KETIKA PENDIDIKAN TELAH MELAHIRKAN MENTAL BANGSA YANG PRAGMATIS
Oleh : Hilman Rasyid*
“Semua
yang kita lakukan bukan hanya karena suka atau tidak suka, nyaman atau
tidak nyaman, tetapi apa yang kita lakukan itu karena suatu nilai yang
kita inginkan. Walaupun kemanfaatannya kita rasakan, tetapi jika tidak
sesuai dengan nilai, apalah artinya ??”
Hiruk
pikuk dasawarasa ini, kita disajikan dengan berbagai santapan wacana
dan problematika pendidikan di Indonesia, diantaranya tentang
komersialisasi pendidikan, liberalisasi pendidikan, pragmatisme
pendidikan dll. Namun saya merasa aneh ketika melihat pendidikan di
Indonesia yang tidak sedikit telah melahirkan mental-mental bangsa yang
pragmatis. Padahal semua orang tahu bahwa kemajuan suatu bangsa
tergantung pada kualitas pendidikannya, dan sebaliknya kehancuran suatu
bangsa disebabkan buruknya mutu pendidikan bangsa tersebut Dan mungkin
keanehan itu timbul dikarenakan keterbatasan ilmuku sebagai Calon
Sarjana Pendidikan. Dan mungkin nama saya telah tercantum sebagai salah
satu orang yang telah diracuni oleh kaum pragmatis.
Pragmatisme
adalah kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham,
doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan, dll) bergantung pada penerapannya
bagi kepentingan manusia. Pragmatisme mengajarkan kita sebuah pendekatan
terhadap masalah hidup apa adanya dan secara praktis, bukan teoritis
atau ideal dan kemudian hasilnya dapat dimanfaatkan. Bagi mereka,
baik-buruknya perilaku dan cara hidup dinilai atas dasar praktisnya,
hasilnya, dampak positifnya, manfaatnya bagi yang bersangkutan dan dunia
sekitarnya. Pragmatis dapat lahir sebagai tanggapan kekecewaan terhadap
kenyataan hidup yang ada. Mereka selalu berusaha keras untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan secara instan, praktis, karena dalam otak masyarakat
pragmatisme telah dihinggapi oleh penyakit matrealisme. Dan untuk
mencapai sebuah matrealismenya, ‘si pragmatis’ mengejarnya dengan
berbagai cara, tanpa mempedulikan yang lain. Mereka bekerja tanpa
mengenal batas waktu hanya untuk mengejar kebutuhan materinya secara
seketika, maka dalam struktur masyarakatnya ia pun hidup menjadi orang
yang egoistik individualis (hedonisme).
Kemanfaatan
dan sebuah nilai memang perlu diakui ke-eksistensinya yang sangat
begitu urgent dalam kehidupan, sehingga manfaat dan nilai tidak bisa
dipisahkan secara konkret dalam bentuk idealitasnya. Manfaat dan nilai
menjadi satu padu dalam idealitas ideologi pragmatis-humanis. Dan
ideologi ini telah merasuk dan meracuni siapapun yang terjerumus dalam
sistem hegemonik kehidupan modern dan globalisasi.
Teringat dengan sebuah statement Dr. Anis Malik Thoha yang menyatakan bahwa “Pendidikan adalah karakter, bukan sekedar apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui “ (Koran Pikiran Rakyat)
Saya
pribadi sangat setuju dengan statement beliau diatas. Pendidikan memang
bukan hanya sekedar apa yang diketahui dan tidak diketahui, tetapi
pendidikan memiliki makna yang bersifat universal dan komprehensif.
Menurut UU RI no. 17 tahun 2007 menjelaskan bahwa tujuan pendidikan
adalah terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak
mulia, dan bermoral berdasarkan pancasila, yang dicirikan dengan watak
dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragama, beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran,
bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, dan
berorientasi iptek. Mantan Menteri Pendidikan Daoed Joesoef menilai
bahwa saat ini telah terjadi ‘penghianatan intelektual’. Kaum
Intelektual (kaum terdidik) sebenarnya tahu sedang terjadi penghancuran
moral dikalangan birokrasi pemerintahan, penegak hukum dan masyarakat,
tetapi mereka diam saja. Padahal intelektual semestinya mencerahkan
masyarakat. (Kompas, 21/6)
Dan
tujuan pendidikan bukanlah untuk mencari selembar kertas bernama
Ijazah, bukan juga untuk mencari point diatas kertas dan bukan untuk
memenuhi tuntutan dunia kerja serta kesuksesan sebuah proyek semata.
Kalaulah itu tujuannya, maka terlalu banyak waktu dan biaya yang kita
habiskan. Apalagi sekarang kita hidup di era modern ini, sudah banyak
media informasi dan pengetahuan berupa internet, majalah, televisi,
radio dan berbagai media pembelajaran yang lebih murah meriah bahkan
gratis. Tetapi kalau dilihat secara faktual, tidak sedikit kaum pelajar
yang kecewa ketika mendapatkan nilai yang tidak adil, seolah nilai
tersebut sebagai harga mati mereka. Dan mungkin itulah nilai, sebuah kata yang sederhana dan seringkali tidak adil, namun bisa membunuh karakter seseorang (character killing). Dan ketika nilai itu menjadi tujuan, maka menyontek pun menjadi sistem yang baik bagi si pragmatis.
Pengajaran
bukan pendidikan. Pengajaran hanya bagian kecil dari pendidikan.
Pengajaran hanya bersifat transfer ilmu dan keterampilan. Sementara
pendidikan membentuk sikap dan perilaku serta kepribadian. Begitu pula
sekolah, sekolah bukan pendidikan, tetapi sekolah hanya salah satu
sarana pendidikan. Maka ini merupakan salah satu peluru bagi si
pragmatis untuk mendapatkan pembenaran, ‘bahwa tidak perlunya sekolah’.
Kemudian timbul suatu pertanyaan, “Apakah semua pelajar itu pragmatis ?” Tentu jawabannya Tidak.
Karena tidak semua orang yang sekolah punya pemikiran apa yang kita
bayangkan. Tidak semua orang yang sekolah berorientasi cari uang, dapat
kerja, dapat ijazah, dapat gelar, dapat fasilitas, bisa kaya, dan
sebagainya. Begitu pula sebaliknya tidak semua orang yang tidak sekolah
itu jelek, lihatlah Buya Hamka dan Adam Malik mereka orang yang sukses
dengan otodidak, bahkan Thomas A. Edison yang dipecat dari sekolah
karena dianggap bodoh, ternyata bisa menemukan ribuah hasil penemuannya.
Jika
kita berorientasi ke negara Indonesia, telah terjadi degradasi moral
bangsa Indonesia, karena tercermin dengan semakin kronisnya penyakit
yang bernama korupsi. Dan tentu saja memunculkan suatu pertanyaan “Mengapa pendidikan di Indonesia belum mampu melahirkan mental para birokrat yang bersih ?”
tentu jawabannya tidak lain dikarenakan sistem pendidikan di Indonesia
masih diwarnai dengan berbagai kesalahan, dan salah satu problematikanya
adalah telah maraknya pragmatisme pendidikan di Indonesia. Dan
kecenderungan pragmatisme pendidikan tersebut disebabkan karena
pendidikan yang berkembang tidak lebih dari sekedar untuk memenuhi
tuntutan dunia kerja semata.
Di
akhir bulan Mei 2011 ini saja, kita tahu hasil proses Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) melalui jalur undangan atau
seleksi berdasarkan prestasi akademik tinggi di SLTA/se-derajat telah
diumukan. Dan menurut Kemendiknas, peserta yang dinyatakan lolos jalur
undangan sebanyak 46.706 orang dan itu sekitar 20,04 % dari total
pendaftar, sedangkan jumlah semua adalah 232.948 orang. Ternyata tidak
terlalu banyak peserta yang diterima lewat jalur seleksi nasional yang
sempat berganti-ganti nama dari sipenmaru, umptn, spmb dan akhirnya
menjadi SNMPTN. Dan nampaknya dalam setiap SNMPTN calon mahasiswa
berbondong-bondong dan berebut untuk masuk di Jurusan yang menjanjikan
kemakmuran dan kemudahan materi. Dan ternyata itu logis juga, karena
setiap orang pasti menginginkan kemakmuran dalam hidupnya. Namun yang
menjadi kegundahan, “Begitukah hasil pendidikan di negeri ini?” hanya menghasilkan mental-mental generasi bangsa yang pragmatis.
Dengan
demikian kaum pragmatis menjadikan pelakunya senantiasa bersikap
oportunitis dan hipokrit. Bagi mereka yang terpenting bukanlah
mempertahankan idealisme dan ideologi, melainkan untuk mendapatkan
keuntungan dari tindakan yang mereka lakukan. Dan ini menyisakan tanda
tanya besar, “Ada apakah dengan sistem pendidikan di Indonesia ini ?
Apakah sudah ada solusi konkret yang telah pemerintah lakukan khususnya
dalam bidang pendidikan?” Seharusnya pendidikan di negeri ini mampu
menumbuhkan mental bangsa yang ‘arif dan bijaksana dan bukan sebaliknya,
malah menumbuhkan atau melahirkan bangsa yang pragmatis dan
oportunitis. Dan negara akan semakin terpuruk jika tidak mampu
mengembalikan disorientasi pendidikan ini. Oleh karena itu saatnya
rakyat Indonesia, khususnya Umat Islam meninggalkan paradigma kaum
pragmatis. Maka mari kita menjadi rakyat yang idealis, yang setia kepada
kebenaran dan ideologi, bukan mencari keuntungan sesaat.
Mudah
mudahan kita menjadi orang yang ‘arif dan bijak, sehingga bisa
melahirkan solusi yang lebih konkret dan konstruktif dalam mengatasi
berbagai kancah dan problematika NKRI, khususnya dalam bidang
pendidikan. Aaamien
Wallahu a’lam
*Sekretaris Umum HIMA Persis PK UPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar