Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)
with
FORUM MUDA PARAMADINA
Present
TALK SHOW
“Mengenal Wahib, Menebar Toleransi”
Narasumber :
Ihsan Ali Fauzi (Dosen Ilmu Politik dan Direktur Yayasan Wakaf Paramadina)
Moderator :
Husni Mubarok (Aktivis Forum Muda Paramadina)
Live Performance : – Mapah Layung – The Karl MarxFasilitas : Sertifikat, konsumsi, doorprize berupa buku-buku terbitan Yayasan Paramadina
FREE!!!
-Senin 28 November 2011-
10:00 – 13:00
Auditorium UIN SGD Bandung
Supported by: Hivos People Unlimited
Media partner by: LPM SUAKA & UKM WSC
______________
Pada peralihan tahun 1970-an, di kalangan kawan-kawan dekatnya di
Yogyakarta, Ahmad Wahib dikenal sebagai pemikir Muslim yang progresif.
Di kota pelajar itu, dia juga dikenal sebagai aktivis organisasi
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebelum menyatakan keluar darinya dan
penggerak utama Limited Group, kelompok studi mahasiswa yang rajin
mengadakan pertukaran pikiran mengenai berbagai masalah.
Belakangan, dia pindah ke Jakarta sebagai wartawan Tempo. Sayang, dia
wafat di usia muda karena kecelakaan ketika menjalankan tugasnya
sebagai wartawan.
Untungnya, anak muda santri kelahiran Madura yang kuliah di UGM itu
meninggalkan catatan harian yang diisinya dengan cukup rajin. Pada 1982,
catatan harian itu diterbitkan sebagai “Pergorolakan Pemikiran Islam:
Catatan Harian Ahmad Wahib.” Buku itu segera mengundang kontoversi:
sebagian kalangan memujinya, sebagian lainnya tidak.
Dari catatan harian itu, kita tahu betapa Wahib adalah seorang
pencari kebenaran yang tak kenal lelah. Tulisannya suatu kali: “Aku
belum tahu apakah Islam itu sebenarnya. Aku baru tahu Islam menurut
Hamka, Islam menurut Natsir, … Dan terus terang Aku tidak puas. Yang
kucari belum ketemu, yaitu Islam menurut Allah, pembuatnya. Bagaimana?
Langsung studi Al-Quran dan sunnah, akan kucoba. Tapi Orang-Orang lain
pun akan menganggap bahwa yang kudapat itu Islam menurut aku sendiri.
Tapi biar, yang penting adalah keyakinan dalam akal sehatku yang
kupahami itu Islam menurut Allah. Aku harus yakin itu. Terus menurut
didekati.”
Dari situ kita tahu betapa kritinya Wahib. Dia ingin tampil sebagai
penganut agama dengan kekuatan pikirannya sendiri. Jelas juga bahwa
Islam yang dicarinya adalah Islam yang dapat menopang Pluralisme
Indonesia, negara yang sangat dicintainya. Sebuah Islam yang terbuka dan
toleran kepada para penganut agama-agama lain. Dia misalnya menulis:
“Bagi kita, theis dan theis bisa berkumpul. Muslim dan Kartini bisa
bercanda. Artis dan Atlit bisa bergurau. Kafirin dan muttaqin bisa
bermesraan. Tapi pluralis dan anti pluralis tidak bisa bersatu.”
Dari segi ini, Wahib adalah satu ladang subur darimana ilham mengenai
pemikiran-pemikiran Islam yang pluralis dan toleran bisa digali,
dilanjutkan, diperkaya. Sayangnya, di luar catatan hariannya di atas,
tak banyak yang dikenal publik mengenai almarhum. Dewasa ini hanya
segelintir kalangan terdidik Muslim yang membaca dan mengenalnya.
Dengan kata lain, Wahib tak sepopuler Soe Hok Gie, pemimpin mahasiswa
lainnya di jakarta yang sama-sama mati muda dan meninggalkan catatan
harian. Beda dari Hoek Gie yang riwayat hidupnya kini sudah difilmkan,
Gie (disutradarai Riri Reza), Wahib yang banyak dikenal publik
Indonesia, apalagi anak-anak muda.
Karenanya, dalam rangka menebarkan wawasan pluralisme dam toleransi
di Indonesia, Wahib perlu diperkenalkan secara sistematis. Catatan
hariannya adalah medium yang cukup bisa diakses siapa pun, termasuk
anak-anak muda, untuk memasuki pemikiran dan renungan-renungannya
tentang Islam yang plural dan toleran di Tanah Air.
Atas dasar itu, Forum Muda Paramadina akan menyelenggarakan Talk Show
dengan Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) UIN SGD Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar