut, sehingga mulai
rontoklah pengikut-pengikut Ghana. Wakil-wakil Saudi Arabia, Iran, Kuwait,
India, Muangthai, Filipina, Malaysia dan lain-lain lagi mengeluarkan pendapat
yang senada dengan wakil Aljazair.
Jiwa Bandung berkumandang kembali!
Inilah kesan umum dari semua yang pada waktu itu mengikuti perdebatan
terakhir tentang Irian Barat di forum PBB, termasuk tiga orang anggota DPR kita
yang menjadi Penasehat Delegasi RI, yaitu saudara Domo (almarhum), Drs. Gede
Djaksa dan Eddy Abdulmanaf.
Dan pada waktu rebo malam hari sekira pukul 19.30 dimulai dengan pungutan
suara yang final, maka pengikut-pengikut Ghana dan penentang Indonesia mundur
teratur berkat masuknya jiwa Bandung. Tidak ada satu diantara mereka berani
mengeluarkan suara “anti”, paling banter “abstain”.
Dokumen PBB Nomor UNGA A/PV. 1803 tertanggal 19 November 1969 sidang
malam hari mengkonstatir, bahwa seluruh resolusi untuk men-take-note perjanjian
Indonesia-Belanda tentang hasil Perpera di Irian Barat itu “adopted by 84 votes
to none, with 30 abstentions, artinya hasil Perpera itu diterima baik dengan 84
suara pro, kontra nihil, dengan 30 suara abstain. Katakanlah bahwa semangat
Bandung itu sudah mati! Dan sewaktu saya pada tahun 1977 sebagai konsultan
UNESCO mengadakan pembicaraan dengan Direktur Jendral-nya yaitu Amadou-Mahtar M’bow, di Paris, maka
beliau menggunakan kesempatan itu untuk meminta kepada saya segala keterangan
mengenai latar belakang serta jalannya Konperensi A- A dulu itu. Kata beliau,
Semangat Bandung itu masih sangat diperlukan. Apalagi untuk benua Afrika.
Beliau sendiri berasal dari Senegal, yang pada waktu tahun 1955 masih belum
merdeka. Tetapi pergerakan Kemerdekaan di Senegal diilhami juga oleh Semangat
Bandung itu. Malahan dalam kedudukan beliau sekarang ini, selaku Direktur
Jenderal UNESCO, beliau merasakan semangat itu masih hidup di mana-mana. Beliau
meminta juga kepada saya segala pidato-pidato para tokoh dan pesertanya, baik
dalam siding-sidang terbuka, maupun dalam siding-sidang tertutup dari
Konperensi A-A Bandung itu. Terutama pidato pembukaan Bung Karno. Sebab, kata
beliau, semua itu adalah pemikiran-pemikiran Asia dan Afrika, yang “non
Europian”, tidak “anti Europian”. Dan yang mempunyai “lasting values”; yaitu
nilai-nilai abadi! Semua yang dimintanya itu kemudian saya penuhi.
Katakanlah bahwa Semangat Bandung itu sudah mati !
Dan akhirnya menjelang KTT Non-Blok ke VI di Havana pada bulan
September 1979, sewaktu terasa perlunya pemurnian kembali gerakan Non-Blok,
yang rupanya ada yang mau menyelewengkan, maka banyak pihak yang mempelajari
kembali jiwa dan Semangat Bandung gulu itu. Dan kemudian diakui, bahwa sukses
KTT Non-Blok di Havana itu justru karena Semangat Bandung itu dapat dipelihara
terus, di tengah-tengah tarikan dan desakan, baik dari kanan maupun dari kiri,
terhadap gerakan Non-Blok itu. Semangat Bandunglah yang berdaya memurnikan jiwa
gerakan Non-Blok di Havana.
Sekali lagi, katakanlah bahwa Semangat Bandung itu sudah mati !!!
Sumber: "The Bandung Connection", Dr.H.Roeslan Abdulgani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar